Terbaik dalam Pelunasan Utang

Assalamuaikum wr. wb.

Apa kabar saudaraku? Semoga kita senantiasa dianugeragi kesehatan dan rezeki yang berkah sehingga terhindar dari utang yang memberatkan. Amin!

Sahabat Abu Hurairah menceritakan,

كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلمإِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Nabi mempunyai utang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itu pun datang menagihnya. Beliau pun berkata, “Berikan kepadanya.” Kemudian, mereka mencari yang seusia dengan untanya, tetapi mereka tidak menemukannya, kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata, “Berikan kepadanya.” Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah membalas dengan setimpal.” Maka, Nabi bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (utang).” [HR Bukhari-Muslim]

Di dalam hadis Rasulullah banyak sekali kita temukan orang terbaik. Materi ini pun menjadi serial pembahasan yang saya lakukan tentang orang yang terbaik di antara muslimin yang lain. Hal itu muncul karena hadis itu tidak dapat dipisahkan dengan sebab munculnya hadis (asbabul-wurud).

Hadis di atas berbicara tentang utang-piutang. Manusia dalam kesehariannya tidak ada yang tidak pernah berutang. Bahkan, Rasulullah sendiri pernah berutang. Mungkin timbul pertanyaan? Rasulullah saja pernah berutang, mengapa kita tidak? Pertanyaan itu seharusnya, jika tidak perlu berutang mengapa harus berutang?

Kenyataannya sekarang peluang berutang itu sangat luas. Ingin punya rumah, kita bisa berutang, termasuk saya sendiri ketika awal bekerja tahun 1982 mencicil rumah selama 15 tahun. Ingin memiliki kendaraan, kita dengan mudah bisa berutang. Ingin memiliki perabot rumah tangga, banyak toko dan pedagang perabot atau mebel yang menawarkannya. Bahkan, ingin memiliki perlengkapan dapur pun ada tawaran berutang. Tampaknya berutang sekarang dipandang sebagai sesuatu yang lumrah. Jangankan perseorangan, negara pun memiliki banyak utang.

Ada tren baru di berbagai kalangan mulai dari ibu rumah tangga, karyawan, pekerja, pegawai, pengusaha, dan eksekutif memiliki banyak kartu kredit yang siap digunakan untuk apa dan kapan saja. Tampak kartu kredit bersusun di dalam dompetnya. Bahkan, itu sebagai suatu kebanggaan dan menunjukkan status sosialnya yang tinggi. Dapat dibayangkan jika minimal ada tiga kartu kredit—bahkan ada yang sampai sepuluh–berapa juta jumlah kredit atau pinjaman dari bank? Berapa banyak cicilan yang harus dibayarkan setiap bulannya? Itu bukti bahwa meminjam itu mudah. Yang sulit adalah mengendalikan diri untuk tidak berutang. Kalaupun terpaksa berutang, bagaimana mengembalikan atau mencicilnya jika itu berbentuk kredit.

Tampaknya berutang bukan saja disebabkan kebutuhan primer, melainkan juga untuk hal-hal yang sekunder dan tersier. Yakinkah kita bahwa kendaraan mewah yang lalu lalang di jalan raya atau tol itu milik seseorang? Secara lahir kita akan mengatakan ‘Wah?” kepada orang yang mengandarai mobil mewah itu? Padahal, mobilnya belum milik dia. BPKB-nya saja belum di tangan. Ternyata mobilnya masih kredit. Begitu cicilan terlambat atau tidak terbayar, mobil sudah tidak lagi terparkir di garasi. Mobil sudah ditarik pemberi kredit (leasing).

Memang berutang secara syariat hukumnya boleh saja (jaiz). Namun, tuntutan berutang itu yang harus dipikirkan karena akan berurusan dengan pengembalian utang. Jangan sampai terjadi kata pepatah “tidak mengukur bayang-bayang sepanjang badan”. Kalaupun utangnya sudah diperoleh, kesanggupan membayar itu terbatas. Jangan sampai “besar pasak daripada tiang”.

Berutang sedapat mungkin harus dihindari. Kalaupun terpaksa berutang, harus dipikirkan dengan sebaik mungkin apakah ada kemampuan untuk membayar utang itu? Jika ada kemampuan, perlu juga dipikir masak-masak apakah dengan utang itu akan membebani kita, baik dari finansial maupun pikiran. Soalnya, berutang itu mudah, tetapi sulit membayarnya.
Utang menyebabkan pikiran tergangu. Tidur pun tidak nyenyak. Kedatangan tamu pun tidak nyaman. Tamu yang benar dikira penagih utang. Kalaupun ada di rumah, dikatakan kepada keluarga atau anak bahwa Bapak tidak ada di rumah. Karena utang, terbentuklah karakter keluarga yang suka berdusta. Itulah yang dikhawatirkan Rasulullah. Beliau sering berdoa agar terbebas dari utang.

Aisyah menriwayatkan bahwa “dulu Rasulullah saw. sering berdoa di dalam salatnya,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ اللَّهُمَّ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَم

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, fitnah Al-Masiih ad-Dajjaal, fitnah kehidupan, dan fitnah kematian. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan berutang.“
Seseorang berkata kepada beliau,

مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ؟

“Betapa sering engkau berlindung dari utang?”
Beliau pun menjawab,

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ‏‏غَرِمَ ‏‏حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ

“Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berutang, jika berbicara, dia berdusta; jika berjanji, dia mengingkarinya.” [HR Bukhaari No. 832 dan Muslim No. 1325/589]

Rasulullah menekankan bahwa ada dua hal kebiasaan orang yang berutang, yakni apabila dia berkata, banyak bohongnya dan apabila dia berjanji, banyak pula ingkarnya. Dua sifat itu selalu melekat pada diri orang yang berutang. Mengapa demikian?

Kebohongan sebetulnya ada yang sudah dimulai dari proses peminjaman kepada seseorang. Kadang-kadang dari niat saja sudah ada bohongnya yang seharusnya utang akan digunakan untuk keperluan yang sifatnya sekunder, tetapi disampaikan kepada pihak yang meminjamkan, misalnya, untuk keperluan berobat, keluarga sakit, dan biaya sekolah anak. Hal itu disampaikan untuk meyakinkan orang agar tersentuh kepeduliannya untuk meminjamkannya sejumlah uang. Menurutnya, kalau dia akan berkata jujur, pinjamannya tidak akan dikabuLkan. Kebohongan merupakan kiatnya untuk meminjam uang. Bukankah mukmin sejati harus berkata benar dan menjauhkan diri dari bohong?
Bilamana peminjamannya itu disetujui dan dikabulkan dengan beberapa persyaratan pengembalian utang, kebohongan berikutnya muncul pada saat jatuh tempo. Ternyata bukan saja berbohong, mulai meningkat ke ingkar janji yang disertai dengan kebohongan. Soalnya, ada saja alasan utangnya belum dibayar karena begini dan begitu dengan alasannya dibuat-buat.

Lebih parah lagi apabila tidak mampu membayar utang pada waktunya atau pada waktu penangguhan utang, yang bersangkutan mencari utang baru untuk menutupi utang semula. Akhirnya, terjadi pepatah “gali lubang tutup lubang” (berutang untuk membayar utang yang lain). Bisa dikatakan orang yang seperti itu telah terlilit utang.

Jika kita terpaksa berutang, niatkan untuk segera membayarnya. Karena dengan niat segera membayarnya itu, Allah akan memudahkan pembayarannya. Jangan sampai sudah ada uang untuk membayar utang, ternyata uangnya digunakan untuk hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan, misalnya, membeli barang yang tidak penting. Allah akan menyusahkannya.
Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Siapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya) akan Allah tunaikan untuknya. Siapa yang mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya) akan Allah binasakan.” (HR Bukhari)

Hadis Rasulullah di awal mengatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang tidak menunda pembayaran utangnya dan mengembalikannya lebih baih daripada pinjaman. Pemberian lebih itu diperikan pada saat pelunasan, tanpa diketahui oleh yang meminjamkan. Jika ada kesepakan sebelumnya, hal itu termasuk riba.

Ada beberapa alasan mengapa utang itu wajib disegerakan dan dilunasi, antara lain, sebagai berikut.

  1. Orang yang meninggal dalam keadaan berutang akan terhalang masuk surga meskipun mati syahid
    Rasulullah saw. bersabda,

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ

“Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi untuk kedua kali, sedangkan dia masih punya utang, dia tidak akan masuk surga sampai utangnya itu dilunasi.”[ HR Ahmad No. 22546, Nasa’i No. 4684, Thabarani No. 556]

  1. Nasibnya tidak pasti dan menggantung antara selamat dan binasa
    Rasulullah saw. bersabda,

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung karena utangnya sampai utang itu dilunaskannya.” [HR At Tirmidzi No. 1079, Ibnu Majah No. 2413]

  1. Sahabat Nabi yang berutang tidak disalati oleh Rasulullah saw., padahal salat beliau adalah syafaat

Hadis riwayat Jabir r.a., dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

“Adalah Rasulullah saw. tidak menyalatkan laki-laki yang memiliki utang. Lalu, didatangkan mayat ke hadapannya. Beliau bersabda, “Apakah dia punya utang?” Mereka menjawab, “Ya, dua dinar. Beliau bersabda, “Salatlah untuk sahabat kalian.” [Tuhfah Al-Ahwadzi, 4/164)

Ibnu Qayyim al-Jauzi menjelaskan bahwa salat Nabi saw. adalah syafaat.

  1. Orang yang berniat tidak melunasi utang akan bertemu dengan Allah dengan status sebagai pencuri
    Rasulullah saw. bersabda,

ﺃَﻳُّﻤَﺎ ﺭَﺟُﻞٍ ﻳَﺪَﻳَّﻦُ ﺩَﻳْﻨًﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﻣُﺠْﻤِﻊٌ ﺃَﻥْ ﻻَ ﻳُﻮَﻓِّﻴَﻪُ ﺇِﻳَّﺎﻩُ ﻟَﻘِﻰَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺳَﺎﺭِﻗًﺎ

“Siapa saja yang berutang, lalu berniat tidak mau melunasinya akan bertemu dengan Allah (pada hari Kiamat) dalam status sebagai pencuri.” [HR Ibnu Majah no. 2410]

  1. Orang berutang (yang tidak berniat membayarnya) mendapatkan kehinaan pada siang hari dan kegelisahan pada malam hari

Umar bin Abdul Aziz berkata,“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berutang meskipun kalian merasakan kesulitan. Sesungguhnya utang adalah kehinaan pada siang hari dan kesengsaraan pada malam hari. Tinggalkanlah ia niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah-tengah manusia selama kalian hidup.” [Zaadul Ma’ad, 1/486]

Jika utang sudah jatuh tempo sementara uang untuk mengembalikan belum ada, sebaiknya disampaikan kepada pemberi utang untuk minta penangguhan pembayaran utang. Pemberi utang pun harus memahami keadaan itu. Allah SWT berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 280)

Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ

“Siapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari Kiamat) hendaklah menangguhkan waktu pelunasan utang bagi orang yang sedang kesulitan atau hendaklah menggugurkan utangnya.” (HR Ibnu Majah)

Akhirnya, di dalam hidup ini kita harus menentukan prioritas kebutuhan kita. Hidup yang sederhana lebih baik daripada hidup yang dipaksakan supaya ‘berada”. Lebih baik kita melihat ke bawah daripada melihat ke atas yang dapat menyebabkan kita kelilipan. Usaha keras dalam mencukupi kehidupan penting, tetapi jangan sampai memaksakan diri untuk berutang.

Utang adalah beban yang apabila kita tidak mampu memikulnya akan menimbulkan masalah dalam kehidupan. Kalau tidak terpaksa, jauhkan diri dari berutang. Berdoalah agar kita terhindar dari utang, sebagaimana Rausulullah pun berdoa. Jika kita sudah memiliki utang kepada orang lain, segerakan pembayarannya. Pembayaran utang secepatnya, apalagi dilebihkan pengembaliannya tanpa permintaan pemberi utang, merupakan sikap yang terpuji dari pandangan Rasulullah. Itulah yang disebut “manusia yang terbaik.” Amin!

Wallahu a’lam bissawab.

Wassalamualaikum wr. wb.

Ciledug, 10 Juni 2020

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899