Agar Sejarah Islam Tak Lagi Diselewengkan

Prof. Dr. Abdul Halim ‘Uwais, MA
Dosen sejarah Islam fakultas Darul ‘Ulum – Universitas Kairo
Peneliti Sejarah dan Kebudayaan pada International Institute Islamic Thought (IIIT)
Anggota Dewan Penasehat pada Lembaga Bahasa Imam Ibnu Su’ud Cabang Jakarta-Indonesia

Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan terminologi sejarah secara umum?

BismilLâhirrahmânirrahîm, istilah sejarah secara umum adalah kegiatan menelaah peristiwa masa lalu melalui sumber-sumber akurat yang mendekati kebenaran. Para sejarawan dalam melakukan penelitian tidak hanya berdasarkan kritik sanad atau juga yang biasa disebut dengan ilmu riwayah. Akan tetapi, mereka juga mengfungsikan akalnya untuk meneliti kondisi sosio-historis pada saat peristiwa itu terjadi, hal ini yang kemudian disebut dengan ilmu dirayah. Seorang sejarawan juga harus memperhatikan referensi yang menjadi rujukannya, apakah referensi tersebut dapat diterima secara rasional dan sesuai dengan sumber-sumber sejarah lainnya. Di samping itu, ia juga harus memperhatikan sumber yang menjadi rujukannya, apakah ia berasal dari aliran Syi’ah, Khawarij atau bahkan dari orang-orang Atheis. Sejarah juga berasal dari kata ta’rîkhul yaumiy, yaitu menuliskan aktivitas sehari-hari sebagaimana yang dilakukan al-Kamil dalam al-Hamliyyât dan Ibnu Katsir dalam Bidâyah wa Nihâyah. Keduanya menulis sejarah berdasarkan peristiwa yang terjadi pada setiap tahun. Akan tetapi yang dimaksud sejarah dalam arti luas adalah mengumpulkan seluruh rentetan peristiwa, menyusunnya secara logis, menerima hal-hal yang rasional dan menolak hal-hal yang irasional serta menelitinya secara mendetail untuk kemudian diambil pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Dimana letak perbedaan mendasar antara sejarah umum dengan sejarah Islam?

Sejarah umum adalah sejarah yang meliputi seluruh aktivitas manusia yang hanya berorientasi kepada kepentingan dunia, baik itu secara individu maupun sosial. Sedangkan sejarah Islam adalah sejarah yang dihubungkan dengan gerakan agama Islam. Kenapa? Karena Islam adalah satu-satunya agama yang tidak memisahkan antara kepetingan dunia dengan kepentingan agama. Dalam Islam, semua kembali kepada Allah swt.. Oleh karena itu, bagi saya, sejarah Islam adalah sejarah yang memiliki keterkaitan aerat dengan nilai-nilai keislaman. Hal penting yang perlu dicatat, bahwa dalam sejarah Islam terdapat banyak sisi positif sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah saw. dan Khulafa’ al-Rasyidin, namun juga terdapat beberapa kekurangan yang terjadi pada masa pemerintahan Umayah dan Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Abbasiyah sendiri, banyak terjadi peningkatan peradaban, terutama meningkatnya gerakan terjemah dari bahasa asing ke dalam bahas Arab, meski harus diakui kalau gerakan ini menyisakan beberapa permasalahan serius seperti mengimpor pemikiran-pemikiran ‘cacat’ dari peradaban lain, atau sebaliknya, sejarah Islam yang ditulis dengan bahasa asing mengalami banyak distorsi.
Saya sendiri lebih senang untuk membedakan antara sejarah Islam dengan sejarah umat Islam. Sejarah Islam menurut saya, lebih spesifik kepada sejarah penyebaran Islam (baca: dakwah Islam) ke penjuru dunia. Sedangkan sejarah kaum muslimin adalah sejarah bangsa dan negara. Sejarah kaum muslimin adalah gerakan aktivitas umat di bumi ini, bagaimana mereka membangun pemerintahan, mendidik masyarakat, membangun ilmu pengetahuan Islam, meracik peradaban gemilang serta kapan mereka mengalami kemunduran dan kemajuan. Maka gerakan umat Islam harus disesuaikan dengan ruh Islam, sedangkan gerakan sejarah Islam adalah gerakan nilai, akidah dan moral tertentu. Artinya, sejarah Islam tidak berkaitan dengan kesalahan yang dilakukan umat Islam sepanjang sejarah.

Salah satu tuduhan yang dilontarkan kaum orientalis, bahwa setelah Rasulullah saw. wafat, sistem khalifah Islamiyah tidak pernah diterapkan kecuali pada waktu yang cukup singkat, yaitu masa pemerintahan Umar bin Khattab ra.. Beranggapan demikian karena menurut mereka–pemerintahan Abu Bakar ra., Utsman bin Affan ra., maupun Ali bin Abi Thalib ra.–selalu diwarnai dengan konflik-konflik internal. Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?

Ini adalah pembacaan sejarah yang salah. Abu Bakar ra. sendiri pewaris pemerintahan setelah Rasulullah saw., dan pada saat itu banyak orang yang berbondong-bondong masuk Islam, karena memang Islam telah tersebar, bahkan menjadi agama mayoritas di sepanjang jazirah Arab. Sekelompok kaum minoritas memang masuk Islam bukan karena keinginan sendiri, namun lebih karena seluruh kabilahnya memeluk Islam atau katakanlah karena terpaksa ikut kaum muslimin yang mayoritas. Tatkala Rasulullah saw. wafat dan digantikan oleh Abu Bakar ra., ternyata kaum minoritas ini tidak memahami apa makna dari wafatnya Rasulullah saw.. Mereka menganggap bahwa Rasulullah saw. itu representasi agama Islam, sehingga ketika beliau wafat, maka lenyaplah Islam. Akibatnya mereka tidak mau lagi membayar jizyah dan zakat kepada Abu Bakar ra., sebab menurut mereka keduanya hanya dibayarkan kepada Muhammad, seakan lupa bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam. Kondisi ini sesungguhnya sangat menguntungkan, agar orang-orang munafik tersebut tidak merusak umat Islam dari dalam. Penting untuk dicatat, selama beberapa bulan sebelumnya, Abu Bakar ra. telah menyiapkan dan mengutus tentara Usamah untuk melakukan futuhât sebelum memerangi orang-orang murtad. Jika seandainya apa yang mereka katakan benar, niscaya tidak mungkin Abu Bakar ra. mengutus tentara Usamah. Ini membuktikan bahwa saat itu, khilafah Islamiyyah masih ada dan masih memiliki kekuatan.
Keputusan Abu Bakar ra. untuk mengutus tentara Usamah sendiri sempat ditentang Umar ra.. Beliau berpendapat bahwa masalah ini ditangguhkan saja sampai orang-orang murtad itu diberikan ganjaran. Namun Abu Bakar ra. menolak ide Umar ra., dengan alasan bahwa Rasulullah saw. sendiri memerintahkan untuk mengutus tentara Usamah dengan segera, bahkan dengan tegas beliau berkata, “Aku tidak akan pernah menunda-nunda perintah Rasulullah saw. setelah beliau wafat, sekalipun aku harus disambar petir.”
Bahkan sekembalinya tentara Usamah dari melaksanakan tugas untuk menentukan batas-batas teritorial dengan pihak luar (baca: Romawi), bangsa Romawi sendir mengakui bahwa pemerintahan tidak lantas mati dengan wafatnya Rasulullah saw.. Setelah itu barulah Abu Bakar ra. mengutus 11.000 tentara untuk memerengi orang-orang murtad.
Hal semacam ini sebenarnya juga terjadi di setiap negara karena memang tidak ada satu negara pun yang lepas dari kaum pemberontak dan pembangkang. Apakah karena terjadi hal-hal semacam ini, lantas mereka tidak menganggap adanya pemerintahan (baca: khilafah Islamiyyah) kala itu? Penilaian seperti ini sangat tidak dibenarkan secara ilmiah.
Adapun ketika masa pemerintahan Umar ra., justru dunia hampir sepenuhnya di tangan Umar ra.. Sampai-sampai beliau pernah tidur di jalanan, karena pada saat itu suasana negara sangat tenang dan aman. Bahkan pada masa pemerintahan Umar ra. pula-lah, dua kekuatan besar seperti Romawi dan Persia dapat dikalahkan. Umar ra. juga menerapkan peraturan yang adil bagi rakyatnya, dia sanggup menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat, maka-nya tidak heran jika beliau sangat dikagumi oleh sejarawan Barat. Seperti yang dilakukan Michael Hard dalam bukunya dengan meletakkan Nabi Muhammad saw. (urutan pertama) dan Umar bin Khattab ra. dalam daftar seratus tokoh besar sedunia sepanjang sejarah.
Kemudian saya ingin menegaskan, apakah yang dinamakan sejarah Islam hanya terletak pada sosok pimpinan pemerintahan? Lalu dimanakah posisi gerakan umat Islam? Bukankah proses penebaran Islam juga melibatkan umat. Jika dibandingkan antara jumlah politisi pemerintahan dengan penduduk sipil pada saat pemerintahan Bani Umayyah maka perbandingannya adalah satu banding seratus ribu. Artinya, umatlah yang berpotensi menggerakkan potensi peradaban, kebudayaan dan pertanian, bukan pemerintah. Pemerintahan hanya membantu memfasilitasi umat untuk menjalankan tugas tersebut.
Sepanjang sejarah, umat Islam telah memperlihatkan kepada dunia, bagaimana peradaban mereka dibangun di atas nilai-nilai keislaman seperti ahwâl syakhsiyah yang merupakan aspek sosial, aspek ekonomi yang tidak ditemukan adanya riba dan monopoli dagang, aspek politik yang sangat kental dengan nilai-nilai keislaman, terlebih aspek spiritual yang terlihat pada gerakan umat di masjid-masjid. Pendeknya, seluruh lini kehidupan memang dibangun di atas dasar nilai-nilai keislaman.
Saya pernah menulis sebuah buku mengenai nilai-nilai keislaman sepanjang sejarah umat Islam dan telah diterbitkan Lembaga Tinggi Islam Mesir. Di dalamnya, saya menegaskan bahwa nilai-nilai Islam tetap diterapkan sampai pada awal runtuhnya Daulah Utsmaniyah. Bahkan Gouronthi (?) mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban terbesar yang pernah tegak sepanjang sejarah dunia selama lebih dari sepuluh abad.

Sebagaimana yang diketahui, ke-otentikan hadis-hadis mutawatir tidak diragukan lagi. Hal itu, karena diterapkannya metode penyeleksian yang sangat ketat, seperti ilmu mustalah hadits dan jarh wa ta’dîl. Apakah metode ini dapat juga diterapkan untuk meneliti validitas sejarah Islam?

Tidak. Kita tidak bisa menerapkan metode ini untuk meneliti sejarah. Setidaknya ada beberapa alasan di sana. Pertama, metode ini hanya bisa diterapkan dengan tapat bila waktunya tidak lebih dari dua abad sejak wafatnya Muhammad saw.. Artinya metode hadis memang mutlak diperlukan pada masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Adapun setelah itu, maka sulit untuk diterapkan kembali. Kedua, sejarah seluruh bangsa lain lebih sedikit jika dibandingkan dengan sejarah Islam. Dalam Islam, kita memiliki silsilah sanad yang sangat kuat, sementara mereka tidak memiliki hal itu. Dan penerapan metode ini tentu sebuah pekerjaan yang berat, meskipun sebenarnya banyak dari ahli hadis yang mengkritik sejarawan ketika menulis sejarah Islam, seperti yang dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal terhadap sirah Ibnu Hisyam. Ketiga, dalam sejarah ada hal-hal yang tidak dibutuhkan sebagaimana yang dibutuhkan dalam hadis. Hadis sendiri landasan syariat Islam, bahkan sumber hukum kedua setelah al-Qur`an, maka sangat mutlak diperlukan validitas sanad sehingga tidk diragukan lagi kekuatan hukumnya. Sedangkan sejarah bukan merupakan syariat, ia hanyalah hasil penelitian yang perlu dikritisi kebenarannya. Jika sejarawan seperti Mas’udi misalnya, mengatakan bahwa jumlah orang yang pergi ke Mesir bersama Nabi Yusuf as. berjumlah 70 orang, kemudian setelah tujuh generasi, mereka bertambah menjadi 500 ribu orang dan seterusnya apakah ini masuk akal? Penggambaran ini mendapat kritikan tajam dari Ibnu Hazm Andalusiy yang kemudian dikritik lagi oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Ini menunjukkan bahwa dalam sejarah, seseorang boleh mengeluarkan pendapat meski sangat subjektif. Sebaliknya, hal ini tidak mungkin diterapkan dalam Sunah, sebab ia adalah wahyu Ilahi.

Bukankah dengan tidak diterapkan metode ini, justru akan membuka celah bagi usaha-usaha penyelewengan terhadap sejarah Islam itu sendiri? Jadi menurut Anda, apa solusi tepat untuk menghindarkan sejarah Islam dari bentuk-bentuk penyelewengan tersebut?

Permasalahannya bukan seperti itu. Jangan dipahami bahwa seluruh pendapat sejarawan saling bertolak belakang. Ada semacam konsensus bersama di kalangan sejarawan, mana hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang masih diperdebatkan dan nama yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Jika saya katakan bahwa dalam sejarah Islam ada yang disebut dengan perang unta dan perang shiffin, maka tidak ada seorang pun yang akan mengingkarinya kecuali orang bodoh. Sebagaimana jika dikatakan bahwa Daulah Bani Umayyah berdiri pada tahun 41 Hijiriyah, para pemimpinnya adalah Mu’awiyah, Yazid, Mu’awiyah II, Ibnu Marwan dan Malik bin Marwan dan seterusnya, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Masalah akan timbul jika terdapat beberapa perbedaan dalam tataran penelitian dan cara pandang (baca: ideologi), seperti jika seorang sejarawan yang berpaham markisme mencoba menganalisa sejarah Islam dengan metodenya sendiri, maka kemungkinan besar ia akan menyelewengkan sejarah dan memutarbalikkan fakta.

Jika metode ini memang tidak dapat diterapkan, maka tentu kita tetap membutuhkan metode tertentu untuk melakukan pambacaan ulang terhadap sejarah itu sendiri persis seperti yang disarankan Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya; ‘Târîkhunâ al-Muftarâ ‘Alaihi’. Apa tanggapan Anda mengenai hal ini?

Pertama kali, saya sangat menghargai pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi. Namun sayangnya, beliau berbicara lebih berdasarkan perasaan dan lebih sebagai seorang dai, bukan sejarawan. Padangan beliau tentang sejarah Islam patut kita hargai. Tetapi harus diingat, pendapatnya bukan berdasarkan spesialisasi keilmuan sebagai seorang sejarawan, sehingga ada banyak hal yang kurang dicermati oleh beliau. Di antara pendapat yang perlu dicermati, beliau banyak menjadikan ungkapan orang saleh tertentu sebagai standar dalam meneliti validitas sejarah, misalnya beliau mengatakan bahwa pemimpin Daulah Bani Umaiyah terbesar adalah Umar bin Abdul Aziz dan setelahnya adalah Yazid bin Walid. Padahal dalam sejarahnya, Yazid bin Walid yang memerintah selama enam belas tahun sering mendzalimi rakyat bahkan ia mengaku pernah membunuh seorang khalifah. Yazid bin Walid-lah sebenarnya faktor terbesar penyebab keruntuhan daulah ini. Banyak terjadi aksi kudeta selama ia memimpin, bahkan setelah wafatnya, mulailah Bani Umayyah saling bermusuhan satu sama lain sampai akhirnya runtuh. Apakah ini yang dipuji oleh Dr. Qaradhawi dan menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang adil. Pendapat ini sangat tidak tepat dan kurang cermat. Hal ini bisa jadi karena Dr. Qaradhawi bukan seorang sejarawan, maka idealnya beliau bertanya terlebih dahulu kepada pakar sejarah.

Di antara cara modern Barat dalam mendistorsi sejarah Islam adalah dengan menggunakan media massa dan elektronik baik lewat film, lagu dan sarana lainnya. Menurut Anda, apakah solusi tepat yang harus dilakukan umat Islam untuk membentengi sejarahnya dari upaya-upaya tersebut?

Solusi terbainya adalah mengetahui watak manusia itu sendiri, terutama musuh-musus Islam. Kita harus menggunakan semua sarana yang memungkinkan untuk membersihkan sejarah kita dari tuduhan-tuduhan tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur`an, “…mereka akan terus memerangi kalian sampai kalian keluar dari agama kalian semampu mereka’. (QS. 2: 217), dalam hati mereka memang sudah terpatri kebencian mendalam kepada Islam dan kaum muslimin. Mereka mencoba berinteraksi dengan kita, namun tidak pernah bersikap adil dengan umat Islam dan tidak pernah jujur mengungkap kebenaran Islam. Bahkan dengan sengaja, mereka membentuk satu kelompok khusus anti Islam (baca: orientalis) yang tugasnya hanya merusak agama Islam dari segala segi. Bukankah mereka yang menyerang kaum muslimin di Philipina? Bukankah mereka yang memiliki senjata nuklir dan menyebabkan peperangan selama dua abad ini? Bukankah mereka yang membunuh lebih kurang 8 juta penduduk Aljazair selama 130 tahun?
Oleh sebab itu, menurut saya, cara yang tepat untuk membantah mereka adalah membongkar kedok sejarah kelam mereka sendiri. Ketika lembaga pengadilan yang ada di Spanyol sengaja didirikan untuk mendiskritkan umat Islam, ternyata di lembaga pengadilan mereka sendiri terdapat pertikaian. Bahkan mereka tidak mengakui kebebasan berpikir dan menuduh seluruh orang yang menjadikan kitab suci sebagai pedoman adalah orang yang kolot dan primitif.
Sejarah mereka yang penuh dengan lembaran hitam menunjukkan bahwa perjalanan mereka selalu diwarnai dengan pertikaian. Coba perhatikan bagaimana mereka menyiksa seorang ilmuwan yang mengatakan bahwa bumi ini berbentuk bulat. Saat ini, bagaimana cara mereka membodohi dunia dengan tuduhan-tuduhan murahan terhadap umat Islam sepeti isu terorisme dan sebagainya. Itu semua adalah hasil rekayasa mereka untuk menjatuhkan Islam. Oleh karenanya, kita harus selalu waspada dengan niat mereka dan pada saat yang sama, kita juga harus selalu menjelaskan sejarah Islam secara benar dengan sarana apapun, baik buku, internet dan media lainnya agar generasi Islam ini paham akan sejarah mereka.
Kalau boleh, saya ingin menambahkan tanggapan atas pendapat Dr. Qaradhawi. Begini, sesungguhnya beliau terjebak dengan pendapatnya sendiri. Ketika menganggap beberapa kalangan bersikap kurang adil terhadap sejarah Islam, pada saat yang sama, beliau menjelekkan sejarah Islam sendiri. Dalam bukunya tersebut, beliau menganggap bahwa sistem pemerintahan keturunan adalah sistem yang kurang baik. Padahal, sistem ini tidak hanya ada pada saat pemerintahan Bani Umayyah tapi juga diterapkan pada pemerintahan Bani Abbasiyah, Ayubiyah, Utsmaniyah dan Fathimiyah. Artinya, hampir 90 persen sejarah Islam adalah pemerintahan keturunan. Jika Dr. Yusuf Qaradhawi menolak pendapat Muhammad Ghazali yang mengatakan bahwa sistem ini diterapkan sepanjang sejarah Islam, maka secara otomatis beliau telah menyerang sejarah Islam seluruhnya, meskipun hal itu di luar kemauan beliau.
Permasalahannya menurut saya, bukan terletak pada sistem pemerintahan keturunan atau tidak, akan tetapi yang terpenting adalah nilai-nilai keadilan yang diterapkan pada sistem tersebut. Bahkan bagi saya secara pribadi, lebih baik pemrintahan keturunan yang berdiri di atas nilai-nilai kadilan daripada sistem revolusi atau republik yang hanya diwarnai oleh keburukan. Bagaimana Anda melihat Sukarno, Suharto, Gamal Abdul Nashir dan para pemimpin setelahnya? Ternyata seluruhnya hanyalah kamuflase belaka yang tidak pernah melahirkan kebaikan dan ketenangan bahkan sekedar kebebasan. Artinya, sejauh mana nlai-nilai Islam seperti keadilan, musyawarah, persamaan, kebebasan itu diterapkan dalam sebuah negara terlepas dari sistem pemerintahan apa yang digunakan.

Bisakah Anda sedikit menjelaskan tentang perbedaan mendasar antara metode yang digunakan orientalis dengan metode umat Islam dalam meneliti sejarah Islam?

Adalah kewajiban kita semua untuk besikap objektif terhadap sejarah kita sendiri. Peristiwa apapun yang terjadi sepanjang sejarah Islam harus disikapai dengan baik dan dilihat secara utuh. Kita memang boleh berbeda pendapat dengan hal-hal yang memang masih diperselisihkan, akan tetapi jangan sampai hal itu justru menjerat kita untuk menilai seluruh sejarah Islam dengan kacamata subjktif. Inilah yang harus kita tuntut dari kaum orieentalis dalam melihat sejarah umat Islam. Saya katakan, barangkali untuk saat ini para musuh-musuh Islam bisa dikatakan menang dalam memusuhi Islam. Kenapa demikian? Karena umat Islam sedang terlelap, sebagaimana yang diungkapkan syekh Ghozali bahwa musuh-musuh Islam bersembunyi di balik kelemahan Islam.
Perbedaan mendasar antara metode orientalis dan umat Islam dalam meneliti sejarah adalah bahwa seorang orientalis berusaha memasukkan hasil penelitiannya terhadap sejarah Islam. Hal ini dapat dipahami karena mereka berangkat dari penelitian sebelumnya yang sarat akan kepentingan. Sementara, disiplin ilmu apapun yang menjadikan hasil penelitian orang lain atau hasil penelitian sebelumnya sebagai landasan, maka itu bukan disebut ilmu. Agar objektif, penelitian mereka seharusnya melewati fase-fase tertentu, di samping juga harus melepas baju kedengkian dan dendam terhadap agama Islam. Sedangkan kita sebagai sejarawan Islam, berangkat dari ‘daerah kosong’ dan keinginan untuk menemukan kebenaran sejarah. Makanya, sejarawan muslim tidak pernah mengingkari kebenaran sekalipun datangnya dari orang lain sebagaimana yang ditegaskan panjang lebar dalam al-Qur`an.

Menurut Anda, mungkinkah para sejarawan muslim untuk melakukan pembacaan ulang terhadap sejarah Islam dengan metode yang baru? Kalau mungkin, kira-kira faktor apa saja yang mendukungnya?

Menurut saya, pertama kali, kita harus lebih mencermati lagi bebagai kurikulum pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, termasuk institusi pendidikan yang berada di Indonesia saya kira. Sebab, aspek ini (baca: kurikulum pendidikan) terlanjur disusun di bawah ‘penjajahan metedologi’ ala Amerika. Oleh sebab itu, kita perlu menampilkan ulang sejarah Islam dengan berbagai sarana., baik itu melalui buku sejarah, diskusi-diskusi intensif, internet dan sarana lainnya. Jika sekarang kita mengajarkan agama kepada anak-anak, menjaga mereka agar tetap berinteraksi intens dengan al-Quran, tidak hanya sekedar menghafal tapi juga memahaminya dengan benar, memahamkan mereka akan rukun Iman dan rukun Islam, maka sudah selayaknya pula kita mengenalkan sejarah Islam terdahulu secara singkat, jelas dan komprehensif agar mereka paham akan kemegahan dan kegemilangan sejarahnya. Secara historis, umat Islam-lah yang sebenarnya menjembatani munculnya peradaban Barat modern, dimana ketika itu kaum muslimin menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab dan merumuskannya dalam bentuk sederhana sehingga dapat dipahami oleh bangsa Eropa kemudian. Tanpa usaha umat Islam ini, mustahil Eropa bisa membangun peradaban modernnya seperti yang kita saksikan saat ini. Sayangnya, dalam kurun waktu lima sampai enam abad kemudian, umat Islam seperti kehilangan orang-orang kreatif untuk membangun peradabannya sendiri, persis seperti apa yang dikatakan oleh sejarawan Barat, Will Durant. Padahal pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam menjadi simbol kemajuan ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Contoh lain, pada masa pemerintahan Abdurrahman al-Nashir dari Dinasti Fathimiyah (350 H-366 H), di perpustakaannya terdapat 400.000 jilid buku dimana pada saat yang sama, perpustakaan Eropa hanya mempunyai 190 jilid buku saja. Demikian juga perpustakaan Darul Hikmah di Kairo yang mempunyai koleksi buku hingga jutaan eksemplar. Bahkan setiap rumah punya perpustakaan pribadi. Maka tak salah kalau dulu itu kita adalah penguasa peradaban. Ilmu apapun yang dicari, termasuk Ilmu Falak dan Ilmu Kedokteran, ada dalah khazanah Islam. Hal itu bisa dibuktikan dalam karya-karya Khawarizmi, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Sina dan cendikiawan muslim lainnya.

Jadi, apa saran Anda untuk membangun kembali generasi Islam yang terlelap ini?

Pertama sekali, saya mengingatkan kaum muslimin dengan peringatan al-Quran dalam surat al-‘Alaq, yang artinya; “Bacalah dengan nama Tuhan-mu!” Zaman skarang adalah zaman yang penuh dengan keberagaman ilmu. Bacalah apa saja yang dapat meningkatkan wawasan kita sebagai seorang muslim agar kita dapat menguasai informasi tersebut, bukan sebaliknya, informasi itu yang menguasai kita, menuduh kita dengan sesuatu yang tidak benar. Anda bisa lihat dalam beberapa surat kabar kita. Porsi bagi wawasan dan penelitian sangat minim sekali, sementara porsi untuk informasi olah raga, berita kriminalitas dan pelecehan seksual begitu dibesar-besarkan. Padahal apa yang akan didapat dari informasi-informasi semacam ini. Itulah mengapa, Rasulullah saw. sering berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat.”
Wa`lLâhu A’lamu Bishshawâb.

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899