Makrifatullah; Madzhab Irfan (Bagian XXIX)

Matan

اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ كلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

Syarah
Kata Kunci:
لِمَعْرِفَةِ االلهِ : Makrifatullah
Sebelumnya sudah kami sampaikan terkait dua model atau madzhab untuk makrifatullah, yaitu dengan nazhar sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama kalam dan filsuf, juga dirajihkan oleh Muhammadiyah seperti termaktub dalam HPT, dan madzhab Fitrah sebagaimana yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah dan pengikutnya. Ada madzhab ke tiga, yaitu madzhab irfan, yaitu aliran yang diikuti oleh para sufi.
Madzhab nazhar menekankan pada pemikiran dan pembuktian secara rasional dengan melihat pada ala fisik, guna pengakuan mutlak adanya Allah yang metafisik. Matdzhab fitrah melihat bahwa tentang Tuhan, sesungguhnya bersifat fitrah dan sudah ada dalam lubuk hati manusia. Sementara itu, madzhab irfan menekankan pada latihan batin dan olah spiritual guna menghasilkan pengetahuan yang sesungguhnya tentang hakekat kebenaran dan ketuhanan.
Irfan sendiri sesungguhnya mengandung beberapa makna, di antaranya adalah ‘ilmu atau ma’rifah atau al-kasyf atau ilham. Dikatakan demikian karena ia mengandalkan pada mata batin untuk mengenal Allah. Madzhab irfan, telah dikenal jauh sebelum datangnya ajaran Islam. Ia ada dalam banyak agama dan berbagai aliran kepercayaan seperti Buda, Hindu, Konghucu dan lain sebagainya. Umumnya mereka akan melakukan ritual tertentu guna membersihkan batin dari berbagai penyakit hati dan godaan dunia. Dalam posisi tertentu, mereka dapat menyatu dengan alam dan dengan Tuhan Sang Pencipta alam.
Metode irfanpun, pada ahirnya berkembang juga di dunia Islam. Apakah ada keterpengaruhan dari luar Islam? Para sufi selalu menolaknya. Bagi mereka, sufi adalah akhlak sementara semua ajaran Islam adalah akhlak. Akhlak tentu mempunyai cakupan yang sangat luas, terkait akhlak dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan guru, dengan sesama atau dengan alam raya.
Makrifatullah melalui irfan, irfani adalah suatu sarana untuk mengenal Yang Maha Kuasa yang dipergunakan oleh para sufi dan al‘arifun. Cara ini, merupakan upaya istinbat al-ma’rifatullah dengan pendekatan hati dengan merujuk dan tetap berpijak pada Al-Qur’an. Sesungguhnya makrifatullah kalangan sufi ini, merupakan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, cita rasa pengalaman spiritual, hati, perasaan, mata batin dan intuisi. Jalan yang mereka tempuh, umumnya dikenal dengan istilah al-kashfi atau iktishafi. Ia sama sekali tidak menggunakan akal dan logika. Ia murni merupakan pengalaman spiritual bagi para salik.
Para sufi berusaha untuk makrifatullah dan mengupayakan menangkap hakekat ketuhanan dibalik syariat. Para sufi melihat bahwa di fikih atau syariat, merupakan sesuatu yang nampak diindera. Namun dibalik syariat, ada hakekat yang tidak dapat disentuh dengan indera. Ia hanya bisa diketahui melalui suluk dan mata batin dengan riadah tertentu. sumber pengetahuan para sufi, mencakup ilham/intuisi dan teks zhahir, namun teks tersebut sekadar sebagai sarana untuk mengetahui makna batin.
Pendekatan ‘irfani sebagai bagian dari upaya untuk makrifatullah, misalnya dapat dilihat dari falsafah ishraqi. Mereka melihat bahwa pengetahuan spiritual (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Gabungan dan kompromi dari dua hal tadi, akan menghasilkan pengetahuan yang mencerahkan, dan bahkan dapat mencapai pada al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur’an merupakan contoh konkret dari pengetahuan ‘irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan ‘irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba’ al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima “pengalaman”. Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
Mengapa para sufi lebih percaya dengan batin dan bukan sesuatu yang sifatnya fisik atau akal? Karena bagi mereka, baik fisik atau akal manus,a sangat lemah. Alam fisik dan akal manusia tidak sanggup untuk dapat mengenal hakekat ketuhanan. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan Imam Ghazali sebagaimana berikut ini:
الاعتماد على الحس وحده ضلال والاعتماد على العقل وحده أيضًا ضلال” كما أن الاكتفاء بالاثنين لا ينتج عنه بالضرورة تصور واضح عن حقيقة الأشياء ومن ثم معرفتها وإدراكها والتصديق بها. ويهتم المتصوفة بالعمل على تنقية النفس والاجتهاد في محاصرة الأهواء ويرون أن صرف الجهد في النظر العقلي وفي العلم الشرعي مضيعة للوقت ولا يؤدي إلى تغيير السلوك.
Hanya berpedoman pada sesuatu yang sifatnya inderawi saja, itu menyesatkan. Sebagaimana berpedoman pada akal saja juga menyesatkan”. Artinya bahwa erpedoman pada dua hal tadi sekaligus, juga tidak dapat memberikan jawaban yang pasti terkait tentang hakekat sesuatu. Maka pengetahuan melalui perantara tadi juga juga lemah dansulit dipercaya.
Guna menghasilkan hakekat kebenaran yang pasti, mereka melakukan oleh batin dengan membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati dan dosa. Mereka juga mengekang diri agar tidak mudah terbawa oleh hawa nafsu.
Ghazali sendiri seperti yang tertulis dalam kitab al-Munqidhz minadhalal, sering menganalogikan hati manusia sebagai cermin. Cermin dapat menerima pantulan cahaya. Hanya saja, sejauh mana cahaya dapat terpantulkan, bergantung kuat dengan bersih tidaknya cermin tersebut. Jika cermin kotor, apalagi sampai tertutup debu, maka dipastikan ia tidak akan dapat menerima pantulan cahaya. Namun jika ia bersih, maka ia akan dapat memantulkan cahaya dengan sempurna.
Tatkala manusia hidup berlumur dosa, maka hatinya akan menghitam. Hati sebagai cermin bagi manusia, pada ahirnya tidak dapat menerima cahaya dan sinar ketuhanan. Sebaliknya jika hati manusia bersih, maka ia dengan mudah dapat menerima cahaya ketuhanan tersebut. Agar hati manusia selalu bersih dan bening, maka ia harus selalu dibersihkan. Caranya adalah dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Juga melakukan berbagai riyadha batin, namun sesuai dengan kerangka dan ajaran kitab suci.
Terkait Allah sebagai cahaya, dapat dibaca ayat berikut:
اللَّهُ نُورُالسَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (35)
Artinya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (sesuatu), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manuisa, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nur: 35)

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899