Menguak Isu Kesetaraan Gender

Prof. Dr. Su’ad Ibrahim Soleh, MA
Dekan Fakultas Dirasah Islamiyah – Universitas Al-Azhar Putri

Apakah yang dimaksud dengan ‘Kesetaraan Gendr’ laki-laki dan perempuan? Dan apa pendapat Anda dengan ‘Persamaan Gender’ tersebut? Dan apa alasannya?

Isu ‘persamaan’ ini telah muncul dan telah menjadi opini seluruh dunia pada tahun 1976 yang disebut dengan kesepakatan ASSIDOWI. Kesepakatan ASSIDOWI ini merupakan sebuah diskriminasi terhadap kaum wanita. Di dalamnya terdapat konsesus yang membahas 16 permasalahan yang menuntut persamaan mutlak antara perempuan dan laki-laki., baik itu persamaan dalam lapangan sosial (peranan kemasyarakatan), kemanusiaan, hak dan kewajiban, pendidikan dan tentu saja dalam lapangan pekerjaan. Permasalahan ini sebenarnya tidak perlu dikonttadiksikan, karena sejak penciptaan laki-laki dan perempuan itu saja sudah ada perbedaam secara alami. Sebab, keduanya memiliki peranan masing-masing. Karena, apabila kita mentaddaburi ayat-ayat al-Quran, maka kita akan menemukan bahwa Allah swt. menjadikan suatu aspek, di satu sisi bisa dikerjakan perempuan tetapi tidak bisa dikerjakan oleh laki-laki dan begitu sebaliknya. Jadi, senantiasa ada hubungan timbal-balik. Dan aspek pemuliaan (takrîm) kepada laki-laki dan perempuan itu adalah sama, sebagaimana Allah swt. telah menerangkan dalam salah satu firman-Nya: “Walaqad karamnâ banî Âdam wa hamalnâhu fîl barri wa`l bahr.i” Di dalam surat Ali Imran Allah swt. juga menerangkan dalam salah satu ayat yang artinya sebagai berikut; “Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata; Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan dan Allah mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidak sama dengan anak perempuan.”
Dan dari ayat tersebut di atas, dijelaskan bahwa setiap orang mempunyai tanggungjawab masing-masing. Oleh karena itu, tidak boleh disamakan sesuatu yang sudah pasti berbeda sebagaimana yang dipersepsikan oleh orang lain. Kita menyebut persamaan ini dengan ‘takâful’, yang berarti saling melengkapi dan tidak menyebutnya ‘tamâsul’ yang bermakna persamaan secara mutlak. Dimana di dalamnya dapat menghilangkan karakteristik laki-laki dan perempuan itu sendiri. Sekarang ini, mereka (baca: orang-orang Barat) melegalkan pernikahan ‘antargay’ atau ‘antarlesbi’. Pernikahan ini berlangsung di gereja-gereja mereka dan bahkan di dalamnya terdapat undang-undang yang diatur untuk mendukung pernikahan semacam itu. Mereka juga mengklaim bahwa hal itu merupakan justifikasi untuk membela Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga persamaan gender ini bisa diakui. Klaim ini telah sampai dan menyebar ke berbagai negara Islam. Tetapi kita telah berupaya untuk menentang hal tersebut, karena bertentangan dengan ketetapan Allah swt.. Dan ini dapat kita perhatikan dari konsep penciptaan manusia, karena Allah swt. telah menciptakan Adam terlebih dahulu baru kemudian menciptakan Hawa. Kehidupan ini tidak akan selaras tanpa adanya perbedaan yang saling melengkapi satu sama lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah swt. dalam QS. Al Ahzab; 35:
”Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (ama)Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Dalam ayat ini telah terkonsep ‘persamaan’ antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan tuntunan syar’i. Jadi, intinya persamaan itu adalah persamaan di dalam iman, kejujuran, keikhlasan, berdzkir, memelihara kemaluan, zakat, puasa, dan sebagainya. Dan inilah yang dituntut dalam Islam.

Apa persamaan ini ada di dalam Islam?

Persamaan ini ada di dalam Islam, tetapi tidak sama dengan persamaan yang dipersepsikan oleh orang-orang Barat. Karena persamaan gender dalam Islam adalah penghormatan terhadap kaum wanita, yang dikenal dengan taklîfî syar’î. Dan inilah hakekat persamaan dalam Islam.

Bagaimanakah pendapat Anda terhadap ayat al-Qur`an yang berbunyi “al-rijâlu qawamûna ‘alâ an-nisâ” ini?

Ayat ini telah dijelaskan dan disempurnakan kembali oleh QS. Al-Baqarah ayat 228 yang artinya; “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” Untuk hal ini tidak sepantasnya kita menggabungkan dua ayat dengan gabungan yang khusus. Artinya, kedua ayat ini tidak boleh dikhususkan karena keduanya harus ditafsirkan sesuai dengan ayat al-Quran. Dengan demikian, aturan dasarnya harus kita mulai dari aturan dasar pertama yang menjadi sandaran atau prinsip utama, yaitu saling melengkapi adanya laki-laki dan perempuan. ‘Ma’ruf’ disini tidaklah statis, tetapi justru dinamis (berubah) sesuai dengan kondisi tempat dan waktu. Pengertian ‘ma’ruf’ berbeda-beda antara pengertian yang dulu dan sekarang. Ma’rufi di negara yang satu dengan negara yang lainnya mungkin saja berbeda, dengan syarat bahwa ma’ruf bisa diterima dengan akal sehat dan tidak berbenturan dengan nash-nash syariat. Ketika ma’ruf itu relevan di suatu negara dan bisa direalisasikan pada waktu tertentu, maka hal ini dapat ditolerir (diperbolehkan). Tetapi apabila di suatu negara terdapat pengekangan pergaulan perempuan terhadap perempuan lain, maka hal tersebut tidak bisa dibenarkan karena telah bertantangan dengan nash-nash al-Quran, khususnya bertentangan dengan surat An Nisa’ ayat 7 yang berbunyi; “al-rijâlu qawamûna ‘alâ an-nisâ.” Kata qawwâmah adalah penghormatan atau pemuliaan terhadap isteri dan itu berarti mempererat ikatan keluarga.
Sebelum membicarakan qawwâmah, ada 4 prinsip yang terdapat di dalamnya, yaitu : Pertama, hal-hal yang dapat memudahkan hidup sesorang dalam berkeluarga diantaranya adalah; a) Keduanya tidak memberikan pekerjaan di luar kemampuan. b) Isteri tidak banyak menuntut kepada suami berupa materi jika suami miskin. c) Jika seorang isteri sedang sakit, maka suami tidak boleh banyak menuntut untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya. Kedua, mencegah adanya bahaya. Di dalam surat Al Baqarah 233 Allah swt. menjelaskan; “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya.” Ketiga, selalu bermusyawarah dan saling memahami. Keempat, saling pengertian, saling ridha dan saling memahami satu sama lain, sebagaimana yang tertera dalam surat Al Baqarah ayat 233 yang mempunyai arti; “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum 2 tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan…”
Prinsip-prinsip ini harus diterapkan dalam kehidupan rumah tangga dan dijadikan sebagai prinsip yang dapat mengatur aktifitas keluarga.
Pada dasarnya, kepemimpinan (qawwâmah) berdifat tunggal. Karena apabila lebih dari satu, maka akan selalu bertentangan dan mengakibatkan atau mempengaruhi jalannya suatu masyarakat. Oleh karena itu harus ada satu pemimpin saja. Adapun kriteria pemimpin dalam keluarga di sini ada dua syarat, yaitu; 1) saling melengkapi sati sama lain dalam hal apapun. 2) suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya.
Kemudian apakah makna dari tafdhîl (pengutamaan) di sini sebagai pembeda antara laki-laki dengan perempuan? Tentu saja tidak. Maksud dari tafdhîl di sini adalah untuk diberatkan kepada laki-laki dan diringankan bagi perempuan. Dan hal itu pun disesuaikan dengan kemampaun wanita itu sendiri, seperti kewajiban shalat berjamaah, kewajiban berperang, kewajiban menafkai keluarga dan lain sebagainya. Semua ini merupakan kewajiban bagi suami dan sebaliknya tidak diwajibkan bagi istri.

Apakah boleh derajat wanita lebih tinggi daripada derajat laki-laki?

Boleh saja, tetapi hanya di hadapan Allah swt. saja, karena Islam itu memandang kepada kebiasaan yang umum. Karena kebiasaan umum itu biasanya menyeimbangkan berbagai perkara dan menyamakan perkara tersebut. Seorang isteri diciptakan untuk mendidik dan menyusui anak-anaknya. Ini sudah jelas bahwa seorang isteri itu harus berinteraksi kepada anak-anaknya, sedangkan suami berinteraksi dengan hal-hal yang berkenaan di luar rumah.
Karena seorang isteri sangat berperan penting dalam pendidikan anak muda, maka seorang isteri selalu berhadapan dan senantiasa melibatkan perasaannya. Dari sinilah derajat wanita lebih mulia di hadapan Allah swt., tetapi kepemimpinan dalam keluarga itu melihat dari hal-hal yang sifatnya umum di masyarakat. Sejatinya, isteri selalu berada di belakang anak-anaknya dan seorang isteri mempunyai sifat taat atau patuh kepada suaminya.

Bagaimana perkembangan wanita pada masa sekarang ini, baik secara umum maupun khusus?

Pada masa sekarang ini telah bermunculan gerakan-gerakan feminisme yang menuntut hak persamaan derajat wanita atau emansipasi wanita. Dan telah kita ketahui bersama bahwa di situ ada diskriminasi alias kedzaliman terhadap kaum wanita itu sendiri, sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat Islam. Semuanya ini diakibatkan karena kurangnya pengetahuan atau wawasan yang memadai dan adanya adat-istiadat yang kental secara turun-temurun. Hal ini sama sekali tidak diakibatkan oleh nash-nash (al-Quran dan Sunah). Oleh karena itu, kita harus senantiasa meningkatkan tsaqâfah atau pengetahuan dan selalu berpegang kepada nash-nash syar’i, baik itu nash-nash dari al-Quran maupun dari hadis yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Islam pada masa Rasulullah saw..
Pada masa itu, seorang perempuan mempunyai hak yang sama dengan seorang laki-laki dalam hal menuntut ilmu. Bahkan ada majlis yang khusus untuk mereka (baca: perempuan). Dan adanya kesamaan hak di dalam hal jual beli serta wanita juga boleh keluar dalam peperangan, seperti memberikan pengobatan dan makanan. Rasulullah saw. pun memperbolehkan wanita berpartisipasi dalam memecahkan suatu permasalahan sosial. Dan ini ada dasarnya, sebagaimana firman Allah swt. yang mempunyai arti; “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagaimana mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan berarti persamaan secara mutlak. Jadi kita boleh saja membicarakan tentang ‘persamaan’ dengan syarat harus berdasarkan kepada nash-nash al-Quran dan Hadis serta tidak terkontaminasi oleh budaya-budaya atau negara-negara Barat yang nyata-nyata melenceng dari nash-nash al-Quran dan Hadis, karena seruan-seruan Barat tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman kita.

Bagaimana posisi wanita dalam bidang politik dan pendidikan?

Hak perempuan di dalam bidang politik telah diatur dalam QS At Taubah dan Hadis Nabi saw.. Hal yang sama juga ditemukan dalam QS Ali Imran ayat 195 yang artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman); Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.” Sedangkan keterangan di dalam hadis yang artinya: “Tidak akan beruntung suatu negeri (negara) yang dipimpin oleh perempuan.”
Dengan memahami hadis di atas telah tampak bahwa perempuan tidak boleh berpartisipasi secara mutlak, karena hadis ini mukhashshish apa yang ada dalam al-Qur`an, yang berkaitan dengan adanya kepemimpinan wanita, yaitu Ratu Balqis. Adapun hak perempuan di dalam pendidikan diibaratkan sebuah sekolah, jika sekolah itu benar-benar menyiapkan kurikulum yang baik maka akan menghasilkan generasi yang unggul. Jadi, sangatlah urgen peranan wanita di dalam pendidikan dan wanita juga pemimpin di dalam rumah suaminya serta akan diminta pertanggungjawabannya.

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899