Makna Nazhar dan Relasinya Dengan Akal (Bagian XX)

Matan HPT:
اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ كلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

Syarah:
Kata Kunci: وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (Mereka berpendapat bahwa nashar (memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah), adalah wajib menurut ajaran Agama).
Secara bahasa, nazar bisa diartikan melihat, menunggu, bertemu, berfikir dan merenung.
Dalam ilmu kalam, nazar lebih identik dengan makna berfikir atau merenung atas sesuatu. Jika seseorang melihat benda, lalu bentuk benda muncul dalam gambaran otaknya, lalu mulai ada reaksi terhadap benda tersebut, bearti ia sudah mulai proses nazhar. Ia mulai berfikir dan membayangkan terhdap benda yang ada di hadapannya. Proses berfikir tadi, guna memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Oleh karena itu, Qadhi Abu Bakar menyatakan bahwa nazar merupakan proses berfikir untuk menghasilkan pengetahuan atau mendapatkan prasangka yang dekat dengan pengetahuan ilmu.
Nazhar bisa terkait dengan persoalan yang lebih luas. misalnya untuk memecahkan persoalan matematis, melihat gejala sosial untuk dianalisa, mengamati kejadian alam semesta, dan lain sebagainya. Karena nazhar sangat luas, maka proses nazhar juga luas. Nazhar umumnya melihat sesuatu secara spesifik sehingga lebih fokus. Dengan demikian, apa yang dihasilkan juga lebih sesuai dengan harapan. Karena nazhar cakupannya sangat luas, maka nazhar membutuhkan sarana yang benar. Sarana nazhar tadi, umum disebut dengan metodologi berfikir.
Para ulama kalam membagi nazhar menjadi dua, yaitu:

  1. Nazar terhadap sesuatu obyek dan permasalahan dengan cara pandang yang benar. Jika ini dilakukan, maka nilai yang dihasilkan akan benar. Contoh ketika ia memecahkan persoalan matematis dengan rumus-rumus yang sesuai. Hasilnya pun benar dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ketika ia meneliti tema lain, maka ia akan menggunakan metodologi lain yang sesuai dengan fokus bahasan.
  2. Nazar terhadap obyek persoalan, namun dengan sarana yang salah. Nilai yang dihasilkan, tentu akan salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
    Syarat utama agar seseorang dapat melakukan nazar adalah akal. Tanpa adanya akal, seseorang tidak akan dapat melakukan proses berfikir. Oleh karena itu, nazhar hanya dapat dilakukan oleh manusia, karena hanya manusia yang dapat berfikir dan membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang layak dan tidak. Dalam al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang memerintahkan kita untuk melakukan nazhar dengan melihat alam raya sehingga ada proses berfikir dalam otak manusia. Proses berfikir tadi, bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada pengakuan adanya Sang Pencipta seperti firman Allah berikut ini:
    الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
    Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS:Ali Imran: 191)
    سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
    Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS:Fushshilat: 53).
    اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ۚ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَاءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ
    Artinya: “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ´Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu.” (QS:Ar-Ra’d: 2).
    خَلَقَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ وَأَلْقَىٰ فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ ۚ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ كَرِيمٍ
    Artinya: Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. (QS. Luqman: 10).
    Dikatakan di atas bahwa syarat untuk proses berfikir (nazhar) adalah dengan akal pikiran. pertanyaannya, apakah akal itu? Menurut para filsuf, akal adalah esensi independen inmateri. ia wujud namun tidak berbentuk. Ia sebagai sarana ilmu pengetahuan. Para filsuf kadang melihat bahwa wujud yang lepas dari dunia materi, disebut dengan akal. Bahkan akal dianggap sebagai sumber atas sesuatu. Tuhan sendiri, mereka namakan sebagai akal pertama. wujud lain yang muncul, dianggap sebagai pancara atau bersumber dari akal pertama tadi.
    Menurut para filsuf, akal kadang diartikan sebagai potensi (quwah) yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan tertentu. Mereka menyebutnya dengan akal nazari (akal sebagai proses berfikir). Kadang diartikan sebagai potensi seseorang untuk dapat mengerjakan perbuatan yang bersifat partikular (juz’iy).
    Kalau akal dianggap sebagai potensi (bil quwah), apa bedanya dengan ruh? Akal (bil quwah) sepadan dengan potensi, sementara ruh adalah spirit atas sesuatu. Akal sebagai proses berfikir, dan ruh yang memberikan dorongan untuk melakukan proses pemikiran itu.
    Potensi (bil quwwah) sesungguhnya adalah istilah yang umum digunakan oleh para pakar mantik dan filsuf. Untuk mengidentifikasi sesuatu, kadang mereka menggunakan istilah bil quwwah dan bil fi’li. Bil quwwah adalah potensi yang ada pada diri seseorang. Bil fi’li adalah realita atau fakta yang terjadi di lapangan untuk mewujudkan potensi. Misal, manusia punya potensi (bil quwwah) untuk menjadi orang salih. Namun secara fakta (bil fi’li), tidak semua manusia menjadi orang shalih. Semua manusia mempunyai potensi untuk menjadi insinyur. Di alam nyata, banyak yang menjadi insunyur, namun tidak sedikit yang tidak bisa. Potensi seseorang untuk dapat melakukan perbuatan tertentu, oleh para filsuf disebut dengan istilah akal praktis (al-aqlu al-amaliy).
    Kadang manusia mempunyai potensi terpendam. Potensi itu akan muncul manakala diasah dan dilatih. Dengan kebiasaan tersebut, seseorang bias menjadi professional di bidangnya. seseorang yang punya potensi untuk menjadi penulis, lalu ia belajar dan berlatih menulis, dengan potensi dan latihan tersebut, ia bisa menjadi penulis professional. Potensi terpendam tersebut, oleh para filsuf dinamakan dengan al-aqlu alheoulany. Jika sudah dapat menulis namun belum dapat menyusun struktur kalimat secara benar, sehingga belum dapat mengungkapkan apa yang ada dalam otak dia, maka disebut aqlun bilmilkah. Jika sudah bisa, disebut aqlun bil fi’li. Akal kadang diartikan sebagai potensi mendapatkan ilmu tanpa proses belajar. Ini disebut sebagai akal suci. Tradisi Masyarakat secara umum menggunakan istilah akal bagi mereka yang sehat secara rahani. Akal juga dianggap sebagai tempat manusia menerima beban syariah.
    Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama kalam tentang arti akal. Perbendaan pendapat ini nantinya berimplikasi atas pertanyaan apakah baik dan buruk dapat diketahui melalui akal. Muktazilah menganggap bahwa akal adalah tempat di mana manusia dapat mengetahui dan membedakan antara perbuatan baik dan buruk secara independen. Dengan akal, sesuatu yang baik akan dikatakan baik, dan sesuatu yang buruk akan dikatakan buruk. Sebagian kalangan muktazilah mendefinisikan akal sebagai sesuatu yang dapat membedakan terbaik dari dua kebaikan dan terburuk dari dua keburukan. Pendapat ini berdasarkan kepada sikap dan prinsip mereka yang menyatakan bahwa baik buruk manusia dapat diketahui dengan akal.
    Menurut kalangan khawarij, akal adalah sesuatu yang dapat memikirkan perintah Allah dan larangannya. Pendapat ini lemah, karena mendefinisikan akal dengan kata-kata akal (memikirkan). Pendapat ini juga dianggap menafikan akal bagi orang yang belum menerima dakwah Islam, atau anak kecil yang belum baligh sehingga belum menerima beban taklif.
    Menurut Abu Ishaq yang bermazhab Asyariy, akal adalah ilmu. Hanya pendapat ini banyak mendapatkan kritikan, di antaranya adalah bahwa mendefinisikan akal dengan ilmu, dianggap tidak membedakan antara orang yang telah memperoleh banyak ilmu, dengan orang yang baru mendapatkan sedikit ilmu. Keduanya sama-sama disebut sebagai orang yang berilmu. Padahal di masyarakat, konotasi orang yang berilmu adalah mereka yang berpengetahuan luas.
    Imam Haramain, salah seorang ulama dari madzhab Asyari menyatakan bahwa akal adalah insting untuk dapat mencapai pada pengetahuan tertentu. Lalu beliau membagi ilmu menjadi dua yaitu ilmu qadim atau ilmu baharu (hadis). Hanya pendapat ini juga banyak mendapatkan kritikan. Jika ilmu harus dari akal, kemudian membagi ilmu menjadi qadim dan baharu (hadis), Imam Haramain sama saja dengan membagi akal menjadi qadim dan baharu (hadis). Sementara akal, semuanya baharu (hadis). Kecuali pendapat para filsuf yang menyatakan bahwa Tuhan adalah akal pertama dan sifatnya qadim.
    Sebagian ulama Asyari menyatakan bahwa akal adalah sebagian dari ilmu daruri. Yang dimaksudkan dengan ilmu dharuri adalah ilmu yang dimiliki manusia tanpa proses berfikir. hal itu, karena sesuatu yang ada tersebut sudah jelas dan sifatnya aksiomatis seperti pengetahuan manusia bahwa api itu panas, langit di atas, dan bumi di bawah.
    Imam Amidi dalam kitab al-Ibkar fi Ushuliddin menanggapi pendapat yang menyatakan akal merupakan bagian dari a’radh. Menurut Imam al-Amidi bahwa jika akal dianggap sebagian dari a’rad, ada dua kemungkinan. Bisa jadi ia adalah ilmu atau bukan ilmu. Jika akal bukan ilmu, pendapat ini tertolak karena orang yang tidak berilmu, nantinya tetap akan disebut sebagai orang yang berakal. Jika akal maknanya seluruh ilmu pengetahuan, bearti orang yang hanya mengetahui sebagian ilmu saja tidak bisa disebut sebagai orang yang berakal.

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899