Rubah Di Balik Seragam


Hafara el Quds

am sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi gelintiran bakso di gerobakku masih saja penuh. Biasanya jam segini aku sudah tinggal menghitung untung di rumah. Padahal badanku sudah lelah, rasa kantuk juga sudah mulai menyerangku. Aku teringat kata Pak Bejo, pemilik rumah yang ku kontrak, “Kalau tidak bisa melunasi kontrakan bulan kemarin sama bulan ini, cari rumah lain saja!” Huhh, sial.
Bayangan Pak Bejo selalu saja hadir di tengah kebingunganku ketika sepi pembeli. Belum lagi tagihan tukang listrik, yang ketika menagih, aku selalu menghindar, entah bagaimana caranya. Padahal di rumah kontrakanku, hanya ada TV warna 14 inch yang baru aku beli sekitar empat bulan yang lalu, juga radio butut yang ku bawa dari Solo. Aku masih ingat harinya, kalau tidak salah baru dua hari kemarin,

tukang listrik itu mendatangi rumahku jam dua belas malam. Katanya dia sudah beberapa kali ke rumahku, namun aku tidak di rumah. Jelas aku tidak di rumahlah, orang tukang bakso sepertiku pasti berkeliling menjajakan bakso. Kasihan dia.

Pelangganku biasa memanggilku dengan sebutan Bang Rudi, lahir di kota Solo. Semua keluargaku menggeluti bisnis perbaksoan. Tak heran kalau aku sekarang jadi tukang bakso keliling. Kalau kakakku yang sulung, di Solo sudah jadi bos bakso beneran, sedangkan aku? Harus merantau sendiri di kota orang. Aku pernah dengar kalau di Kudus, warganya sangat senang dengan bakso. Makanya aku ke sini. Siapa tahu sepuluh tahun mendatang, aku bisa jadi bos bakso seperti kakakku.

Di jaman yang serba “gila” ini, memang harus ekstra hati-hati, segala pengeluaran harus ngirit, nggak boleh boros. Bayangin aja, satu liter bensin harganya 4.500 rupiah, itu kalau di pom bensin. Kalau eceran, harganya bisa mencapai 4.800 rupiah. Apa nggak gila itu namanya?

Belum lagi kebutuhan pokok, contoh kecilnya seperti gula pasir, sekarang harganya sudah melangit, mencapai 6.500 rupiah per kilo. Padahal kota Kudus yang aku pilih untuk jualan bakso ini punya pabrik gula besar. Tapi kenapa harga gula tetap mahal ya? Ah bikin pusing kepala saja.

Tapi kalau Yang Maha Kuasa sudah memberikan rezeki pada hamba-Nya, itu nggak tanggung-tanggung. Percaya atau tidak, aku yang hanya seorang penjual bakso, sudah mempunyai sepeda motor. Ya.. walaupun bekas. Yang penting, aku kalau mau ke pasar untuk belanja, nggak usah mengayuh sepeda sendiri. Tinggal nyetarter motor, nyampe deh…
“Bang.. baksonya satu mangkuk ya, dibungkus lho,” teriak Ani, membuyarkan lamunanku.
“Beres Non,” aku mulai membuatkan semangkuk bakso untuknya. Aku sudah hafal kesukaan Ani. Dia paling suka kalau kecapnya banyak, dan dia tidak suka pedas.
“Belum tidur Non?” sapaku sambil menyodorkan bungkusan bakso pesanannya.
“Belum Bang, orang ada PR banyak neh. Aku kan kemarin pulang, jadinya baru bisa ngerjain sekarang. Ini Bang duitnya,” ujarnya sambil menyerahkan uang seribuan 2 lembar.

“Makasih ya Non,” kataku sambil ngeluyur pergi menjauhinya untuk berkeliling lagi. Lumayan lah ada tambahan satu mangkuk. Dari pada nggak ada sama sekali.
Setelah melewati daerah pekuburan di desa Kaliputu, aku mulai bingung, jalan mana lagi yang belum aku lewati. Tapi, ini jalan terdekat untuk sampai di rumahku, karena aku mengontrak rumah di desa Pedawang. “Ya sudah.. daripada pusing keliling terus, mendingan aku pulang saja,” ucapku dalam hati. “Oh ya, aku ingat! Aku kan punya langganan yang tinggal di depan lapangan desa Bacin,” tambahku mengingat-ingat.

Sekitar 200 meter aku berjalan, sampailah aku di depan lapangan desa Bacin. Jam segini memang masih rame untuk daerah ini, aku sendiri gak tau kenapa bisa begitu. Sebenarnya suasana seperti malam ini yang mendung diiringi hawa dingin, sangat pas untuk menyantap bakso, tapi kenapa mereka tidak ada yang membeli. Aku masih berharap ada yang mau membeli baksoku.

"Bang, bakso Bang," samar-samar aku mendengar seperti ada yang memanggil namaku. Kutengok ke kanan lalu ke kiri. Tetap saja tidak ada seorangpun. Aku lanjutkan jalanku menyusuri jalanan yang sesekali ada suara orang tertawa. Huh! Apa peduliku.

“Woi, Bang! Bakso!” aku menoleh ke belakang. Dari kejauhan ada seorang berkerudung lebar melambai-lambaikan tangannya. Ternyata instingku benar. Istri langgananku yang bernama pak Davis itu memanggil. Terima kasih Tuhan.
“Bang! Dipanggil-panggil kok gak dengar,” katanya lagi. “Apa sudah kebanyakan untung? Sampai gak mau dibeli lagi?” gerutunya.
“Maaf Mbak, habisnya tadi gak dengar,” aku beralasan.
“Ya sudah. Baksonya tujuh ya Bang,” ucapnya sambil masuk ke dalam rumah.
“yes..! Akhirnya laku juga,” aku tersenyum sendiri.

Di tengah-tengah keasyikanku membuatkan bakso, tiba-tiba kulihat ada mobil Toyota Kijang Innova masuk ke pekarangan rumah. Kemudian dari dalam rumah, ada yang keluar melihat siapa yang datang.
“Pah! Pakde Agan datang lho,” teriak putri sulung Pak Davis, yang belakangan kuketahui bernama Aurelia.
Ketika pintu mobil dibuka, keluarlah orang yang dipanggil Pakde Agan itu bersama istrinya dan kedua anaknya. Sungguh keluarga yang harmonis. Ah.. tapi apa urusanku? Aku hanya penjual bakso keliling. Tapi, kuakui kalau aku iri dengan keluarga ini.
“Bang, baksonya tambah tiga ya,” suara Pak Davis setengah berteriak.
“Siap Bos,” kataku bersemangat.



Kulirik jam yang menempel di tangan kananku, sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Uh… tulangku rasanya mau patah, capek banget. Jalan sedikit lagi, aku sudah sampai di rumah. Ketika sampai di depan rumah, aku merasakan ada yang berbeda. Kulihat pintu rumahku sedikit terbuka. Padahal aku yakin waktu meninggalkan rumah sudah ku kunci dengan benar. Rasa curigaku semakin kuat setelah aku masuk ke dalam rumah kontrakanku. Semuanya tampak sudah diobrak-abrik oleh seseorang. Berarti sebelum aku pulang, sudah ada orang yang mendahului aku masuk rumah ini. Kepalaku berkunang-kunang ketika TV 14 inci yang biasanya di atas meja, sudah raib. Ditambah lagi sepeda motorku yang sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanya kain penutup motorku saja. Aku tidak kuat menahan tubuhku.

"Maling..!! Rumahku kemalingan..!!" seketika aku berteriak-teriak. 

“Tolong.. Tolong.. Maling..” aku keluar rumah berharap ada yang mendengarkan teriakanku. Aku tak percaya ketika kulihat tetanggaku tidak ada yang keluar sama sekali. Apakah mereka tak peduli dengan apa yang terjadi denganku? Ataukah mereka sibuk dengan pekerjaan mereka, hingga tidak mendengarkan teriakanku?

Dengan nafas terengah aku berlari ke rumah pak RT yang jaraknya kebetulan tidak terlalu jauh. Ku ketuk pintunya beberapa kali, tapi tidak ada jawaban.
"Pak RT! Pak! Rumah saya kemalingan Pak!" teriakku sedikit kesal setelah lama menunggu, tak ada respon.

Kulihat lampu ruang tamu dihidupkan, tak lama setelah itu, kudengar suara kunci pintu diputar. Dengan mata yang dibuka dengan paksa, akhirnya pak RT bangun juga. Keluar menemuiku dengan masih berkaos oblong dan hanya mengenakan sarung.
“Ada apa Pak Rudi? Rumahnya siapa yang kemalingan?” tanyanya masih setengah sadar.
“Rumah saya Pak! Rumah saya kemalingan!” aku menjelaskan.
“Lho.. kok bisa itu gimana? Ceritanya gimana?” dia bingung.
“Sudah Pak! Ceritanya nanti saja, sekarang tolong telponkan Pak Polisi!” pintaku.



“Jadi ketika saya pulang sekitar jam setengah dua belas, saya mendapati rumah saya sudah dalam keadaan tidak terkunci. Padahal saya yakin ketika meninggalkan rumah, sudah saya kunci. Terus, sepeda motor dan TV saya sudah tidak ada. Bapak bisa lihat sendiri keadaan rumah saya ini kan!” jelasku pada Pak Bambang yang tidak kuketahui pangkatnya apa di Kepolisian.
“Bapak yakin kalau rumah ini sudah terkunci?” tanyanya.
“Yakin Pak,” jawabku dengan tegas.
“Lalu, bapak meninggalkan rumah ini jam berapa?”
“Sekitar jam 3 sore Pak.”
Kutunggu sekitar setengah jam, dua anak buah pak Bambang sedang memeriksa rumahku. Dari luar rumah sampai dalam kamar mandi mereka periksa. Mereka seperti menulis-nulis sesuatu yang tidak ku mengerti. Sambil menunggu jalannya pemeriksaan rumahku, aku lalu disuruh menulis laporan kecurian oleh salah satu polisi yang aku yakin kalau pangkatnya lebih rendah dari pak Bambang.
“Sudah ditulis semuanya Pak?” tanya pak Bambang.
“Sudah Pak.”
“Penyelidikan malam hari ini cukup sekian, besok akan kami lanjutkan lagi,” ujarnya.
“Rumah Bapak akan kami segel untuk kepentingan penyelidikan, jadi Bapak malam ini, saya sarankan untuk tidak menempatinya dulu,” tambahnya.
“Terus saya tidur dimana Pak?”
“Itu terserah Pak Rudi,” wajahnya tampak sangar.
“Rumah ini sudah saya kontrak, jadi hak saya untuk tinggal disini!” kutatap matanya.
“Terserah Bapak. Tapi nanti kalau pihak kepolisian kesulitan dalam penyelidikan, bukan urusan saya,” ucapnya enteng.
“Kan sudah kewajiban seorang polisi untuk membantu warga?”
“Kami hanya melayani warga yang mau bekerjasama.”
“Huh aneh..”
“Ya sudah, Pak Rudi menginap saja di rumah saya,” Pak RT menengahi.
“Gak bisa gitu dong Pak!”
“Sudahlah Pak Rudi,” suara pak RT menenangkan.
Akhirnya aku menurut dengan ucapan pak RT, malam ini aku menginap di rumahnya. Walaupun aku sudah capek, bekerja seharian, ditambah lagi rumahku dibobol orang. Aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Beberapa pertanyaan masih bergelanyut di pikiranku. Mengapa ada pencuri yang tega membobol rumahku, padahal aku hanya seorang penjual bakso. Apa hanya karena aku orang pendatang, yang mencoba mencari penghidupan di kota ini, lalu mereka curi barangku? Ditambah lagi polisi yang memuakkan itu. Hah.. jengah aku!!

Esoknya, aku mendapati beberapa polisi sudah berada di sekitar rumahku. Ada beberapa anak kecil yang menonton apa yang dikerjakan oleh polisi. Tampaknya rumahku sudah disegel. Ada plastik panjang berwarna kuning yang bertuliskan dilarang masuk mengelilingi rumahku. Oh sedihnya.
Aku bersama pak RT mencoba mendekati rumahku. Aku masih gusar memandangi kerja para polisi. Seharusnya mereka sudah mencari siapa dalang dibalik semua ini. Lalu, apa yang mereka cari di rumahku? Mereka hanya seperti gasingan, kerjanya hanya muter-muter rumahku saja.
“Pak Rudi, silahkan masuk,” ajak pak Bambang yang kulihat sudah berpakaian rapi, lengkap dengan segala atributnya, tidak seperti semalam.
“Ada apa Pak?”
“Anda akan diberi tahu tentang bagaimana proses bagian penyelidikan oleh Bu Retno.”
Aku hanya menurut ketika disuruh duduk di kursi dekat meja TV yang biasanya kujadikan tempat untuk bersantai selepas keliling bakso. Tapi sekarang sepertinya sudah sangat asing bagiku.



‘Iya Pak, “Lho Bu! Kok malah saya bayar ke polisi. Gimana sih!”
“Iya Pak, tapi ini demi kepentingan penyelidikan,” katanya tak mau kalah.
“Penyelidikan macam apa? Yang namanya penyelidikan itu, ya mencari siapa orang yang mengobrak-abrik rumah saya kemarin malam. Mencari siapa orang yang telah melarikan sepeda motor saya. Bukan malah meminta uang dari saya,” aku emosi melihat gelagat polisi yang kurang baik.
“Bapak ini mau kami bantu atau tidak?!” bu Retno yang tadinya duduk, sekarang berdiri.
“Sudah tugas para polisi untuk membantu warga! Saya juga sudah membayar pajak. Ingat Bu! Saya ini korban pencurian. Bukan seorang pencuri!”
“Pak Rudi, kami minta kerjasamanya,” ujar pak Bambang seraya berjalan mendekat.
“Kerjasama macam apa?! Kalian ini polisi atau penodong?! Apa kalian tidak tahu, saya ini hanya tukang bakso keliling yang untungnya tidak banyak. Rumah saya sekarang ini juga lagi kecurian. Apa kalian tidak bisa melihat?!” aku sudah tak kuat melihat kenyataan yang terjadi padaku. Aku hanya heran, kenapa para polisi itu tega untuk memeras aku, yang hanya penjual bakso.

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899

