Perbedaan Muhammadiyah dengan Wahabi ( bagian 1)

Oleh
Prof. Dr. H. A. Athaillah, M.Ag

 

I. Pendahuluan

Kita selaku umat Islam patut bersyukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan kemampuan kepada organisasi Islam yang bernama Muhammadiyah
untuk memelihara kemurnian ajaran Islam dan sekaligus melaksanakan
pembaruan di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Selama 100 tahun atau
satu abad sejak didirikannya oleh Kiai H.Ahmad Dahlan pada tahun 1912
yang lalu, Muhammadiyah tidak pernah absen memberikan kontribusinya
kepada umat Islam pada khususnya dan kepada bangsa Indonesia pada
umumnya. Kontribusi tersebut, baik yang berkenaan dengan kemaslahatan
untuk agama dan dakwah maupun yang berkenaan dengan kemaslahatan untuk
pendidikan dan sosial. Hal itu dapat disaksikan realitasnya dengan jelas
dari waktu ke waktu.

Meskipun demikian, tidak berarti Muhammadiyah sunyi dari isu-isu yang
dapat merugikan nama baik dan citranya. Karena sejak awal berdiri hingga
sekarang ini, Muhammadiyah telah dituduh Wahhabi dalam arti negatif
oleh para pesaingnya. Lebih daripada itu lagi, Wahabi itu sendiiri telah
dituduh menjadi dasar ideologi terorisme, terutama di Indonesia. Dengan
demikian, logikanya adalah Muhammadiyah sama dengan terorisme.

Tuduhan tersebut perlu diklarifiksi dan dijawab sebagaimana mestinya,
karena tuduhan tersebut di samping merugikan Muhammadiyah, juga tidak
berdasarkan fakta, tetapi hanya berdasarkan opini dan dugaan semata.
Untuk klarifikasi dan jawaban tersebut, Penerbit Suara Muhammadiyah
telah menerbitkan buku yang berjudulMuhammadiyah dan Wahanisme
yang sekaligus merupakan kumpulan makalah yang disampaikan oleh para
pakarnya dalam sebuah seminar dengan tema Kupas Tuntas gerakan Wahhabi
pada tanggal 10 Desember 2012.

Apa yang telah dipaparkan dalam buku tersebut dapat diterima dan sudah
cukup untuk menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada Muhammadiyah.
Meskipun demikian, dalam kesempatan bedah buku Muhammadiyah dan Wahabisme ini,
akan disampaikan juga beberpa hal yang mendukung apa yang telah
dipaparkan dalam buku tersebut sesuai dengan permintaan Majelis Pustaka
dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Untuk
itu, maka paparannya mencakup (a)  sekilas tentang kelahiran
Wahhabiyyah, gerakan, dan ajaran-ajarannya, (b) sekIlas tentang
 Muhammadiyah, persamaan dan perbedaannya dengan Wahhabi, (c)
Muhammadiyah tidak dipengaruhi oleh Wahhabi, tetapi oleh gerakan dan
pemikiran pembaruan yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla,
(d) Penutup.

II. Sekilas tentang Kelahiran Wahhabi, Gerakan dan Ajaran-Ajarannya

Sebelum melakukan analisis tentang hubungan Muhammadiyah dengan
Wah-habi, terlebih dahulu kita perlu mengetahui latar belakang kelahiran
Wahhabi, gerakan, dan ajaran-ajarannya..

Wahhabi atau Wahhabiyyah adalah salah satu aliran dalam Islam yang
lahir di Nejd (Saudi Arabia). Aliran tersebut didirikan oleh Muhammad
ibn Abd al-Wahhāb (1115 H-1206 H/1703-1787 H) di desa ‘Uyaynah yang
terletak di Nejd, Setelah menimba ilmu pengetahuan agama di Madinah, ia
pergi merantau ke Basrah dan tinggal di kota itu selama empat tahun.
Setelah itu, ia pindah ke Bagdad dan kawin dengan seorang wanita y kaya.
Lima tahun kemudian, setelah isterinya meninggal dunia, ia pindah ke
Kurdistan dan menetap di sana selama satu tahun. Setelah itu ia pindah
ke  ke Hamażan dan menetap di sana selama dua tahun. Setelah itu, ia,
pindah lagi ke Isfahan. Di kota yang terakhir ini ia sempat mempelajari
filsafat dan tasawuf. Setelah beberapa tahun lamanya merantau, ia
akhirnya kembali ke ‘Uyaynah, tempat kelahirannya.(Harun Nasution, 1975:
23)

Setelah beberapa bulan kembali ke desa Uyayynah, Muhammad ibn Abd
al-Wahhab mulai melakukan gerakannya untuk memperbaiki kondisi umat
Islam di desa kelahirannya.. Gerakan itu dilakukannya, bukan merupakan
respon dan reaksi terhadap suasana politik di Nejd seperti yang terdapat
di Kerajaan Utsmani dan Mughol, melainkan sebagai respon dan reaksi
terhadap pemahaman tauhid yang berkembang di masyarakat Muslim waktu
itu; dan pemahaman mereka itu menurutnya, sudah menyim-pang dari paham
tauhid yang sebenarnya. Menurutnya, kemurnian tauhid mereka telah
dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 M telah
tersebar luas di dunia Islam. (Harun Nasution, 1975: 23)

 Pengrusakan kemurnian tauhid tersebut telah disaksikan oleh Muhammad
Abd al-Wahhab di setiap negeri Islam yang telah dikunjunginya. Di setiap
kota dan desa di negeri-negeri Islam tersebut terdapat kuburan-kuburan
syekh-syekh dan wali-wali tarekat yang dianggap keramat. Ke
kuburan-kuburan itulah umat Islam berziarah dan memohon pertolongan
kepada syekh-syekh dan wali-wali yang terbaring di dalamnya agar
berkenan menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi, baik yang
berkenaan dengan keinginan untuk mendapatkan anak, jodoh, harta kekayaan
maupun yang berkenaan dengan keselamatan dari bala dan kesembuhan dari
penyakit yang diderita.. Umat Islam melakukan hal itu, karena menurut
keyakinan mereka, syekh-syekh dan wali-wali tarekat itu meskipun telah
meninggal dunia dipandang dapat menyelesaikan segala persoalan yang
hadapi manusia di dunia ini. (Harun Nasution, 1975: 23)

Menurut Muhammad Abd al-Wahhab, karena pengaruh ajaran tarekat
tersebut, permohonan dan doa tidak lagi langsung dipanjatkan kepada
Allah SWT sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi
melalui syafaat dari syekh-syekh dan wali-wali tarekat, yang diyakini
sebagai orang-orang yang dapat mendekati Allah dan mendapatkan
rahmat-Nya. Menurut keyakinan orang-orang yang berziarah ke
kuburan-kuburan syekh-syekh dan wali-wali tersebut, Allah tidak dapat
didekati, kecuali melalui perantara. Menurut Ahmad Amin, bagi mereka,
Allah itu seperti seorang raja yang zalim di dunia, yang untuk
memperoleh belas kasihan dan keampunannya harus didekati melalui
orang-orang besar  dan berkuasa di sekiarnya. (Harun Nasution, 1975: 24)

 Pada mulanya gerakan dan paham Muhammad Abd al-Wahhab tersebut
mendapat tantangan yang keras dari masyarakatnya, termasuk dari
keluarganya sendiri. Meskipun demikian, ia masih mendapatkan pengikut
yang banyak. Di antaranya, banyak pula yang berasal dari luar desanya..
Namun, karena paham dan gerakannya telah menimbulkan berbagai keributan
di desanya, ia pun diusir oleh penguasa setempat. Karena itu, ia dan
keluarganya terpaksa meninggalkan ‘Uyaynah dan hijrah ke Dar’iyah,
sebuah desa tempat tinggal  Muhammad ibn Sa’ud, kepala suku yang kelak
menjadi nenek moyang raja-raja Kerajaan Sa’udi.Arabia secara turun
termurun.  Kebetulan tokoh yang terakhir ini sudah mengikuti paham yang
dibawanya dan mendukung dan memberikan fasilitas untuk gerakan dan
penebaran pahamnya. Dengan hijrahnya Muhammad ibn Abd al-Wahhab dari
‘Uyaynah ke Dar’iyah, telah membawa keberuntungan kepadanya. Karena
dengan bergabungnya kedua tokoh tersebut telah membuat paham Wahabiah
berkembang pesat di Saudi Arabia, terlebih lagi setelah berdiri kerajaan
Su’udiyah, tidsk ada lsgi yang dapat menghslangi perkembangan gerakan
dan paham Wahabiyyah.

Sepeninggal Muhammad ibn Sa’ud, anak dan keturunannya yang telah
menjadi penguasa di Saudi Arabia terus memberikan dukungan dan ikut
mengembangkan paham Muhammad Abd al-Wahhab. Bahkan, meskipun kerajaan
Saudi Arabia telah mengalami pasang surut dan di antara para penguasanya
telah dihukum mati oleh kerjaan Usmani, paham Muhammad ibn Abd
al-Wahhab tetap berjaya di sana. Begitu pula setelah tokohnya sendiri
wafat pada tahun 1206/1795 M), paham tersebut telah memiliki kedudukan
yang kuat di tanah suci, baik dari segi penerimaan oleh masyarakat
Muslim di sana maupun dari segi politik.

Paham dan gerakan yang berasal dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab ini
dinamai Wahhabi atau Wahhabiyyah. Namun, nama tersebut, bukan berasal
dari pendirinya atau para pengikutnya, melainkan dari  pihak lain yang
telah menentangnya. Sebenarnya nama Wahhabi atau Wahhabiyyah tersebut
tidak tepat, karena nisbahnya bukan kepada pendirinya, tetapi kepada
ayahnya yang tidak ada terliobat dalam pengembangan ajaran-ajaran
anaknya..Nama yang tepat adalah Muhammadiyyah sesuai dengan nama
pendirinya Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Namun, mereka sendiri menyebut
paham dan gerakan mereka itu dengan muwahhidin, Ahl al-sunnah wa al-Jamū’ah, dan Salafiyah.
Alasan mereka mengatakan demikian, ksrena mreka hanya menganut dan
mengikuti apa yang telah dianut dan dilakukan oleh Rasulullah SAW, para
sahabat, dan para salafussaleh yang mengikutinya.  Sistem tarekat
(metode) yang mereka ikuti adalah Muhammadan  (kata ini dapat
menunjuk kepada Muhammad ibn Abd al-Wahhab, tetapi juga bisa
mengisyaratkan kepada Nabi Muhammad SAW).(Tim Penulis IAIN Syahid, 2002:
1242)

   Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan para pengikutnya mengaku bahwa mereka
adalah golongan Sunni, pengikut mazhab Ahmad ibn Hanbal versi Ibn
Taimiyah. Karena itu, pokok-pokok akidah menurut Wahhabi pada dasarnya
tidak berbeda dengan yang telah dikemukakan Ibn Taimiyah.. Perbedaannya
hanya pada cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa masalah tertentu.
DI samping itu, kalau Ibn Taimiyah menanam-kan paham-pahamnya kepada
orang lain dengan cara menulis buku, dialog, dan perdebatan, Muhammad
Abd al-Wahhab menanamkan paham dan ajaran-ajarannya dengan kekerasan
sehingga tanpa rasa risih menuduh orang yang menolaknya sebagai orang
kafir dan syirik yang boleh dibunuh aau membongkar kuburan dan
meratakannya dngan tanah dan merusak bangunan mesjid kalau itu
dianggapnya merupakan tempat yang membawa kepada kemusyrikan.

Ajaran-ajaran Muhammad Abdul Wahhab atau Wahabiyyah tersebut, antara lain.

1.    Orang yang beribadah kepada selain Allah adalah kafir; karena itu boleh dibunuh.

2.    Oleh karena Allah adalah Mahaesa dalam menerima ibadah, maka tidak boleh berdoa kepada Allah melalui perantara (wasilah)

3.    Meminta pertolongan kepada syekh-syekh atau wali-wali tarikat
yang terbaring dalam kuburan, baik untuk mendapatkan jodoh, anak,
rezeki, dan keselamatan adalah syirik. 

4.    Haram berzikir dan membaca wiirid dengan menggunakan buah tasbih, tetapi cukup dengan menghitung keratan jari.

5.    Bidah, takhayul, dan khurafat wajib dibasmi

6.    Termasuk perbuatan bidah adalah memperingati maulid Nabi SAW,
menyelenggarakan halqah zikir, membaca kitab-kitab manaqib, kitab-kitab
tawassulat, dan Dalail- al-Khairat.

7.    Pintu ijtihad tidak tertutup; karena itu siapa saja yang sudah memenuhi syarat-syaratnya, boleh berijtihad.

8.    Tidak boleh taklid dalam beragama

9.    Sumber ajaran Islam hanya Alquran dan al-sunnah. Kalau masih
diperlukan ijtihad untuk menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam
Alquran dan al-Sunnah, kedudukannya bukanlah sebagai sumber, melainkan
sebagai metode saja, termasuk di dalamnya qiyas.

10   Kalau terdapat pertentangan antara pendapat Imam mazhab, seperti
Ahmad ibn Hanbal dengan Alquran dan al-Hadits, pendapat Imam mereka,
mereka tinggalkan dan mereka ambil penegasan dari Alquran atau
al-sunnah.

(bersambung…)