Sejarah Masuknya Islam di Bumi Cenderawasih

Papua adalah sebuah kota terluas di Nusantara yang terletak di bagian paling timur Irian Jaya. Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat.
Banyak yang mengatakan bahwa Papua adalah
kota di mana agama Kristen adalah agama yang pertama kali masuk ke Papua
sehingga dikatakan bahwa Papua adalah Kota Kristen khususnya Manokwari
yang disebut-sebut sebagai Kota Injil. Tidak banyak yang tahu sejarah
masuknya agama Islam ke Papua. Banyak yang mengatakan bahwa agama
Kristen adalah agama yang terlebih dahulu atau yang pertama masuk ke
Papua padahal berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa
sejarawan mengatakan bahwa agama Islam adalah agama yang pertama masuk
ke Papua. Penulis di sini akan menulis sedikit atau sekilas sejarah
masuknya agama Islam ke Papua yang mungkin tidak banyak diketahui oleh
masyarakat luas. 
Tidak mudah melacak jejak masuknya agama Islam  ke Papua. Upaya
penelusuran sejarah tersebut akan dihadapkan dengan berbagai temuan
versi sejarah yang beragam. Bumi Cendrawasih sendiri telah sejak lama
dikenal dalam rangkaian bumi Nusantara. Seperti halnya awal
masuknya agama Islam di Nusantara, para sejarawan memiliki pandangan
yang berbeda tentang masuknya agama Islam di Papua. Ada sejarawan yang
berpendapat bahwa agama Islam telah tersebar di Papua pada abad ke-14.
Pendapat ini didasarkan pada keterangan Thomas W. Arnold dalam tulisannya The Preaching Of Islam.
Beliau mengatakan bahwa “Setelah Kerajaan Majapahit runtuh yang
dikalahkan oleh Kerajaan Islam Demak maka pemegang kekuasaan berikutnya
adalah Kerajaan Islam Demak. Sebagaimana Kerajaan Majapahit, maka
Kerajaan Islam Demak itu memiliki pengaruh terhadap wilayah Papua, baik
langsung maupun tidak.”
Bukti berupa tradisi lisan masih terjaga sampai hari ini berupa
cerita dari mulut ke mulut tentang kehadiran Islam di Bumi Cendrawasih.
Selain itu terdapat living monument yang
lain berupa makanan Islam yang dikenal dimasa lampau yang masih
bertahan sampai hari ini di Papua kuno di desa Saonek, Lapintol dan Beo
di distrik Waigeo. Belum lagi bukti-bukti tekstual berupa naskah dari
masa Raja Ampat dan teks kuno lainnya di beberapa masjid kuno. Sedangkan
di Fak-Fak, Papua Barat, masih dapat ditemukan delapan manuskrip kuno
berhuruf Arab berbentuk kitab dengan berbagai ukuran. Yang terbesar
berukuran kurang lebih 50 x 40 cm berupa mushaf Al Quran yang ditulis
dengan tulisan tangan di atas kulit kayu dan dirangkai menjadi kitab.
Sedangkan keempat kitab lainnya, salah satunya bersampul kulit rusa,
merupakan kitab hadits, ilmu tauhid dan kumpulan doa. Kelima kitab
tersebut diyakini masuk pada tahun 1912 dibawa oleh Syekh Iskandarsyah
dari kerajaan Samudra Pasai yang datang menyertai ekspedisi kerajaannya
ke wilayah timur. Mereka masuk melalui Mes, ibukota Teluk Patipi saat
itu.
Sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis di atas daun koba-koba yang
merupakan pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Tulisan tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas
bentuknya mirip dengan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang
banyak dijumpai di wilayah Indonesia Timur. Thomas W. Arnold (1864-1930) adalah
seorang orientalis berkebangsaan Inggris yang juga Profesor Bahasa Arab
di Sekolah Studi Oriental, Universitas London berpendapat bahwa Kerajaan
Islam Demak yang berkedudukan di Jawa Timur memiliki pengaruh dalam
penyampaian dakwah di Papua mengingat Papua pada masa Kerajaan Majapahit
termasuk dibawah pengaruhnya sedangkan Kerajaan Majapahit digantikan
kedudukannya oleh Kerajaan Islam Demak. Masuknya Papua dalam wilayah
pengaruh Kerajaan Majapahit sebelum digantikan oleh Kerajaan Islam Demak
didasarkan pada buku Nagarakartagama yang telah dikutip di atas. Dalam
buku itu disebutkan nama Onin dan Seram (nama lain dari Ewanin dan Kowiai) yang terdapat di daerah Fak-Fak di mana disebutkan bahwa daerah itu telah terpengaruh ajaran agama Islam. 
Bahkan dalam bukunya tersebut lebih lanjut
dijelaskan armada-armada perdagangan dari Maluku dan mungkin dari Pulau
Jawa di sebelah barat kawasan ini telah memiliki pengaruh jauh
sebelumnya. Dari buku tersebut dikatakan bahwa seiring dengan runtuhnya
Kerajaan Majapahit (1527) yang pernah menguasai sejumlah kawasan di Asia
Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam hingga Thailand,
hadirlah kekuatan baru yaitu kekuatan Kerajaan Islam Demak. Sejak zaman
Kerajaan Islam Demak itu, atau bahkan jauh sebelumnya, pengaruh
Kerajaan Islam Demak menyebar ke Papua. Penyebarannya melalui jalur
perdagangan para saudagar dan da’i muslim yang berdakwah.
Seorang Guru Besar Bidang Arkeolog, Fakultas
Sastra di Universitas Negeri Malang dan sekaligus Ketua Asosiasi Ahli
Epigrafi Indonesia (AAEI) Jawa Timur yang bernama Prof. Dr. Habib Mustopo mengemukakan pendapat yang berbeda dengan Thomas W. Arnold. Beliau menyebutkan
bahwa kehadiran agama Islan di Papua justru sekitar satu setengah abad
sebelum keruntuhan Kerajaan Majapahit. Menurut beliau, pada saat
Kerajaan Majapahit eksis, dakwah agama Islam juga sudah eksis. Apalagi
dengan ditemukannya artefak yang waktunya terentang antara 1368-1611 M
yang membuktikan adanya komunitas muslim disekitar Keraton Kerajaan
Majapahit, di Troloyo, yakni sebuah daerah bagian selatan pusat Kota
Majapahit yang otomatis menjadi pengaruh Kerajaan Islam Demak. Setelah
Kerajaan Majapahit digantikan kedudukannya oleh Kerajaan Islam Demak,
kebesaran Kerajaan Majapahit tidak terimbangi dengan kebesaran Kerajaan
Islam Demak.
Di Samate juga ditemukan keturunan
Arab-Islam. Sementara itu komunitasagama Islam juga terdapat di daerah
Asbaken. Kedatangan para transmigran dari Pulau Jawa juga telah mengubah
peta penyebaran penduduk berdasarkan agama. Kedatangan dan penyebaran
agama-agama di wilayah Moi tidak melalui peperangan namun dengan cara
damai.
Sementara itu, berdasarkan data arkeologi dan
sejarah penyebaran dan sosialisasi agama Islam di Nusantara dapat
dijelaskan fdalam fase-fase pertumbuhan dan perkembangan yang secara
kronologis sebagai berikut :
1. Fase kontak komunitas Nusantara dengan para pedagang dan musafir.
Seperti yang kita ketahui
bahwa awal masuknya agama Islam ke Nusantara yakni melalui kontak antara
komunitas Nusantara dengan para pedagang dan musafir dari Arab, Persia,
Turki, Syria, India, Pegu, Cina dan yang lainnya. Fase ini berlangsung
pada awal abad Masehi hingga abad ke-3 sampai ke-9. Akibat perdagangan
ini para pedagang asing yang memeluk agama Islam mengadakan kontak dan
bergaul dengan masyarakat Nusantara. Fase ini berlangsung antara abad
ke-9 dan ke-11.
2. Fase tumbuhnya pemukiman muslim di Nusantara.
Pada fase ini,
kantung-kantung pemukiman muslim di Nusantara semakin tumbuh dan
berkembang baik di pesisiran maupun di pedalaman. Fase ini berlangsung
antara abad ke-11 sampai ke-13. Bukti-bukti tersebut ditemukan dipesisir
Sumatera, Jawa Timur, Ternate dan Tidore.
3. Fase tumbuhnya pusat-pusat kekuatan politik dan kesultanan agama Islam di Nusantara.
Fase berikutnya adalah
tumbuhnya pusat-pusat kekuatan politik dan kesultanan agama Islam di
Nusantara.yang terjadi pada abad ke-13 sampai abad ke-16. Kerajaan
bercorak agama Islam yang tumbuh dan berkembang sekitar fase ini mulai
mengadakan hubungan dengan ekstradisi besar Eropa yang dimotivasi
perdagangan. Tepatnya pencarian sumber-sumber penghasil rempah-rempah. 
4. Fase perdagangan yang sangat maju di Nusantara.
Fase dimana perdagangan yang
sangat maju di Nusantara memungkinkan pedagang  Nusantara seperti
Bugis, Makassar, Buton maupun perpindahan penduduk karena transmigrasi
masuk ke wilayah Papua melalui pintu masuk Papua yaitu Kota Sorong.
Kondisi inilah yang menyebabkan pengaruh agama Islam masuk ke wilayah
kota sampai ke pelosok pedalaman.
Pendapat Thomas W. Arnold
dapat dipahami dan dicerna berdasarkan analisa pendekatan historiografi
yang bisa dilihat dalam fase ketiga di atas, ini dibuktikan dengan
beberapa tempat yang ada di Papua. Misalnya suku-suku asli dari Moi yang
beragama Islam di daerah Moraid yang berketurunan campuran dengan
bangsa pendatang Arab dan Timur Tengah lainnya. Agama Islam juga masuk
ke Papua karena di dakwahkan oleh kaum pendatang dari Maluku. Dalam
catatannya disebutkan “Beberapa suku di Papua di Pulau Gebi antara
Waigyu dan Halmahera telah di Islam kan oleh kaum pendatang dari Maluku.
Di Irian Jaya, hanya sedikit penduduk yang memeluk agama Islam. Agama
ini pertama kali dibawa masuk ke pesisir barat, mungkin semenanjung Onin
oleh para pedagang muslim yang berusaha sambil berdakwah di kalangan
penduduk. Itu terjadi sejak tahun 1606 tetapi nampaknya kemajuannya
berjalan sangat lambat selama berabad-abad kemudian.”
Menurut Thomas W. Arnold
tentang masa awal kehadiran agama Islam di Papua untuk pertama kalinya
terjadi pada awal abad ke-17. Hal itu berarti bahwa kehadiran agama
Islam di pulau terbesar negeri ini mendahului sekitar dua abad dari
kehadiran agama Kristen Protestan. Agama Kristen Protestan masuk pertama
kali di Papua melalui daerah Manokwari pada tahun 1855 yang di bawa
oleh dua missionaris dari Jerman yang bernama C.W. Ottow dan G. J. Geissler utusan
UZV (Utrechse Zendings Vereningging) yang kemudian menjadi pelopor
kegiatan missionarisasi di Pulau Mansinam pada 5 Februari 1855.
HJ De Graaf,
seorang ahli sejarah dari Belanda berpendapat bahwa agama Islam masuk
ke Papua melalui Ternate dan Bacan. Beliau menegaskan bahwa berdasarkan
catatan-catatan, kedatangan agama Islam di tanah Papua sesungguhnya
sudah sangat lama. Agama Islam masuk ke Papua melalui jalur-jalur
perdagangan sebagaimana halnya dengan di kawasan lain di Nusantara. Pada
pertengahan abad ke-16, wilayah Kerajaan Ternate meliputi wilayah
Sulawesi Utara mulai dari Mandar sampai Manado. Rajanya adalah seorang
Muslim. Atas ajakan Raja Ternate, Raja Bolang Mongondow memeluk agama
Islam. Terus ke timur Kepulauan Maluku yakni Kerajaan Bacan. Muballigh
dari Kerajaan Bacan terus mendakwahkan agama Islam ke kawasan
tetangganya di Papua melalui jalur perdagangan.
Pengaruh hegemoni Ternate
terhadap kerajaan-kerajaan di Papua di kemukakan oleh Le Periplus yang
mengatakan “Pengaruh ras Austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan
raja di antara keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari kesultanan
Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di
bidang perdagangan, pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate ditemukan di
Raja Ampat, Fak-Fak dan Kaimana.” Berdasarkan temuan Peripulus ini, terbangunnya komunitas muslim di Fak-Fak dan Kaimana tidak lepas dari pengaruh Kerajaan Ternate pada masa silam.
Islam diyakini telah ada di
Papua jauh sebelum misionaris Nasrani masuk pulau paling timur Indonesia
itu. Saksi bisu sejarah itu adalah Masjid Patimburak di Distrik Kokas,
Fakfak. Masjid ini dibangun oleh Raja Wertuer I bernama kecil Semempe.
Pada tahun 1870, Raja Wertuer I membuat sayembara yaitu misionaris
Kristen dan imam Muslim ditantang untuk membuat masjid dan gereja.
Masjid didirikan di Patimburak dan gereja didirikan di Bahirkendik. Bila
salah satu di antara keduanya bisa menyelesaikan bangunannya dalam
waktu yang ditentukan, maka seluruh rakyat Wertuer akan memeluk agama
itu.
“Masjid lah yang berdiri
pertama kali,” ujar juru kunci masjid itu, Ahmad Kuda. Maka raja dan
seluruh rakyatnya pun memeluk Islam. Bahkan sang raja kemudian menjadi
imam dengan pakaian kebesarannya berupa jubah, sorban dan tanda pangkat
di bahunya.
Masjid ini dibangun oleh
seorang imam yang bernama Abuhari Killian. Arsitektur Masjid Patimburak
sendiri tergolong unik. Dari kejauhan, masjid ini terlihat seperti
gereja. Kubahnya mirip gereja-gereja di Eropa masa lampau. Namun ada
empat tiang penyangganya di tengah masjid yang menyerupai struktur
bangunan Jawa. Interior dalamnya pun hampir sama dengan masjid-masjid di
Pulau Jawa yang didirikan oleh para wali. Masjid itu kini
masih berdiri megah di pinggir teluk Kokas, setengah jam perjalanan
dengan perahu bermotor dari dermaga Kokas. Lubang bekas peluru sisa-sisa
serbuan pasukan Belanda maupun Jepang dibiarkan utuh.
1386172439609157549
Masjid Patimburak, Saksi Bisu Sejarah Islam di Papua Abad 19
Toni Victor M. Wanggai dalam disertasinya Rekonstruksi Islam Papua juga melihat
pengaruh kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa di kawasan Indonesia
bagian timur saat itu yakni : Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan. Hal
itu terlihat dari kehadiran Islam di Raja Ampat, situs Islam di Pulau
Nusmawan, Kabupaten Teluk Bintuni dan lain sebagainya.
Kerajaan Bacan merupakan
salah satu kerajaan Islam yang memiliki peran penting penyebaran Islam
di Papua melalui jalur kekuasaan. Hal itu karena sejak abad ke-15. Andil
Bacan terhadap awal masuknya Islam di Papua dilakukan Sultan Bacan
melalui pengangkatan sejumlah tokoh local menjadi pemimpin-pemimpin di
Biak. Mereka diberi berbagai gelar yang merupakan jabatan suatu daerah.
Sejumlah nama jabatan tersebut sekarang dapat ditemukan dalam bentuk
marga atau fam penduduk Biak Numfor. Dari sumber-sumber barat diperoleh
catatan bahwa pada tahun 1520 yaitu pada abad ke-16, Kerajaan Islam
Bacan berhasil menguasai sejumlah daerah di Papua seperti Waigeo,
Misool, Waigama dan Salawati (yang merupakan Suku Moi dalam rumpun Moi
Maya) membuat mereka tunduk pada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku
sehingga dapat dipastikan masuknya pengaruh Islam di daerah-daerah
tersebut. Bahkan melalui pengaruh sultan sendiri, sejumlah pemuka
masyarakat di wilayah Papua tersebut, khususnya di daerah pesisir,
memeluk agama Islam setelah sebelumnya menganut kepercayaan tradisi. Hal
ini juga diakui oleh Thomas W. Arnold
Peran Bacan terhadap masuknya Islam di Papua dikemukakan oleh WC. Klein. Dalam hal ini Klein menulis
: “Pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi Kerajaan Bacan
di mana dari kunjungan tersebut terbentuklah kerajaan-kerajaan).”
Kerajaan-kerajaan yang di maksud itu adalah Kerajaan Raja Ampat,
Kerajaan Raja Rumbati, Kerajaan Atiati dan Kerajaan Fatagar. Selain
menjelaskan peran Bacan terhadap masuknya Islam di Papua, Klein
juga mengisyaratkan bahwa Islam diterima oleh masyarakat Papua pada
tahun 1569, lebih dulu setengah abad dari tahun yang diketahui oleh Thomas W. Arnold.
 
Dalam kehidupan ber masyarakat di Bumi Cenderawasih ini jarang
terjadi pertentangan yang disebabkan permasalahan perbedaan keyakinan
agama. Slogan adat ‘satu tungku tiga batu’
telah lama berkembang. Maksud slogan tersebut adalah kehidupan rakyat
Papua ditopang oleh tiga agama yaitu Islam, Kristen dan Katholik. Tiga
batu yang dimaksud adalah ketiga agama tersebut yang bersatu sehingga
menopang tungku agar tidak timpang.
Dalam masyarakat juga berkembang seni sawat yaitu
orkes musik dengan tetabuhan yang terdiri dari rebana, tifa, seruling
dan gong kecil. Seni sawat tersebut pada masa lampau menjadi alat dakwah
para da’i. Penduduk pribumi yang memutuskan menjadi muslim juga
disambut dengan perayaan music sawat tersebt sampai hari ini. Tifa jelas
musik asli Papua, sedangkan rebana dan seruling dibawa oleh para da’i
muslim yang membawanya masuk ke Papua. Belakangan ini cara dakwah dengan
sawat tersebut juga diadopsi oleh para missionaris Kristen asal Belanda
di Papua. Namun kerukunan tetap terjaga di bumi Papua. Para da’i pun
tidak berhenti berdakwah menjadi perantara rahmat Allah di Bumi
Cendrawasih hingga hari ini.
13861725851608263711
Masjid Raya Al Akbar Sorong
Masjid Raya Al Akbar adalah sebuah masjid yang berada di kota Sorong, Papua Barat. Masjid ini terletak di tengah kota yang beralamat tepat di Jalan Ahmad Yani No.
40 kota Sorong. Di komplek masjid ini juga terdapat ruang pertemuan
yang bernama Al Akbar Convetion Center. Masjid ini merupakan masjid
terbesar di Sorong dan selalu dipadati oleh jamaah Islam. Bangunan
masjid ini terdiri dari dua lantai yang dominan bercat warna putih dan
hijau. Bentuk kubah di masjid ini sangat khas karena berbentuk kubah
yang berlekuk lima. Masjid ini mempunyai dua menara di samping kiri
kanannya untuk menambah nuansa masjid pada umumnya.
Penulis: MAIDA, lahir pada tanggal 29 Oktober 1928 di Makassar, Sulawesi Selatan.