Muhammadiyah, Kolonial Belanda dan Misi Kristenisasi di Jawa

Setelah ratusan tahun dirundung masa kegelapan, Eropa mengalami apa yang disebut sebagai age of reason atau era renaissance.
Masa pencerahan ini membawa arus gelombang kemajuan, khususnya penemuan
penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus
ditambah dengan semangat yang bergelora dalam menjelajahi wilayah
wilayah baru yang belum terjamah. 

Tujuannya terdengar
mulia, mengubah yang “biadab” menjadi yang “beradab.” Sejatinya, inilah
awal mula dari sebuah hegemoni fisik dan kultural yang lazim ditengarai
sebagai proyek imperialisme dan kolonialisme barat terhadap bangsa
bangsa timur. Lebih dari itu, didalamnya ikut mendompleng misi
penyebaran agama Kristen bagi penduduk penduduk pribumi. Spirit Perang
Salib yang berlangsung selama hampir 200 tahun ikut memompa ekspansi
mereka.
Hasil perjanjian
Tordesillas yang dilaksanakan pada 4 Mei 1493 menghasilkan diktum antara
lain membagi dunia “baru” untuk dikuasai oleh Portugis dan Spanyol.
Perjanjian ini mendapat restu langsung dari penguasa tahta suci Vatikan
yang sedang berkuasa pada waktu itu, Paus Alexander VI. 
Lewat perjanjian ini
Paus memberikan salah satu syarat yakni raja atau negara harus memajukan
misi Katolik Roma di daerah daerah yang telah diserahkan pada mereka.
Protugis dan Spanyol diserahi tanggung jawab untuk mengubah penduduk
pribumi menjadi pemeluk Katolik. 
Pun, begitu ketika Belanda mulai menjelajahi wilayah nusantara via ekspedisi dagang, yang selanjutnya tumbuh VOC
dan bersalin rupa menjadi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kalau
Portugis membawa ajaran Katolik Roma, maka Belanda dengan langkah awal
yang malu malu menyiarkan zending Protestan sekte Calvinis. 
Setelah kepergian
Portugis, Belanda menjadi penguasa nusantara, dengan Jawa sebagai basis.
Di samping mengeksploitasi rempah rempah untuk dijadikan komoditas
perdagangan, misi penyebaran Kristen juga menjadi agenda lain walaupun
masih dilakukan dengan hati hati. Makanya, pada zaman VOC penyebaran
Kristen bisa dikatakan kurang berhasil. Komunitas Kristen hanya terdapat
di beberapa kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Itu pun
terbatas dari orang orang Maluku yang banyak menjadi serdadu dan
diperbantukan pada kawasan militer di Pulau Jawa. 
Ada beberapa faktor
sebetulnya yang menjadi alasan ketidakberhasilan penyebaran Kristen di
zaman VOC, khususnya di Jawa, diantaranya adalah VOC menghindari sebisa
mungkin benturan dengan orang orang Islam untuk mengamankan kepentingan
dagang mereka. Selain itu adalah luasnya Pulau Jawa, masih
kuatnya pengaruh Islam, dan sedikitnya tenaga yang ulet dalam
menyebarkan Kristen pada orang orang pribumi. Di sisi lain, Belanda
masih enggan menggelontorkan dana yang cukup buat kegiatan zending. 
Di beberapa tempat,
sejumlah individu aktif menyebarkan Kristen kepada orang orang pribumi
seperti Johannes Emde di Surabaya, C. L. Coolen di Ngoro. Nyonya Philips
dan Nyonya Oostrom Philips di Purworejo dan Banyumas. Ada F. L. Anthing
di Jawa Barat. Tak ketinggalan tokoh tokoh Kristen awal dari kalangan
pribumi seperti Paulus Tosari, Ibrahim Tunggul Wulung, dan Kyai Sadrach. 
Tengahan abad ke-19,
program Kristenisasi di Jawa mulai berlangsung secara intensif. Lembaga
misionaris berdatangan dari Eropa, tanpa ragu mereka masuk ke desa desa.
Subsidi dari pemerintah digelontorkan. Gereja Protestan maupun Katolik
mulai banyak dibangun. Walaupun begitu, hasilnya belum memuaskan. Islam
masih mendapat tempat. Pada masa itu, akan dianggap aneh jika seorang
pribumi keluar dari Islam. Islam identik dengan kebangsaan. Fromberg
bahkan menyatakan bahwa, “Islam bukan saja soal keyakinan bagi orang
Jawa, melainkan juga suatu urusan kebangsaan.”
Diberlakukannya politik
etis di awal abad ke-20 secara tak langsung mengubah kebijakan misi
Kristenisasi di Jawa. Kegiatan pengabaran Injil tak lagi dilakukan
dengan frontal seperti ajakan langsung, melainkan dibalut lewat
pendirian lembaga lembaga kesehatan seperti rumah sakit, panti yatim
piatu, sekolah dan kegiatan kegiatan sosial lainnya. 
Kristenisasi yang
dilakukan lewat pendidikan misalnya, berhasil mengkonversi sejumlah
pribumi muslim. Salah satunya lewat sekolah kader yang didirikan oleh
Frans Van Lith di Muntilan, bernama Kolese Xaverius. Anak anak lelaki
yang masuk ke sekolah ini pada awalnya semuanya muslim, tetapi lulus
telah menjadi Katolik, tak jarang sebagian dari mereka bahkan studi
lanjut untuk menjadi imam. 
Strategi lain
Kristenisasi pada masa politik etis diantaranya adalah penyesuaian
ajaran Kristen dengan budaya Jawa. Hal hal yang identik dengan Islam
mesti dijauhkan, baik dalam teori terlebih lebih dalam praktek. Untuk
itulah di Kolese Xaverius Muntilan, Bahasa Melayu yang identik dengan
Islam penggunaannya dihindari sejauh mungkin. Dan strategi ini cukup
berhasil seperti dikatakan oleh Karel Steenbrink, “Barangkali tidak ada
wilayah misi lain di seantero dunia dimana imam pribumi dikembangkan
sedemikian cepat dan berhasil seperti di Jawa Tengah.”
Misi pengabaran Injil
yang semakin terbuka memunculkan respon balik dari kalangan umat Islam
yang merasa resah akan Kristenisasi di tanah Jawa. Oraganisasi yang
paling lantang dalam membendung arus Kristenisasi adalah Muhammadiyah,
bentukan K.H Ahmad Dahlan di tahun 1912. Dibanding organisasi organisasi
lain semisal Sarekat Islam, Persatuan Islam, dan Nahdlatul Ulama, peran
Muhammadiyah amat menonjol dalam menghadang misi Kristenisasi.
Dengan mengadopsi cara
cara kolonial, Muhammadiyah melakukan kontra aksi dengan banyak
mendirikan sekolah sekolah, panti asuhan, klinik, dan rumah sakit dalam
rangka membendung arus Kristenisasi, walaupun di awal pendiriannya
banyak yang menyebut organisasi bentukan Kyai Dahlan ini sebagai yang
“menyimpang” dari keumuman orang orang Islam pada waktu itu. Bahkan, K.
H. Ahmad Dahlan sendiri ikut terjun langsung dalam menghadapi gerakan
Kristenisasi ini dengan cara melakukan diskusi diskusi dengan pastur dan
pendeta.
Buku yang diangkat dari
tesis penulisnya di program magister pasca sarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta ini memberikan sumbangan berharga ihwal
penyebaran Kristenisasi dengan mendompleng kekuasaan kolonial Belanda.
Judul Buku : Mengkristenkan Jawa, Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda Terhadap Penetrasi Misi Kristen
Penulis : Muhammad Isa Anshory
Penerbit : Pustaka Lir Ilir
Cetakan : Pertama, 2013
Halaman : x + 192 halaman
Berdirinya Muhammadiyah pada
1912 di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya. Salah
satu faktor yang melatarbelakangi pendirian organisasi ini adalah
adanya penetrasi misi Kristen yang berkembang pesat pada masa politik
etis. Hal ini berawal ketika para penguasa keraton Yogyakarta, atas
desakan pemerintah kolonial Belanda, menyetujui pencabutan larangan
penginjilan terhadap masyarakat Jawa. Sejak saat itu, Jawa, wilayah
konsentrasi kebanyakan kaum Muslim, terbuka bagi kegiatan misionaris
Kristen. Penetrasi Kristen yang lebih dalam lagi terjadi mulai 1850-an
ke wilayah Jawa Tengah, yang menjadi dorongan kuat bagi lahirnya
pendalaman kesadaran kaum Muslim untuk melawan kegiatan-kegiatan misi
ini.

Menghadapi tantangan demikian, Muhammadiyah giat melakukan tabligh,
merapikan dan mempermodern caranya. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri
organisasi ini, bahkan sering mengadakan diskusi-diskusi dengan pastur
dan pendeta. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kebenaran Islam dan
kemampuan umatnya dalam mempertahankan agamanya. Selama masa Ahmad
Dahlan, Muhammadiyah menghindari konfrontasi langsung dengan misi
Kristen. Dalam pandangannya, menantang dan melawan peran aktif mereka
dan menghentikan penetrasinya melalui konfrontasi langsung adalah
sesuatu yang tidak efektif dan strategis. Baginya, yang lebih penting
dari itu adalah membangkitkan kesadaran kaum Muslim mengenai
akibat-akibat yang akan muncul dari kegiatan misi tersebut. Oleh sebab
itu, membangun infrastruktur gerakan lebih diutamakan daripada terlibat
langsung dalam konfrontasi sengit dengan kelompok Kristen. Dengan
berbuat demikian, Ahmad Dahlan bermaksud menjadikan kaum Muslim mampu
menghadapi peningkatan pengaruh misi Kristen.

Muhammadiyah juga aktif menentang politik Kristenisasi yang
dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Usaha untuk
menjalankan prinsip-prinsip Kristen dan pemerintahan, seperti “Surat
Edaran Mingguan” dan “Surat Edaran Pasar” yang melarang segala kegiatan
resmi pada hari Minggu, menimbulkan kegelisahan penduduk yang tidak
mengenal nilai atau prinsip itu dalam lingkungan budayanya. Sudah barang
tentu hal ini mendapat oposisi dari umat Islam yang dipelopori oleh
organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini kemudian melancarkan kontra-aksi
yang berupa pendirian lembaga-lembaga sosial, seperti sekolah-sekolah,
klinik, dan panti asuhan.

Sebagaimana telah diketahui, pemerintah kolonial Belanda
beserta lembaga zending dan misi pada masa politik etis membuka semakin
banyak sekolah-sekolah Barat. Didirikannya sekolah-sekolah tersebut
mengakibatkan perubahan yang besar dalam pendidikan agama di Pulau Jawa.
Anak laki-laki dan wanita yang setiap hari berada di bangku sekolah
tidak mempunyai waktu untuk pergi ke pesantren. Adat lama, bahwa seorang
priyayi mengirimkan anak laki-lakinya ke pesantren, sekarang sudah
tidak ada. Dalam beberapa kalangan masyarakat, pengiriman anak-anak ke
sekolah oleh orang tua menyebabkan pendidikan agama mereka terabaikan.
Orang tua yang berasal dari lingkungan yang taat dan mengharapkan
anak-anaknya juga mempunyai pengetahuan agama sekarang harus memilih
satu di antara dua kemungkinan, yaitu mengirimkan anaknya ke sekolah
swasta yang juga diberi pelajaran agama atau memberi pelajaran agama
khusus di luar jam sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh
Muhammadiyah menjadi solusi pilihan karena menggabungkan pendidikan
agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode modern.

Bagi Muhammadiyah, Kristenisasi bukan saja dianggap sebagai suatu
tantangan, tetapi juga merupakan suatu contoh bagi para pemimpin
Muslim. Cara-cara yang dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan misi
Kristen banyak dijadikan contoh. Pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit,
klinik, dan panti asuhan oleh Muhammadiyah banyak
mengadopsi cara dari misi Kristen.  Perawatan fakir miskin dan bantuan
kepada orang-orang yang membutuhkan dan sebagainya, mungkin telah
dilakukan secara tradisi, tetapi ini semata-mata terletak pada inisiatif
perseorangan. Malah pengumpulan zakat pun bergantung semata-mata pada
kesediaan orang-orang Islam sendiri. Anak-anak yatim pada umumnya
mendapat tempat perlindungan pada keluarga berada. Sebuah keluarga
Muslim secara tradisi ingin memelihara anak-anak yatim tersebut karena
kepercayaan bahwa ini akan membawa berkah bagi mereka. Oleh sebab itu,
pengaturan anak yatim dengan menyediakan rumah dan mengatur rumah khusus
bagi mereka adalah suatu inovasi, demikian pula halnya dengan klinik
kesehatan.

Sebuah kegiatan lain misi Kristen yang dijadikan contoh oleh
Muhammadiyah adalah gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan Muhammadiyah,
Hizbul Wathan, dibentuk pada 1918 oleh Ahmad Dahlan setelah memperoleh
keterangan tentang persoalan kepanduan ini dari seorang guru
Muhammadiyah yang mengajar di Solo. Guru ini melihat latihan-latihan
kepanduan misi Kristen di alun-alun
Mangkunegaran. Mengakui manfaat yang diberikan oleh gerakan seperti
ini, Ahmad Dahlan tidak ragu-ragu untuk mengambil keputusan guna
membentuk Hizbul Wathan. Di samping latihan kepanduan yang biasa,
pandu-pandu Muhammadiyah itu diberikan juga pelajaran-pelajaran agama
serta latihan dalam berorganisasi pada umumnya untuk mempersiapkan
mereka pada tuntutan yang diperlukan apabila mereka dewasa nanti dan
bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.

Di bawah pemimpinnya yang kedua, K.H. Ibrahim (1923-1927), kebijakan
eksternal Muhammadiyah banyak dipengaruhi sekretarisnya yang masih muda,
H. Fachruddin, yang pada saat bersamaan menjadi anggota komisi
eksekutif Sarekat Islam yang lebih aktif di bidang politik. Masa ini
mungkin merupakan tahap paling dramatis jika dilihat dalam kerangka
perjumpaan Muhammadiyah dengan misi Kristen. Sejak itu, Muhammadiyah
menjadi lebih bersikap bermusuhan terhadap misi Kristen yang dianggap
tidak bersahabat dengan Islam. Dengan diilhami oleh watak agresif
Fachruddin, Muhammadiyah menjadi semakin bersikap tegas dan militan
dalam kritik terbukanya terhadap misi Kristen.

Pada 1925 Fachruddin atas nama Muhammadiyah melancarkan protes
menentang perlakuan istimewa terhadap misi Protestan oleh Sultan
Yogyakarta dan Residen Belanda L.F. Dingemans. Residen itu berhasil
membujuk sultan untuk memangkas subsidi bagi panti asuhan Muhammadiyah
guna memberi subsidi baru untuk panti asuhan kesultanan, yang
dipercayakan kepada Yayasan Petronella Protestan. Ketika Muhammadiyah
mengajukan keluhan kepada sultan, residen menuduh organisasi ini
melakukan pengkhianatan.

Kegiatan misi Kristen pada dasawarsa terakhir pemerintahan kolonial
Belanda telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, walaupun belum
merata. Sampai masa tersebut, daerah berpenduduk Muslim tetap menjadi
benteng yang sulit ditaklukkan. Di daerah seperti ini, tidak jarang
zending dan misi mendapatkan permusuhan dan kebencian dari kaum Muslim.
Dihadapkan pada sikap ini dan karena menganggap Islamisasi superfisial
terhadap sebagian besar masyarakat Indonesia, banyak misionaris
Kristen mudah membuat pernyataan-pernyataan yang merendahkan tentang
Islam dan umat Islam. Pada 1931 Jan Ten Berge, seorang pastor Jesuit di
Muntilan Jawa Tengah, menerbitkan dua artikel tentang Al Qur’an dan
pribadi Nabi Muhammad dalam jurnal Studiën yang dipublikasikan
di Belanda. Dalam artikel ini, Ten Berge dengan terang-terangan
menyerang rasa keagamaan kaum Muslim. Dia menyimpulkan bahwa Al Qur’an
adalah “konfirmasi dan interpretasi terhadap sejarah ajaran Bibel.” Jika
direduksi, menurut Ten Berge, “yang tersisa hanya koleksi
dongeng-dongeng, cerita buatan, dan cerita-cerita yang disalah-pahami.”

Artikel tersebut memicu kemarahan kaum Muslim dan semakin menyebarkan
sikap antipati mereka terhadap kalangan Kristen. Muhammadiyah,
Persatuan Islam, dan Partai Sarekat Islam memimpin serangan balik
terhadap artikel-artikel anti-Islam Ten Berge itu. Akibatnya, pertemuan
massa untuk melakukan protes diadakan di sejumlah kota, yang
diorganisasikan oleh organisasi-organisasi Islam tersebut.

Aksi protes lain berkaitan dengan Kristenisasi dilakukan Muhammadiyah
dan umat Islam lainnya pada 1939. Setelah konferensi zending sedunia di
Tambaran Madras India pada Desember 1938, pihak Kristen menyuarakan
tuntutan untuk menghapus artikel 177 Indische Staatsregeling (I.S.). Artikel tersebut menyatakan, “Guru-guru Kristen, pendeta dan misionaris harus mempunyai
izin khusus yang diberikan oleh Gubernur Jenderal atau atas namanya
jika akan melakukan pekerjaan di salah satu bagian dari Hindia Belanda.
Jika ternyata izin tersebut merugikan atau perjanjian-perjanjiannya
tidak ditepati, maka izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.
”  Tuntutan ini bermula dari pidato Professor J. M. J. Schepper dari Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta di depan Indische Genootschap
(Perkumpulan Hindia) di Den Haag. Dia berkata bahwa artikel tersebut
telah tidak sesuai dengan zaman, tidak perlu terdapat ketakutan terhadap
fanatisme kalangan Islam di Indonesia mengenai masuknya misionaris dan
pendeta secara bebas, dan artikel itu merupakan suatu ketidakadilan
terhadap pihak agama Kristen, sedangkan pemerintah, demikian katanya,
sebagai suatu badan yang netral terhadap agama sebenarnya tidak
berwenang untuk menyelesaikan masalah seperti ini.

Rapat menolak penghapusan artikel 177 I.S. dilakukan umat Islam di
beberapa daerah, di antaranya adalah keputusan Majelis Tanwir
Muhammadiyah di Kudus, rapat umum Partai Islam Indonesia, Kongres
Al-Islam Indonesia ke-2 yang dianjurkan MIAI, Kongres NU, dan rapat
protes umum terhadap pencabutan artikel itu oleh kombinasi 11
perkumpulan Islam di Yogyakarta. Kongres Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada 20 April 1939 di Cirebon juga membahas masalah tuntutan penghapusan artikel 177 I.S.

Demikianlah respons Muhammadiyah terhadap Kristenisasi pada masa
politik etis. Hal ini menunjukkan betapa gigih dan konsisten para
pendahulu kita memperjuangkan Islam. Sikap seperti itu sudah selayaknya
dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya. Mengingat Kristenisasi
tetap menjadi salah satu tantangan dakwah terbesar bagi umat Islam di
negeri ini, kita semestinya berusaha mewarisi semangat dan konsistensi
para pendahulu tersebut. K.H. Ahmad Dahlan pernah memperingatkan, “Islam
tak mungkin lenyap dari seluruh dunia, tetapi tidak mustahil Islam
hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?” Semoga
menjadi renungan. [abi/ret]
– See more at: http://tabligh.or.id/2012/respon-muhammadiyah-terhadap-kristenisasi/#sthash.X2kUbtRa.dpuf

Berdirinya Muhammadiyah pada
1912 di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya. Salah
satu faktor yang melatarbelakangi pendirian organisasi ini adalah
adanya penetrasi misi Kristen yang berkembang pesat pada masa politik
etis. Hal ini berawal ketika para penguasa keraton Yogyakarta, atas
desakan pemerintah kolonial Belanda, menyetujui pencabutan larangan
penginjilan terhadap masyarakat Jawa. Sejak saat itu, Jawa, wilayah
konsentrasi kebanyakan kaum Muslim, terbuka bagi kegiatan misionaris
Kristen. Penetrasi Kristen yang lebih dalam lagi terjadi mulai 1850-an
ke wilayah Jawa Tengah, yang menjadi dorongan kuat bagi lahirnya
pendalaman kesadaran kaum Muslim untuk melawan kegiatan-kegiatan misi
ini.

Menghadapi tantangan demikian, Muhammadiyah giat melakukan tabligh,
merapikan dan mempermodern caranya. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri
organisasi ini, bahkan sering mengadakan diskusi-diskusi dengan pastur
dan pendeta. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kebenaran Islam dan
kemampuan umatnya dalam mempertahankan agamanya. Selama masa Ahmad
Dahlan, Muhammadiyah menghindari konfrontasi langsung dengan misi
Kristen. Dalam pandangannya, menantang dan melawan peran aktif mereka
dan menghentikan penetrasinya melalui konfrontasi langsung adalah
sesuatu yang tidak efektif dan strategis. Baginya, yang lebih penting
dari itu adalah membangkitkan kesadaran kaum Muslim mengenai
akibat-akibat yang akan muncul dari kegiatan misi tersebut. Oleh sebab
itu, membangun infrastruktur gerakan lebih diutamakan daripada terlibat
langsung dalam konfrontasi sengit dengan kelompok Kristen. Dengan
berbuat demikian, Ahmad Dahlan bermaksud menjadikan kaum Muslim mampu
menghadapi peningkatan pengaruh misi Kristen.

Muhammadiyah juga aktif menentang politik Kristenisasi yang
dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Usaha untuk
menjalankan prinsip-prinsip Kristen dan pemerintahan, seperti “Surat
Edaran Mingguan” dan “Surat Edaran Pasar” yang melarang segala kegiatan
resmi pada hari Minggu, menimbulkan kegelisahan penduduk yang tidak
mengenal nilai atau prinsip itu dalam lingkungan budayanya. Sudah barang
tentu hal ini mendapat oposisi dari umat Islam yang dipelopori oleh
organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini kemudian melancarkan kontra-aksi
yang berupa pendirian lembaga-lembaga sosial, seperti sekolah-sekolah,
klinik, dan panti asuhan.

Sebagaimana telah diketahui, pemerintah kolonial Belanda
beserta lembaga zending dan misi pada masa politik etis membuka semakin
banyak sekolah-sekolah Barat. Didirikannya sekolah-sekolah tersebut
mengakibatkan perubahan yang besar dalam pendidikan agama di Pulau Jawa.
Anak laki-laki dan wanita yang setiap hari berada di bangku sekolah
tidak mempunyai waktu untuk pergi ke pesantren. Adat lama, bahwa seorang
priyayi mengirimkan anak laki-lakinya ke pesantren, sekarang sudah
tidak ada. Dalam beberapa kalangan masyarakat, pengiriman anak-anak ke
sekolah oleh orang tua menyebabkan pendidikan agama mereka terabaikan.
Orang tua yang berasal dari lingkungan yang taat dan mengharapkan
anak-anaknya juga mempunyai pengetahuan agama sekarang harus memilih
satu di antara dua kemungkinan, yaitu mengirimkan anaknya ke sekolah
swasta yang juga diberi pelajaran agama atau memberi pelajaran agama
khusus di luar jam sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh
Muhammadiyah menjadi solusi pilihan karena menggabungkan pendidikan
agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode modern.

Bagi Muhammadiyah, Kristenisasi bukan saja dianggap sebagai suatu
tantangan, tetapi juga merupakan suatu contoh bagi para pemimpin
Muslim. Cara-cara yang dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan misi
Kristen banyak dijadikan contoh. Pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit,
klinik, dan panti asuhan oleh Muhammadiyah banyak
mengadopsi cara dari misi Kristen.  Perawatan fakir miskin dan bantuan
kepada orang-orang yang membutuhkan dan sebagainya, mungkin telah
dilakukan secara tradisi, tetapi ini semata-mata terletak pada inisiatif
perseorangan. Malah pengumpulan zakat pun bergantung semata-mata pada
kesediaan orang-orang Islam sendiri. Anak-anak yatim pada umumnya
mendapat tempat perlindungan pada keluarga berada. Sebuah keluarga
Muslim secara tradisi ingin memelihara anak-anak yatim tersebut karena
kepercayaan bahwa ini akan membawa berkah bagi mereka. Oleh sebab itu,
pengaturan anak yatim dengan menyediakan rumah dan mengatur rumah khusus
bagi mereka adalah suatu inovasi, demikian pula halnya dengan klinik
kesehatan.

Sebuah kegiatan lain misi Kristen yang dijadikan contoh oleh
Muhammadiyah adalah gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan Muhammadiyah,
Hizbul Wathan, dibentuk pada 1918 oleh Ahmad Dahlan setelah memperoleh
keterangan tentang persoalan kepanduan ini dari seorang guru
Muhammadiyah yang mengajar di Solo. Guru ini melihat latihan-latihan
kepanduan misi Kristen di alun-alun
Mangkunegaran. Mengakui manfaat yang diberikan oleh gerakan seperti
ini, Ahmad Dahlan tidak ragu-ragu untuk mengambil keputusan guna
membentuk Hizbul Wathan. Di samping latihan kepanduan yang biasa,
pandu-pandu Muhammadiyah itu diberikan juga pelajaran-pelajaran agama
serta latihan dalam berorganisasi pada umumnya untuk mempersiapkan
mereka pada tuntutan yang diperlukan apabila mereka dewasa nanti dan
bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.

Di bawah pemimpinnya yang kedua, K.H. Ibrahim (1923-1927), kebijakan
eksternal Muhammadiyah banyak dipengaruhi sekretarisnya yang masih muda,
H. Fachruddin, yang pada saat bersamaan menjadi anggota komisi
eksekutif Sarekat Islam yang lebih aktif di bidang politik. Masa ini
mungkin merupakan tahap paling dramatis jika dilihat dalam kerangka
perjumpaan Muhammadiyah dengan misi Kristen. Sejak itu, Muhammadiyah
menjadi lebih bersikap bermusuhan terhadap misi Kristen yang dianggap
tidak bersahabat dengan Islam. Dengan diilhami oleh watak agresif
Fachruddin, Muhammadiyah menjadi semakin bersikap tegas dan militan
dalam kritik terbukanya terhadap misi Kristen.

Pada 1925 Fachruddin atas nama Muhammadiyah melancarkan protes
menentang perlakuan istimewa terhadap misi Protestan oleh Sultan
Yogyakarta dan Residen Belanda L.F. Dingemans. Residen itu berhasil
membujuk sultan untuk memangkas subsidi bagi panti asuhan Muhammadiyah
guna memberi subsidi baru untuk panti asuhan kesultanan, yang
dipercayakan kepada Yayasan Petronella Protestan. Ketika Muhammadiyah
mengajukan keluhan kepada sultan, residen menuduh organisasi ini
melakukan pengkhianatan.

Kegiatan misi Kristen pada dasawarsa terakhir pemerintahan kolonial
Belanda telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, walaupun belum
merata. Sampai masa tersebut, daerah berpenduduk Muslim tetap menjadi
benteng yang sulit ditaklukkan. Di daerah seperti ini, tidak jarang
zending dan misi mendapatkan permusuhan dan kebencian dari kaum Muslim.
Dihadapkan pada sikap ini dan karena menganggap Islamisasi superfisial
terhadap sebagian besar masyarakat Indonesia, banyak misionaris
Kristen mudah membuat pernyataan-pernyataan yang merendahkan tentang
Islam dan umat Islam. Pada 1931 Jan Ten Berge, seorang pastor Jesuit di
Muntilan Jawa Tengah, menerbitkan dua artikel tentang Al Qur’an dan
pribadi Nabi Muhammad dalam jurnal Studiën yang dipublikasikan
di Belanda. Dalam artikel ini, Ten Berge dengan terang-terangan
menyerang rasa keagamaan kaum Muslim. Dia menyimpulkan bahwa Al Qur’an
adalah “konfirmasi dan interpretasi terhadap sejarah ajaran Bibel.” Jika
direduksi, menurut Ten Berge, “yang tersisa hanya koleksi
dongeng-dongeng, cerita buatan, dan cerita-cerita yang disalah-pahami.”

Artikel tersebut memicu kemarahan kaum Muslim dan semakin menyebarkan
sikap antipati mereka terhadap kalangan Kristen. Muhammadiyah,
Persatuan Islam, dan Partai Sarekat Islam memimpin serangan balik
terhadap artikel-artikel anti-Islam Ten Berge itu. Akibatnya, pertemuan
massa untuk melakukan protes diadakan di sejumlah kota, yang
diorganisasikan oleh organisasi-organisasi Islam tersebut.

Aksi protes lain berkaitan dengan Kristenisasi dilakukan Muhammadiyah
dan umat Islam lainnya pada 1939. Setelah konferensi zending sedunia di
Tambaran Madras India pada Desember 1938, pihak Kristen menyuarakan
tuntutan untuk menghapus artikel 177 Indische Staatsregeling (I.S.). Artikel tersebut menyatakan, “Guru-guru Kristen, pendeta dan misionaris harus mempunyai
izin khusus yang diberikan oleh Gubernur Jenderal atau atas namanya
jika akan melakukan pekerjaan di salah satu bagian dari Hindia Belanda.
Jika ternyata izin tersebut merugikan atau perjanjian-perjanjiannya
tidak ditepati, maka izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.
”  Tuntutan ini bermula dari pidato Professor J. M. J. Schepper dari Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta di depan Indische Genootschap
(Perkumpulan Hindia) di Den Haag. Dia berkata bahwa artikel tersebut
telah tidak sesuai dengan zaman, tidak perlu terdapat ketakutan terhadap
fanatisme kalangan Islam di Indonesia mengenai masuknya misionaris dan
pendeta secara bebas, dan artikel itu merupakan suatu ketidakadilan
terhadap pihak agama Kristen, sedangkan pemerintah, demikian katanya,
sebagai suatu badan yang netral terhadap agama sebenarnya tidak
berwenang untuk menyelesaikan masalah seperti ini.

Rapat menolak penghapusan artikel 177 I.S. dilakukan umat Islam di
beberapa daerah, di antaranya adalah keputusan Majelis Tanwir
Muhammadiyah di Kudus, rapat umum Partai Islam Indonesia, Kongres
Al-Islam Indonesia ke-2 yang dianjurkan MIAI, Kongres NU, dan rapat
protes umum terhadap pencabutan artikel itu oleh kombinasi 11
perkumpulan Islam di Yogyakarta. Kongres Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada 20 April 1939 di Cirebon juga membahas masalah tuntutan penghapusan artikel 177 I.S.

Demikianlah respons Muhammadiyah terhadap Kristenisasi pada masa
politik etis. Hal ini menunjukkan betapa gigih dan konsisten para
pendahulu kita memperjuangkan Islam. Sikap seperti itu sudah selayaknya
dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya. Mengingat Kristenisasi
tetap menjadi salah satu tantangan dakwah terbesar bagi umat Islam di
negeri ini, kita semestinya berusaha mewarisi semangat dan konsistensi
para pendahulu tersebut. K.H. Ahmad Dahlan pernah memperingatkan, “Islam
tak mungkin lenyap dari seluruh dunia, tetapi tidak mustahil Islam
hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?” Semoga
menjadi renungan. [abi/ret]
– See more at: http://tabligh.or.id/2012/respon-muhammadiyah-terhadap-kristenisasi/#sthash.X2kUbtRa.dpuf