Fiqih Ahmad Dahlan dan Majelis Tarjih

Trilogi Fiqih Muhammadiyah ( session 1 )

Penemuan kitab fiqih jilid III terbitan Muhammadiyah bagian taman
pustaka Jogjakarta yang isinya berseberangan dengan mainstream paham
keagamaan Majelis Tarjih telah meresahkan para aktivis dan mubaligh
Muhammadiyah di level akar rumput. Berdasarkan sumber kitab fiqih
tersebut, paham keagamaan Muhammadiyah pada periode awal- begitu juga
paham fiqih Ahmad Dahlan, dinilai sejalan dengan paham keagamaan(fiqih)
tradisionalis seperti yang dilestarikan organisasi lain.
Sesungguhnya, penemuan kitab fiqih tersebut bukan hal baru, apalagi
kitab tersebut diterbitkan sebelum Majelis Tarjih terbentuk. Gerakan
Muhammadiyah pada waktu itu memang belum menyentuh ranah fiqih sehingga
paham keagamaanya masih mengikuti mainstream paham kesilaman pada
umumnya. Sebagai contoh, KH. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin pernah
membantu Perserikatan Pegadaian Boemiputra(PPB) meminjam dana di bank
milik pemerintah colonial dengan system bunga. Salah satu buku karya
Haji Fachrodin (Marganing Koemawoelo) berisi penjelasan tatacara shalat
yang masih menggunakan qunut pada shalat shubuh. Kitab-kitab fiqih
(bahasa arab)terbitan Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka juga masih
banyak menggunakan “sayyid” ketika menyebut nama Nabi Muhammad SAW.
Setelah Majelis Tarjih terbentuk, gerakan Muhammadiyah mulai menyentuh
ranah fiqih dengan menetapkan metodologi istimbath hukum yang dinamis.
Pembentukan manhaj tarjih Muhammadiyah tidak serta merta jadi, tetapi
berproses seiring dengan perkembangan keilmuan dan dinamika zaman. Pada
mulanya pembaharuan keagamaan Muhammadiyah menggunakan dictum “ar-ruju
‘ila al-qur’an wa al hadist”, tetapi setelah perkembangan ilmu hadist
berubah menjadi “ ar-ruju ‘ila Al-Quran wa As-sunnah.” Standart Majelis
Tarjih dalam menggunakan As-Sunnah sebagai sumber hokum harus As-Sunnah
Al-maqbulah.
Jika dahulu para tokoh Muhammadiyah masih
menggunakan qunut dalam shalat shubuh, saat ini Majelis Tarjih dengan
kekuatan metodologi istimbath hukumnya memutuskan tidak menggunakannya.
Dahulu para tokoh Muhammadiyah juga masih menggunakan kata “sayyid”
untuk menyebut nama Nabi Muhammad SAW, tapi kini sudah tidak digunakan
lagi ( termasuk kultus/ghuluww).
Membaca fakta historis ini, para
aktivis dan mubaligh Muhammadiyah tidak perlu risau. Gerakan
Muhammadiyah dahulu sebelum terbentuk Majelis Tarjih memang belum
menyentuh ranah fiqih karena masih dalam taham membangun organisasi dan
jaringan. Setelah Majelis Tarjih terbentuk, gerakan Muhammadiyah baru
memasuki wilayah fiqih dengan menghasilkan keputusan keputusan resmi
yang berbeda dengan paham keagamaan awam. Pembentukan manhaj tarjih juga
lewat proses seiring perkembangan keilmuan dan dinamika zaman.
Metodologi istimbath hukum tarjih pun senantiasa berkembang sehingga
keputusan-keputusannya akan relevan dengan dinamika zaman.
Sayangnya ada pihak-pihak yang mendramatisir seolah-olah ketika majelis
tarjih berbeda dengan kyai dahlan maka majelis tarjih pengkhianat.
Mereka lupa bahwa antara Imam Syafii dan ulama syafiiyah pun ada
ikhtilaf. Misalkan dalam kitab Imam Syafii yang namanya niat sholat itu
di dalam hati, namun ulama-ulama syafiiyah ada yang berbeda pendapat
bahwa niat shalat itu baiknya dilafazhkan. Yang jelas kalau majelis
tarjih melakukan suatu revisi atau merubah keputusan tentu tidak
asal-asalan, melainkan dengan pemikiran yang sangat cermat dan
hati-hati. Majelis Tarjih punya manhaj tarjih yang dengannya melakukan
istinbath hukum, setiap keputusan yang dikeluarkan tarjih telah melalui
prosedur yang sesuai dengan manhaj tarjih.
Namun kami berpendapat
bahwa selayaknya Muhammadiyah itu ya dahlaniyah. Muhammadiyah tidak
bisa dilepaskan dengan Kyai Dahlan sebagai pendirinya. Hanya pemahaman
dahlaniyah disini bukan semata-mata kita mengikuti beliau secara
harfiah, namun kita mengikuti spirit yang diajarkan kyai Dahlan dan
dilengkapi dengan hasil pemikiran Tarjih. Spirit yang diajarkan kyai
Dahlan antara lain rasionalitas dalam beragama serta teologi pembebasan.
Takhayul adalah lawan dari rasionalitas dalam berfikir, maka kyai
Dahlan sangat mengecam tindakan-tindakan umat Islam yang mengungkung
diri dalam takhayul sehingga tidak mau untuk maju. Sebagai ganti dari
takhayul maka berfikir rasional adalah suatu keharusan, maka dalam matan
ideology Muhammadiyah disebutkan bahwa Muhammadiyah itu adalah
bersumber dari Al Quran dan as Sunnah dengan menggunakan akal fikiran
yang sesuai dengan spirit ajaran Islam. Berbeda dengan slogan sebagian
kawan kita yang berpendapat bahwa al quran dan sunnah harus difahami
dengan pemahaman salafush shalih, tidak ada dalam matan resmi ideology
Muhammadiyah yang mengatakan seperti itu, namun dalam Muhammadiyah jelas
Al Quran dan sunnah itu harus difahami oleh akal fikiran.
Muhammadiyah dikenal sebagai anti terhadap TBC (Takhayul, Bidah dan
Churafat), bukan apa-apa, TBC inilah yang membuat umat Islam tidak
rasional dalam berfikir dan kurang produktif. Takhayul dan khurafat
membuat umat Islam larut dalam mitologi-mitologi sehingga akal
fikirannya tidak digunakan. Bidah membuat umat Islam sibuk dengan ibadah
yang ditambah-tambahkan sehingga waktu untuk bekerja menjadi khalifah
di muka bumi berkurang dan tersita oleh aktifitas-aktifitas bidah.
Implikasi dari meninggalkan takhayul dan khurafat adalah berfikir
rasional dan implikasi dari meninggalkan bid’ah adalah produktivitas
yang tinggi dalam bekerja.

Trilogi Fiqih Muhammadiyah
session 1 :  Fiqih Ahmad Dahlan dan Majelis Tarjih
session 2 : Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ( Merujuk Al Quran dan Sunnah Makbullah )