Belajar dari Butet Manurung, Sudahkah Kita Mendakwahkan Islam Dengan Totalitas ?

Oleh : Drs. Mahli Zainuddin Tago, MSi
(Dosen FAI UMY dan Wakil Sekretaris Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. )
Sabtu, 17 Januari 2004. Hari menjelang magrib di tengah hutan belantara Makekal Hulu Kecamatan Tabir,  sekitar  300 km arah barat kota Jambi.  Di depan sebuah sudung di tengah padi  ladang yang sedang menghijau,  Bekilat ‘berkicau’  menyambut ibu guru yang telah dua bulan meninggalkan mereka. Meski tidak mengerti bahasa mereka, penulis yakin  satu hal, bahwa ‘kicauan’ itu adalah cermin dari kerinduan yang mendalam. Kerinduan antara Bekilat,  dan kawan-kawan yang merupakan anak-anak  rimba – orang luar lebih sering menyebut mereka anak-anak Kubu-, dengan Butet Manurung, ibu guru mereka. 
Dulu dunia Bekilat dan dunia Butet terpisah bagai langit dan bumi. Dunia Butet  adalah dunia kosmopolitan.  Butet  lahir di Jakarta dari orang tua  berpendidikan dan berpangkat tinggi, melewati masa kanak-kanak di Negeri Belanda,  menyelesaikan pendidikan menengah di Jakarta dan menyandang dua gelar kesarjanaan dari Universitas Pajajaran Bandung. Butet menguasai dengan baik Bahasa Inggris dan berkorespondensi dengan para sahabat dari mancanegara dengan dukungan teknologi informasi. Butet adalah ‘anak semua bangsa’. Dunia Bekilat dan kawan-kawan adalah dunia anak rimba. Mereka lahir dan dibesarkan di tengah rimba. Rimba dalam arti yang sesungguhnya: hutan yang masih asli, binatang-binatang buas yang masih berkeliaran, dan anak-anak sungai yang mengalir  jernih. Tentu saja di sudung mereka tidak ada listrik, tidak ada televisi, bahkan sebagian mereka belum pernah melihat kendaraan bermotor. Sungguh dua dunia  yang berbeda. Totalitas Butet dan manajemen  yang mendukungnya mendekatkan dua dunia yang berbeda itu dalam sebuah kegiatan  bernama pendidikan anak-anak rimba.
Semua orang bisa bertemu dengan orang rimba yang berada di pinggir hutan tetapi tidak sembarang orang bisa masuk menemui orang rimba di tengah hutan lebat kekuasaan mereka. Salah satu orang yang bisa masuk itu adalah Butet Manurung. Kunci kesuksesan Butet untuk bisa masuk antara lain adalah kecintaan pada aktivitasnya. “Saya merasa senang karena ini adalah hobi saya yang ternyata bermanfaat bagi sesama, ” kata Butet suatu ketika. Butet lalu mengesampingkan  banyak kesempatan mengembangkan karir   di dunia ‘orang terang’ (istilah yang dipakai orang rimba untuk menyebut orang luar rimba). Tentu saja dengan dua gelar kesarjanaan dan kemahiran berbahasa Inggris tentu ada banyak peluang yang bisa diraih seorang Butet di dunia terang.
Hobi yang  bermanfaat itulah yang nampaknya melahirkan totalitas pada diri Butet dalam mendampingi anak-anak rimba.  Sejak jadi mahasiswa Butet memang aktif dalam kelompok mahasiswa pecinta alam. Berbagai puncak gunung dan kedalaman gua sudah ditaklukkannya. Sehingga tidak mengherankan ketika berkelana sebagai ibu guru di tengah hutan belantara Butet sangat menikmati perjalanannya.
Menurut Butet, dibutuhkan pendekatan dengan ketabahan yang luar biasa untuk mendekati orang rimba. Mereka memang sangat tertutup terhadap orang luar. Setelah enam bulan mengekori ‘anak-anak rimba’ yang berada di hutan pinggiran, barulah Butet  bisa masuk ke kawasan hutan dalam yang dikuasi oleh orang rimba itu.  Selanjutnya, selama empat tahun Butet malang melintang di tengah rimba dengan fokus kegiatan mengajari anak-anak rimba membaca, menulis dan berhitung. Saat ini, tidak kurang dari dua ratus anak rimba pernah menjadi murid  ibu buru Butet. Pada akhir 2003, kontrak Butet selesai dengan manajemen yang membawahinya. Tetapi kontrak hati Butet dengan anak-anak rimba itu nampaknya ‘tak lekang karena hujan dan tak aus diterpa panas’. Ketika pada januari 2004 itu penulis  bersama Butet masuk ke hutan lagi maka ‘berkicaulah’ kerinduan yang mendalam dari Bekilat dan kawan-kawan terhadap ibu guru mereka itu.
Tetapi dalam dalam hal ini hobi saja tentu tidak cukup. Ada dukungan total dari manajemen yang menopang totalitas Butet dan kawan-kawan. Itulah peran yang diambil oleh LSM yang mengirim Butet ke dalam rimba. Sarana transportasi memadai, jaminan perawatan kesehatan kelas satu, dan gaji cukup, nampaknya  membuat Butet bisa menjalani hobinya dengan gembira.
Perjalanan berkelana dalam rimba itu sendiri rata-rata berjalan tanpa keluar selama tiga minggu dalam satu bulan. Satu minggu yang lain dipergunakan untuk ‘melapor’ ke kantor manajemen di kota Jambi. Program yang sudah jalan dievaluasi untuk menjadi dasar bagi penyusunan program berikutnya.  Setelah satu minggu berada di kota, Butet dan kawan-kawan di terjunkan kembali di tepi rimba untuk kemudian masuk hutan,   mencari dan mendampingi anak-anak rimba. Sebagai orang nomaden maka orang rimba tentu selalu berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Setelah lewat tiga minggu,  maka di titik yang telah ditentukan, Butet dan kawan-kawan akan dijemput oleh kendaraan milik manajemen. Begitulah program berjalan secara berkesinambungan sampai tanpa terasa Butet telah berkelana di hutan  pedalaman Jambi itu selama empat tahun.
Pasti ada banyak resiko dalam berkelana di tengah hutan belantara. Penyakit malaria, misalnya. Kalau terjadi hal seperti itu maka Butet atau kawan-kawannya yang lain segera diungsikan untuk dirawat di RS terdekat dengan fasilitas kelas utama dan semua biaya ditangung oleh manajemen.
Lalu berapa gaji Butet per bulan? “Tidak banyak. Cukuplah untuk mendukung hobi ini,”  kilah Butet sambil tersenyum.
Sabtu, 2 April 2005. Hari menjelang magrib dan udara terasa lebih dingin karena hujan turun terus menerus di Kaliurang, lereng Gunung Merapi Jogja.  Di salah  satu ruang sidang, ada Rapat Pleno MTDK  PP Muhammadiyah, majelis yang bertanggungjawab membina dan menerjunkan para mubalig Muhamadiyah. Salah satu masalah yang dibahas adalah program dai khusus, dai yang sebagaimana Butet Manurung diterjunkan di berbagai wilayah terpencil pelosok tanah air. “Sudah ada peningkatan kesejahteraan bagi para dai khusus dalam bentuk asuransi kesehatan takaful.  Karena donatur yang masuk terbatas, maka untuk memelihara jumlah dai, gaji yang idealnya untuk satu dai, dibagi tiga,” ujar Ustadz Thabrani Sabirin, M.A., penanggung jawab program.  Tentu saja belum ada dukungan sarana  transportasi apalagi komunikasi yang penuh bagi para da’i itu. Dengan dana yang tipis itu para dai harus pula memikirkan nafkah bagi istri dan anak-anak mereka. Lalu berapa gaji seorang dai khusus? Tidak lebih dari sepuluh prosen gaji seorang Butet Manurung. Maka, di tengah harapan yang begitu besar terhadap sepak terjang para dai khusus, Kaliurang pada malam itu terasa lebih dingin bagi penulis. 
Pelajaran yang bisa penulis timba dari Butet Manurung di pedalaman  Makekal Hulu Jambi adalah bahwa sesulit apapun medan aktivitas, asal ada totalitas,  pasti bisa ditembus. Totalitas para dai khusus tidak perlu diragukan lagi. Tetapi untuk membuat  mereka bisa lebih menyatu dengan jamaah di tempat yang jauh dan sunyi, kehadiran mereka dirindukan sebagaimana Butet dirindukan oleh Bekilat dan kawan-kawan, itu adalah soal lain. Mereka harus dilepaskan dari beban memikirkan nafkah bagi orang-orang yang menjadi tanggung jawab mereka. Manajemen dakwah lah yang seharusnya mengambil peran ini.  Manajemen dakwah kita belum siap untuk itu. Belum adanya totalitas kita dalam menekuni manajemen dakwah nampaknya  menjadi salah satu penyebabnya.