Tauhid Akar Kemunculan Politik Islam

Tauhid menjadi asal muasal dari munculnya sistem politik Islam. Sebab di dalam Tauhid itu, kedudukan manusia semuanya sama. Tidak ada yang lebih unggul atau memiliki kuasa lebih dibanding manusia lainnya. Karena itulah, dalam Tauhid, manusia tidak diperkenankan meminta pertolongan kepada selain Tuhannya. Selain itu, Tauhid juga menjadi suatu kekuatan yang luar biasa untuk membangun keadilan.
Demikan disampaikan Buya Syafi’i Ma’arif saat menjadi pembicara dalam acara Pengajian Ramadhan 1435 bagi pimpinan dan dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang bertemakan “Internalisasi dan Integrasi Al-Qu’an dan Hadits dalam Pengembangan Keilmuan Bagi Dakwah Berkemajuan”. Pengajian Ramadhan ini diselenggarakan di ruang sidang gedung AR. Fakhurddin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY, Kamis sore (17/7).
Akan tetapi, menurut Buya, Tauhid yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam sistem politik Islam itu, saat ini sudah tidak lagi diterapkan, baik itu di negara-negara Islam sendiri maupun di negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Hal tersebut menurut Buya disebabkan esensi keberadaan politik Islam yang mulai terpendam oleh debu sejarah. “Tauhid itu adalah suatu kekuatan yang luar biasa dalam politik Islam. Karena dari sana akan bisa menciptakan keadilan bagi seluruh manusia.Tapi sekarang hal itu sudah tidak diterapkan lagi, terutama di negara-negara Islam, karena terpendam oleh debu sejarah. Selain itu, hal lain yang juga menyebabkan tidak diterapkannya lagi Tauhid dalam tubuh politik Islam, itu karena para politikusnya masih berpikir bahwa bergerak di bidang politik itu sebagai ma’isyah atau mata pencaharian,” ungkapnya.
Buya Syafi’i juga mencontohkan salah satu akibat tidak berjalannya politik Islam dengan baik itu dengan peristiwa Gaza, Palestina yang kembali dibombardir oleh Israel sejak 9 Juli 2014 lalu. Negara-negara Arab atau Timur Tengah yang menurut Buya, seharusnya dapat memberikan bantuan lebih pada Palestina, justru belum berkutik. Hal itu menurut Buya disebabkan rasa persaudaraan sebagai sesama umat Islam sudah hancur dan tidak berjalan. “Masalah Palestina, tidak usah berharap lagi pada negara-negara Arab. Karena di sana persaudaraannya sudah hancur dan tidak jalan,” tegasnya.
Padahal, lanjut Buya lagi, dalam politik Islam itu yang terpenting adalah persaudaraan antar umat Islam. Jika persaudaraan antar umat Islam saja sudah terpecah belah karena perbedaan pandangan atau pendapat, terlebih lagi karena perbedaan kepentingan. Maka keadilan untuk semua umat itu juga tidak akan terwujud. “Islam melalui al-Qur’an sudah menjelaskan dan menganjurkan tata cara berpolitik, yaitu salah satunya dengan cara musyawarah. Jika ada perbedaan pandangan atau pendapat harus dimusywarahkan, demi mencapai kesepakatan dan kepentingan bersama, bukan kepentingan golongan. Dan yang terpenting lagi harus berangkat dari sikap egaliter. Kita itu bersaudara, kedudukan kita sebagai manusia itu juga sama, sejajar, tidak ada yang lebih baik atau lebih unggul diantara yang lainnya. Jadi tidak ada lagi perbedaan kedudukan yang membatasi demi mewujudkan keadilan dan kedamaian bagi semua,” paparnya.
Adapun kegiatan pengajian ini berangkat dari keinginan UMY untuk mengembangkan program pembudayaan al-Qur’an melalui kegiatan tahsin, tahfidz, dan tafhim Qur’an. Selain itu juga untuk mencari kesesuaian antara teori keilmuan dengan ayat-ayat al-Qur’an, dan bagaimana agar nilai-nilai ajaran al-Qur’an dapat menjadi “ruh” bagi pengembangan keilmuan itu sendiri.(umy.ac.id/sp)