Pengemudi Becak Ini, Sangat Bangga Berdinas dengan Batik Muhammadiyah

SangPencerah.id-Mengenakan batik Muhammadiyah saat acara-acara formal tentu sudah biasa, tapi mengenakan batik untuk mengayuh becak tentu jarang kita ketemua. Tapi ada kejadian yang menggetarkan semangat kita untuk berMuhammadiyah, ketika melihat sosok yang bergelut dengan panas matahari jalanan dengan  mengenakan baju kebanggaan persyarikatan. Simaklah penuturan cerita dari Ibu Sumiati, dari Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur berikut ini:

Nggak sengaja menemukan sumber motivasi di jalanan buat menambah gairah dan makin menyintai wadah dan saluran ‘jihad’ ku – Persyarikatan Muhammadiyah, saat lagi hunting unt urusan mencari maisa. Pasalnya, seorang lelaki paruh baya mengayuh becak, mengantar penumpangnya dng pakaian rada formal bahkan mungkin agak ‘glamour” unt pengayuh becak pd umumnya, yg emang terbiasa dng selembar kaos, malah – maaf – biasanya agak kumal dan lusuh.

Mungkin, bagi sebagian orang ini fenomena biasa, tapi tidak bagiku. Lho kenapa?, ya karena ini bukan persoalan sederhana, karena nggak biasa2nya orang kayak ‘pak Fulan’ sebut saja begitu, menggunakannya saat ia sedang menjalankan profesinya sbg pengayuh becak. Biasanya baju formal kayak gini – berupa batik Muhammadiyah itu – hanya digunakan oleh ‘pengikut’ ormas Islam berkemajuan ini unt acara resmi organisasi – begitu juga aku dng batik Aisyiyahku. Atau, jika tensi kecintaan mereka memuncak, mereka akan pakai pd acara pengajian komunitas ormas bersimbol matahari tsb.

Tapi, hr itu, pak fulan agak ‘narsis’, ber-putar2 di sebuah jalanan disudut kota Sby dng pakaian ‘kebesaran’ ormas yg didirikan oleh KH. Achmad Dahlan tsb. Akupun penasaran buat ‘mengintrograsi’nya selepas ia menjalankan tugasnya. Usut punya usut, ternyata – dr sumber yg bisa aku percaya, setiap bulan di tgl 18, pak Fulan yg emang anggota pimpinan ranting Muhammadiyah di kota pahlawan itu, sedang melakoni ‘lelaku’ buat merealisasi ‘intruksi’ pimpinan diatasnya berupa SK PDM kota Sby tentang penetapan tgl 18 sbg hari batik dan seragam Muhammadiyah.

Tentu, sbg pimpinan di tingkat grassroots yg taat dan sbg kader yg militan, pak Fulan pun sebisa mungkin menjalankan dan melaksanakannya. Bahkan bagi pak Fulan persoalannya tidak sesimpel yg dipikirkan teman2nya sesama pimpinan. yg mungkin hanya berhenti pd tataran menjalankan instruksi atau sekedar ‘menggugurkan’ kewajiban. Fulan, bahkan menawarkan yg lebih substansial dr itu, yakni tentang kebanggaannya thd organisasi yg diikutinya.

“Ishadu bi ana Muhammadiyah,” saksikan bahwa aku Muhammadiyah !, begitu pesan yg ingin disampaikan pak Fulan pd semua orang, tanpa ragu2 dan tanpa di-tutup2i. Sebuah bentuk militansi dr “penganut” salah satu gerakan Islam dng jumlah aset terbanyak di Indonesia itu. Ah, si Fulan itu terlalu lebay dan cuma berfikir simbolik, mungkin ada sebagian kita yg merespon ‘prilaku’ Fulan spt itu. Wajar dan nggak salah. Tapi, bagi Fulan ia ingin memainkan “politik simbol” yg selama ini dah mulai pudar karena tergerus oleh jargon “berfikir yg lebih substantif ketimbang menonjolkan simbol dan atribut !”

Sebab yg lain juga melakukannya secara masif Bahkan, faham terlarang di Indonesia kayak komunis pun mulai berani’ menunjukkan jatidiri dng simbol2 palu aritnya. Jadi, bagi Fulan, nggak ada salahnya jika kemudian ia bangga dng atribut dan simbol mataharinya. “Ngapain harus ia sembunyikan,” kira2 begitu jalan pikiran Fulan, jika aku boleh menebaknya. Sebuah jalan fikiran yg bisa jadi simple ataupun canggih dr seorang pengayuh becak, tergantung dr perspektif mana saya dan anda melihatnya. Wallahu’alam bi shawab.

Kiranya cerita tentang Pak Fulan yang bangga mengenakan batik ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua, sebagai warga Persyarikatan untuk  bangga dengan Muhammadiyah. Cara yang dilakukan PDM Kota Surabaya yang menertapkan tanggal 18 sebagai hari berbatik Muhammadiyah dapat dijadikan contok bagi keluarga Muhammadiyah dimanapun berada (sp/red)