Bekerja Adalah Ibadah

Oleh: Rois Fatoni

Anda barangkali sering mendengar kalimat “Bekerja adalah ibadah.” Dan di jaman ekonomi uang seperti sekarang ini, kalimat tersebut dimaknai sebagai: bekerja untuk mendapatkan uang, dan dengan uang itu kita beribadah. Dengan uang itu kita bisa menafkahi diri sendiri, menafkahi orang orang yang menjadi tanggungan kita, menyantuni orang miskin, dan semua itu bernilai ibadah asal kita niatkan dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan balasan dari mereka yang kita santuni.

Jika memang demikian makna bekerja adalah ibadah, lantas bagaimana dengan seorang pembantu rumah tangga yang bekerja sepanjang hari dan hanya mendapatkan uang yang tidak seberapa; sementara ada seorang pejabat yang sekali pergi melakukan perjalanan dinas bisa pulang mendapatkan jutaan rupiah? Bagaimana jika seorang pedagang bangkrut dan gagal mendapatkan uang meskipun ia telah bekerja dengan keras?Bagaimana pula jika seorang dokter spesialis yang telah memiliki uang yang cukup banyak dan memutuskan untuk berhenti bekerja, bersenang senang menikmati sisa hidupnya dan menolak mengobati pasien?

Pertanyaan pertanyaan tsb telah cukup menggiring kita kepada kesimpulan bhw pemaknaan bekerja sebagai ibadah di atas adalah kurang tepat. Adalah tidak adil menilai ibadah bekerjanya seseorang hanya dengan uang yang didapatkannya.

Dalam catatan kali ini, saya ingin menyampaikan pandangan saya tentang bekerja menurut ajaran Islam yang saya fahami. Pandangan Islam mengenai bekerja itu multidimensi; meliputi hubungan seseorang dengan Tuhannya, dengan makhluk di luar dirinya dan dengan dirinya sendiri; yang masing masing terhubung dengan perbuatan bekerja, wujud pekerjaan, dan hasil/upah/keuntungan dari bekerja. Dengan kata lain, ada proses, ada output dan ada outcome dari aktifitas bekerjanya seseorang.

  1. Perbuatan bekerja. Perbuatan bekerja itu sendiri adalah manifestasi dari syukur kepada Allah yang telah memberikan kehidupan dan kesejahteraan kepada manusia. Bekerja itu bukan semata mata persoalan mencari atau mengumpulkan penghasilan untuk menyambung hidup (for living), tetapi ia adalah bagian dari hidup itu sendiri (to live with). Jika bekerja adalah persoalan mencari nafkah semata, maka orang yang sudah kaya tidak perlu bekerja. Tetapi faktanya, keluarga Nabi (Raja) Dawud (King David) tetap diperintah untuk bekerja sebagai wujud syukur kepada Allah:

اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ”

Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’:13)

  1. Wujud pekerjaan.
    Wujud pekerjaan sebuah profesi terkait dengan fihak fihak di luar si pekerja yang secara langsung mendapatkan manfaat dari pekerjaan tsb. Manfaat yang dirasakan fihak lain ini sangat diapresiasi oleh Allah. Azas manfaat ini tercermin dari sabda Rasulullah SAW:
    “Sebaik baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia lain.”

Bukan hanya manfaat thd manusia, manfaat thd makhluk lain pun diapresiasi juga oleh Allah. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bhw seorang petani yang bercocok tanam akan mendapatkan pahala dari setiap butir hasil tanaman yang ia hasilkan, termasuk yang dimakan oleh burung burung.

  1. Hasil, upah/keuntungan yang didapat dari pekerjaan.
    Pekerja yang telah melaksanakan sebuah pekerjaan dan mendapatkan hasil berupa upah atau keuntungan, yang di dalam sistem ekonomi uang saat ini berwujud uang. Kemudian, uang ini dibelanjakan untuk menghidupi dirinya dan orang orang yang menjadi tanggungannya, sehingga ia tidak menjadi beban bagi orang lain. Kemandirian ini sangat sangat diapresiasi oleh Allah.
    Dalam sebuah hadits diriwayatkan bhw sebaik baik makanan yang kita makan adalah makanan yang berasal dari hasil keringat kita sendiri. Sepiring nasi yang kita berikan kepada anak istri kita lebih besar pahalanya daripada sepiring nasi yang kita berikan kepada orang lain. Ini semua adalah dorongan kemandirian, keperwiraan dalam ajaran Islam.

Kegagalan memahami 3 dimensi di atas bisa menimbulkan kebingungan, ironi dan kekacauan.

Berikut ini adalah contohnya:
Ada seorang dokter yang telah bekerja selama 25 tahun. Setelah tabungannya diperkirakan cukup untuk membiayai hidupnya hingga akhir hayat, ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan menikmati hidup. Persis seperti beberapa ilmuwan peraih nobel yang langsung pensiun karena kaya mendadak.

Pertanyaannya: benarkah tindakan dokter yang berhenti bekerja dan tidak lagi mengobati pasien?Jika bekerja hanya dilihat dari dimensi diri sendiri, maka tindakan dokter yang pensiun dini itu tidak bisa disalahkan. Tetapi bagaimana jika ada pasien yang meninggal karena kekurangan dokter? Maka tindakan dokter yang menolak mempraktekkan keahliannya adalah sebuah kesalahan.

Demikian pula sebaliknya, bagaimana kalau ia tetap buka praktek tetapi tidak memungut bayaran sama sekali karena ia sudah kaya? Tentu ini akan menimbulkan kekacauan karena para dokter lain akan kehilangan mata pencaharian. Mengapa? Karena para pasien tentu lebih suka berobat gratis ke dokter tersebut daripada ke dokter lain. Dengan kata lain, ibadahnya pekerjaan seorang dokter itu harus dilihat dari aspek aspek yang saya sebutkan di atas; bukan semata mata aspek uang, tetapi juga tidak serta merta menafikan uang sebagai sebuah sistem ekonomi yang disepakati masyarakat.

Contoh yang lain adalah pertanyaan : pekerjaan mana yang lebih utama? Pedagang atau pekerja? Pedagang atau penjahit ? Petani atau dosen ?

Kalau bekerja hanya dilihat dari dimensi ke-tiga (diri sendiri), maka yang paling utama adalah yang paling banyak menghasilkan rejeki. Tetapi bukankah rejeki sudah ditentukan oleh Allah? Bagaimana mungkin Allah akan mengutamakan hamba-Nya berdasarkan rejeki yang sudah beliau tentukan sendiri?Dengan demikian, jawaban yang benar adalah tidak ada satupun profesi tertentu yang lebih utama dari profesi yang lain. Ada hubungan mutualisme dan interdependensi antar profesi. Profesi pengelola sampah sama kedudukannya dengan profesi dokter. Keduanya sama sama berkontribusi terhadap terwujudnya kesehatan masyarakat. Lingkungan yang kotor akan menimbulkan penyakit berkembang dengan cepat. Pekerjaan dokter menjadi lebih berat karena banyaknya penyakit yang harus diobati. Pengelola sampah mencegah perkembangan penyakit dan mempermudah kerja dokter. Demikian pula profesi penjahit dan petani; sama kedudukannya dengan profesi dosen. Secerdas apapun seseorang, kalau lapar ya nggak bisa mikir. Setelah cerdas dan kenyang, hanya profesor gila yang mau ngajar di depan kelas tanpa celana 🙂

Dengan demikian, siapapun anda, apapun profesi anda, Anda akan mendapat pahala dari Allah dari tiga sisi sekaligus:

  1. Karena anda mau bekerja, mengisi hidup Anda dengan hal hal yang positif dan tidak bersantai santai saja.
  2. Karena ada orang atau makhluk hidup lain yang mendapatkan manfaat dari wujud pekerjaan Anda,
  3. Karena anda bisa hidup mandiri dan mencukupi kebutuhan orang orang yang menjadi tanggungan anda.

Sebagai contoh, jika anda petani, maka akan mendapatkan pahala ibadah karena anda mau bekerja, karena akan ada orang/binatang yang bisa melanjutkan hidup karena memakan hasil pertanian anda, dan karena anda sendiri akan mendapatkan keuntungan yang bisa membuat anda mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain.

Saya berlindung kepada Allah dari kemungkinan kesalahan pada tulisan dan jalan fikiran saya.

Wassalam,
Rois Fatoni
Dosen UMS.