Catatan Anton Tabah, ” Kisah Panjang Perjuangan Polwan dan TNI Berjilbab ” (2)

lanjutan…
Namun, beberapa kali laporan khusus saya tentang jilbab polwan sepertinya kurang direspons. Akhirnya, beberapa polwan ada yang nekat berjilbab untuk test case. Reaksi komandan di lapangan macam-macam. Ada yang cuek, ada yang diam mendukung, ada yang melarang halus, ada yang melarang keras.
Perjuanganku untuk jilbab polwan sudah tiga tahun (2012), tetapi belum juga membawa hasil. Bahkan, polwan yang nekat berjilbab dipindahkan ke satker yang tdak sesuai bidang keahliannya. Puncaknya menjelang akhir 2012.
Pucuk pimpinan Polri mengeluarkan pernyataan cukup keras, yaitu bagi polwan yang ingin berjilbab, silakan pilih: pindah ke Aceh yang memang sudah membolehkan polwan berjilbab atau keluar dari Polri.
Statement keras pimpinan Polri tersebut kujawab dengan artikel pagi harinya yang dimuat di Harian Republika berjudul “Melarang Jilbab Bukan Hanya Melanggar HAM, tapi Juga Menentang Allah”.
Rupanya pimpinan Polri membaca artikel tersebut. Lalu, beliau telepon saya dengan nada marah berkata begini, “Mas Anton, Anda kan jenderal jenius, kenapa buka masalah internal di media? Mestinya Anda buat kajian dulu ke pimpinan. Saya harap Anda sekarang juga bertemu saya,” kata beliau mengakhiri pembicaraan telepon.
Saya dituduh tidak membuat kajian dulu, langsung tulis artikel di media? Ku siapkanlah file kajian saya tentang jilbab polwan yang pernah kubuat berkali-kali ke pimpinan. Sesampainya di ruang pimpinan, saya buka semua file ka jian tersebut.
Beliau lalu bertanya pada saya. “Terus bagaimana menurut Mas Anton?” “Ya, kita tak boleh melarang polwan ber-uniform berjilbab, selain malu dengan negara lain yang non-Muslim saja polwannya ber-uniform berjilbab, juga kita melanggar konstitusi karena hal itu diatur UUD 1945 secara tegas dan jelas.”
Sejak itu sikap pimpinan mulai melunak, hanya beralasan masih dikaji secara teknis, apa tidak mengganggu pergerakan kelincahan di lapangan, bagaimana desainnya, dan perlu anggaran khusus. Sampai pergantian pimpinan Polri Jenderal Sutarman, masih beralasan nanti kesulitan di lapangan.
Alhamdullah, pada 1 Maret 2014 Organisasi Sepak Bola dunia (FIFA) cq Sekjen FIFA Jereme Valcke dari Zurich, Swiss, mengumumkan, pesepak bola Muslimah boleh berseragam berjilbab ketika melakukan pertandingan sepak bola.
Hal ini langsung saya sampaikan ke Kapolri, dan Kapolri tampak bisa menerima jika polwan berjilbab. Tak perlu khawatir terganggu gerakan kelincahannya di lapangan. Ketika itu Kapolri langsung bilang bahwa polwan boleh berjilbab.
Pernyataan Kapolri disambut sukacita oleh polwan. Langsung, mayoritas polwan berjilbab, tapi dengan aksesori macam-macam. Nah, ini membuat pimpinan tak setuju, maka jilbab polwan pun ditunda lagi menunggu kajian desain dan anggarannya.
Pada 8 Desember 2013, anggaran untuk polwan berjilbab turun dan pada 15 April 2015 resmi Kapolri membuat Skep Polwan Muslimah Berjilbab. Perjuangan panjang sekitar enam tahun membuahkan hasil. Semoga menambah semangat para polwan dan menambah simpati rakyat.
Di Inggris, Amerika, dan berbagai negara besar yang minoritas Muslim pun ternyata tak hanya polwannya yang berjilbab, juga wanita tentaranya. Karena itu, wajar jika wanita TNI yang Muslimah menuntut haknya ingin berjilbab sebagaimana saudara kandungnya, polwan.
Namun, perjuangannya hampir mirip polwan? Panglima TNI pertama mempersilakan agar wanita TNI Muslimah berjilbab, tetapi seminggu kemudian meralatnya. Bagi wanita TNI yang ingin berjilbab supaya pindah ke Aceh saja. Bedanya, tak ada pilihan kedua atau keluar dari TNI.
Proses panjang telah dilakukan Polri. TNI tinggal menyesuaikan, toh lambat atau cepat hal itu tak bisa dan tak boleh di bendung, apalagi dilarang. Selain melanggar HAM, juga menentang Tuhan karena berjilbab bagi wanita Muslimah adalah kewajiban, bukan sekadar budaya.
Saya yakin itu karena Panglima TNI juga insan beriman yang ingin taat pada Tuhan dan berbakti pada negara. Keduanya mesti berjalan baik. Wanita TNI Muslimah ber-uniform berjilbab. Tinggal menunggu waktu. Insya Allah.