Mengenal Sosok KH Muhammad Kamaludiningrat (Anggota Muhammadiyah Pertama)

Terdapat dua nama Kamaludiningrat pada masa kehidupan KH Ahmad Dahlan, tetapi keduanya memiliki karakter yang berbeda. Kamaludiningrat yang pertama adalah hoofdpenghulu Mohammad Khalil yang pernah menginstruksikan perobohan langgar kidul (mushola KH Ahmad Dahlan). Kamaludiningrat yang kedua adalah Kiai Sangidu, kawan seperjuangan KH Ahmad Dahlan. Kamaludiningrat yang terakhir adalah anggota Muhammadiyah pertama.
Kiai Sangidu
Pada tahun 1914 atau sekitar 17 tahun pasca tragedi perobohan Langgar Kidul, hoofdpenghulu KH Muhammad Khalil Kamaludiningrat wafat (Ahmad Adabi Darban, 2000:41-43). Jabatan hoofdpenghulu dilimpahkan kepada Khatib Anom. Pada waktu itu, posisi Khatib Anom dipegang dipegang oleh Kiai Sangidu, menantu KH Muhammad Khalil Kamaludiningrat. Kiai Sangidu menjabat sebagai hoofdpenghulu dengan menyandang nama KH Muhammad Kamaludiningrat.
Sebelumnya, Kiai Sangidu telah menikahi putri hoofdpenghulu Muhammad Khalil kamaludiningrat dikaruniai tiga anak: KH Djalal, Siti Salmah, dan Nafiah (Ahmad Basuni, 1972). Kiai Sangidu merupakan pendukung gerakan KH Ahmad Dahlan (khatib amin). Meskipun mertua Kiai Sangidu sangat memusuhi gerakan yang dirintis oleh KH Ahmad Dahlan, tetapi dia tetap mendukung berdirinya Muhammadiyah.
Pada tahun 1911, di rumah Kiai Sangidu, KH Ahmad Dahlan menetapkan nama “Muhammadiyah” sebagai nama gerakan yang akan dirintisnya (Basuni, 1972). Pada tanggal 20 Desember 1912, rechtspersoon (badan hukum) Muhammadiyah diajukan kepada pemerintah kolonial lewat bantuan para pengurus Budi Utomo. Terjadi proses surat-menyurat selama 20 bulan antara pengurus Muhammadiyah dengan pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg menyikapi kelahiran Muhammadiyah secara hati-hati. Dia harus meminta pertimbangan Direktur van Justitie, Adviseur voor Inlandsche Zaken (Rinkes), Residen Yogyakarta (Liefrinck), dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI untuk penetapan ruang lingkup perkumpulan Muhammadiyah.
Sri Sultan Hamengkubuwono VI menyerahkan urusan ini kepada Pepatih Dalem Sri Sultan (Rijksbestuurder) atau lembaga kepenguluan yang memang bertugas mengurus persoalan semacam ini. Sewaktu di tangan hoofdpenghulu Muhammad Khalil Kamaludiningrat, mertua Kiai Sangidu, rechtspersoon Muhammadiyah sempat dipahami secara keliru. Khatib Amin (KH Ahmad Dahlan) dikira hendak menjadi “Resident” dengan mendirikan perkumpulan Muhammadiyah. Hoofdpenghulu yang pernah memendam kebencian kepada Khatib Amin itu sempat menolak rechtspersoon Muhammadiyah. Tetapi setelah melewati perdebatan yang penuh kesalahpahaman, Pepatih Dalem Sri Sultan menyepakati pembentukan perkumpulan Muhammadiyah dengan syarat, ruang lingkupnya dibatasi hanya untuk Wilayah Yogyakarta. Akhirnya, Muhammadiyah secara resmi berdiri dengan keluarnya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914 (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adabi Darban, 2000:116-118).
Setelah putri hoofdpenghulu Muhammad Khalil Kamaludiningrat wafat, Kiai Sangidu menikah lagi dengan Siti Djauharijah, putri KH Saleh (kakak ipar KH Ahmad Dahlan). Pernikahan Kiai Sangidu dengan Djauharijah melahirkan Siti Umniyah, salah satu pendiri Nasyi’atul Aisyiyah (dulu Siswa Praya Wanita). Ketika ayah kandung Kiai Sangidu wafat, KH Ahmad Dahlan menikahi mantan jandanya, sehingga hubungan kekeluargaan semakin dekat. Dalam Stamboek Muhammadiyah 1912, nama Kiai Sangidu tercatat sebagai anggota nomor perdana (Basuni, 1972).
Reformasi Kepenghuluan
Sebuah kisah yang cukup masyhur di kalangan Muhammadiyah, tetapi sangat membingungkan bagi yang tidak memiliki dan menguasai literatur-literatur sejarah ini. Dikisahkan, Khatib Amin pernah memerintahkan penyelidikan dengan metode ru’yah bil ain. Ternyata, hasil dari perhitungan awal bulan dengan metode hisab dan ru’yah bil ain tidak berbeda. Hasil perhitungan dengan metode hisab dan ru’yah bil ain menurut keputusan Muhammadiyah berbeda dengan kebijakan Kraton yang masih menggunakan kalender Aboge. Dengan keyakinan membawa kebenaran agama Islam, Khatib Amin memberanikan diri menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono VII untuk menyampaikan informasi ini. Mendengar seorang abdi dalem menyampaikan kebenaran agama, sang Raja Yogyakarta bersikap sangat bijaksana.
“Berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedang Grebeg di Yogyakarta tetap bertradisi menurut hitungan Aboge,” demikian jawab Sri Sultan Hamengkubuwono VII kepada Khatib Amin (Junus Salam, 2009:156-157).
Kisah ini memang masyhur di kalangan warga Muhammadiyah, tetapi hampir tidak ditemukan kejelasan bagaimana seorang pejabat rendahan di dalam struktur pemerintahan Kraton Yogyakarta bisa melakukan reformasi keagamaan secara struktural. Kapan peristiwa ini terjadi juga tidak banyak buku yang menjelaskannya. Sebagai seorang Khatib, jabatan KH Ahmad Dahlan jelas berada di bawah hoofdpenghulu dalam struktur lembaga Kepenghuluan Yogyakarta. Khatib Amin tidak mungkin bisa masuk ke dalam Kraton bertemu langsung dengan sang raja tanpa melewati otoritas hoofdpenghulu. Siapakah hoofdpenghulu pada waktu KH Ahmad Dahlan menghadap sang Raja dalam kisah ini?
Jika tidak hati-hati membaca literatur sejarah, para pembaca pasti bakal terjebak pada dua tokoh Kamaludiningrat sebagaimana Hanung Bramantyo sewaktu membuat skenario film Sang Pencerah. Sebab, ada dua nama Kamaludiningrat. Tokoh yang pertama adalah hoofdpenghulu Muhammad Khalil Kamaludiningrat, dan yang kedua adalah hoofdpenghulu Muhammad Kamaludiningrat (Kiai Sangidu). Hoofdpenghulu Muhammad Khalil Kamaludiningrat adalah musuh bebuyutan KH Ahmad Dahlan yang meninggal pada tahun 1914. Adapun hoofdpenghulu Muhammad Kamaludiningrat adalah Kiai Sangidu yang tidak lain adalah kawan seperjuangan KH Ahmad Dahlan.
Dengan demikian, sangat tidak mungkin KH Ahmad Dahlan menghadap sang Raja dalam rangka mengajukan gagasan pembaruan di bawah otoritas hoofdpenghulu Muhammad Khalil Kamaludiningrat. Paling mungkin adalah ketika jabatan hoofdpenghulu  sudah beralih ke tangan Kiai Sangidu. Dengan demikian, peristiwa ini terjadi pasca tahun 1914 atau setelah jabatan hoofdpenghulu  dipegang oleh Kiai Sangidu.
Lewat dukungan Kiai Sangidu, KH Ahmad Dahlan memang berhasil melakukan reformasi keagamaan di Lembaga Kepenghuluan Kraton Yogyakarta. Sejak Kiai Sangidu menjabat sebagai hoofdpenghulu, KH Ahmad Dahlan bekerjasama dengan Lembaga Kepenghuluan Kraton Yogyakarta dan Pakualaman. Hoofdpenghulu Muhammad Kamaludiningrat sangat kooperatif dengan gerakan Muhammadiyah. Khatib Amin juga membuka kembali jalan permusyawaratan para ulama yang sudah hilang. Musyawaratul Ulama di Pakualaman yang dipimpin KH Abdullah Siradj juga merupakan partner Muhammadiyah dalam memutuskan berbagai persoalan keagamaan.
Terhitung sejak tahun 1914, pasca peralihan jabatan hoofdpenghulu dari Muhammad Khalil Kamaludiningrat kepada Muhammad Kamaludiningrat, gerakan Muhammadiyah mulai memasuki Bangsal Priyayi, karena kantor Penghulu sudah dapat dipergunakan sebagai wadah tabligh atas izin Kiai Sangidu. Sebelumnya, Bangsal Priyayi adalah tempat yang tabu bagi masyarakat awam. Akan tetapi, setelah jabatan Kepala Penghulu dipegang oleh Kiai Sangidu, Bangsal Priyayi menjadi tempat penggemblengan kader-kader muballigh Muhammadiyah. [sp/mu’arif]
dimuat dalam Suara Muhammadiyah 16/98/2013