Buya HAMKA: Inilah Contoh Terpuji Kawin Campur Agama

oleh : Fahmi Salim, MA

Ketika saya membaca Tafsir Al-Azhar karya HAMKA, saya tertegun sejenak membaca pengalaman beliau dengan teman sekampungnya, ketika membahas ayat 221-222 surah al-Baqarah yang melarang perkawinan beda agama. Salah satu ciri khas Tafsir HAMKA adalah mengaitkan ayat Qur’an dengan realitas, sehingga terasa membumi dalam kenyataan.

Hamka tak hanya hebat menyusun Tafsir Qur’an dengan mengandalkan ilmu-ilmu riwayat, asbab nuzul, bahasa Arab, berbagai teori ushul fiqih dan perbandingan fiqih dari keempat imam mazhab ketika menjelaskan ayat-ayat hukum. Tafsir ‘tahlili’ seperti itu memang akan terasa kering, tanpa sentuhan analisa sosiologis antropologis. Sebagai seorang aktifis Islam dan sastrawan, nampak pula kepiawaian HAMKA dalam merangkai realitas sosial yang ditemui dan dialaminya sendiri ketika menjelaskan hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalam al-Qur’an. Dalam hal model penulisan Tafsir, memang HAMKA banyak terpengaruh oleh pola dan metode tafsir Al-Manar yang disusun oleh Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridha. Sehingga tafsir HAMKA dapat dikelompokkan ke dalam jenis Tafsir Adaby Ijtima’i, tafsir bercorak kesusasteraan dan sosial, yang pertama di Indonesia!

Mari kita simak penuturan Buya HAMKA tentang pengalamannya dalam persoalan fenomena perkawinan campur agama pada masanya.

Hamka menulis:
“Pada suatu hari di tahun 1957 dalam perlawatan penulis “Tafsir” ini ke Surabaya bertemu dengan seorang anak muda sekampung (Maninjau). Dia menyampaikan salam dari mertuanya, karena mertua itu sangat berminat kepada karangan saya Tasauf Modern. Dengan buku itu mertuanya mendapat bimbingan jadi orang Islam yang baik. Lalu diterangkannya bahwasanya pada masa hebatnya revolusi bersenjata di Yogyakarta pada tahun 1945 sampai 1947, telah bertemu jodohnya dengan seorang gadis Jawa yang beragama Katholik, dan ayah bundanya Katholik, demikianpun sekalian saudara-saudaranya.

Waktu dia kawin dengan anak perempuan itu, banyak teman-teman tidak setuju, karena takut dia akan tertarik pula meninggalkan Islam. Dan setelah sampai berita ke kampung, dia telah dianggap hilang oleh keluarganya di Maninjau. Namun perkawinan diteruskannya juga, dan dalam rumah tangga dia menjalankan sekalian kehidupan Islam, ibadat Islam dengan patuh. Dan kalau isterinya hendak ke gereja ditolongnya menemani. Lantaran kelakuannya yang baik, dia disayangi oleh mertua. Pergaulan bertambah lama bertambah akrab. Dan dia selalu membawa buku-buku Islam yang bermutu untuk bacaan isterinya. Alhasil setelah saya bertemu dengannya di surabaya tahun 1957 itu dia telah menyampaikan salam mertuanya karena buku Tasauf Modern. Sebab kedua mertuanya telah masuk Islam, dan saudara-saudara isterinya hampir semua telah jadi Islam. Isterinya adalah serorang perempuan yang taat beragama Islam. Dan diterangkannya juga bahwa keluarga mertuanya telah dihubungkannya dengan keluarganya sendiri di Maninjau. Telah terjadi pertalian ipar besan yang akrab.

“Cara apa yang engkau pakai buat menarik mereka?” demikian tanya saya, “Padahal orang Katholik sangat teguh disiplin agamanya?”

Dia jawab: “Pertama sekali benar-benar saya perlihatkan kehidupan cara Islam. Saya cintai isteri dan saya tolong, kadang-kadang turut masuk ke dapur. Saya hormati mertua sebenar-benarnya hormat dan saya bersikap baik kepada sekalian saudaranya. Dan satu keuntungan lagi ialah sebab mertua saya yang laki-laki orang yang suka membaca. Selama ini dia belum mengenal buku-buku Islam yang bermutu. Sengaja saya sediakan buku-buku itu. Dan saya jawab dengan hormat kalau beliau bertanya. Akhirnya timbullah herannya dan kagumnya setelah mengetahui peraturan-peraturan Islam dan fikiran-fikiran Islam. Sedang isteri saya hanya tiga bulan yang pertama dia masih memegang agamanya Katholik dan sebelum pergaulan kami sampai enam bulan, seketika dia saya ajak masuk Islam dengan lemah lembut, diapun mau dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Tetapi saya tidak memadakan hingga itu saja. Saya bawa dia mempelajari agama kepada Aisyiyah di Yogyakarta dan Surabaya ini.

Ketika mertua saya hendak menukar agamanya, terharu saya mendengar perkataan beliau. Beliau berkata: “Sebenarnya nenek moyang saya Islam. Ayah saya pun masih Islam. Tetapi karena Islam kami hanya keturunan, tidak mendapat penerangan yang betul, saya jadi Katholik. Dengan pertolonganmu wahai anakku, ayah kembali kepada agama nenek moyang”.

Dan ketika berjumpa tahun 1957 itu anaknya sudah tiga orang.
Lalu saya tanya: “Dimana kalian kawin?”
Dia jawab: “Kami berdamai. Mula-mula kawin di gereja, stelah itu kami pergi ke penghulu, kawin secara Islam.”
Lalu saya jawab: “Rupanya engkau punya rencana dalam perkawinan ini.”
Dengan senyum dia menjawab: “Menjalankan rencana Tuhan!”
Perkawinan campuran begini tentu terpuji dalam Islam.
Dan disamping pemuda asal Maninjau ini, berpuluh bahkan beratus pemudi Islam lepas dari Islam menjadi murtad, sebagai korban dari pergaulan bebas.”

Demikianlah HAMKA menutup pembahasan ayat yang melarang perkawinan campur agama. Semoga menjadi ibrah buat kita semua.
Wallahu a’lam.