Tes Keperawanan, Perlukah?

Norma Sari, S.H.,M.Hum.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah, 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Wacana akan dilaksanakan tes keperawanan bagi pelajar SMA menuai pro dan
kontra dari masyarakat. Wacana tersebut didasari temuan di lapangan ada
dugaan pelajar putri yang terlibat dalam kasus perdagangan manusia dan
pelacuran. Tidak dipungkiri fenomena arisan seks pelajar, pesta seks
pelajar, prostitusi pelajar, mucikari pelajar, perdagangan orang,
aborsi, kehamilan tidak diinginkan akibat seks bebas, married by
accident, semakin mudanya umur pemohon dispensasi perkawinan, serta
perceraian karena pernikahan dini, sangat mengoyak sendi-sendi kehidupan
masa depan remaja. Padahal mereka adalah asset masa depan bangsa dan
negara.

Munculnya ide tes keperawanan untuk mengatasi problem
tersebut memicu pertanyaan-pertanyaan kritis dalam beberapa
pertimbangan. Pertama, dasar penyelenggaraan tes. Berdasarkan
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Sedangkan salah
satu prinsip pendidikan adalah sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

Idealnya,
pendidikan akan membentuk pribadi yang tidak akan melanggar larangan
agama, kesusilaan sekaligus hukum seperti berzina, karena akan
berdampak sosial bukan semata-mata individual bagi para pelakunya.
Menjaga kesucian manusia dengan tidak melakukan aktifitas seksual yang
terlarang juga menjadi bagian ketaatan akan hidup dalam tatanan budaya
yang dianut. Saat kondisi yang dicita-citakan tidak tercapai apakah hal
tersebut menjadi dasar dilakukan tes keperawanan untuk lebih menguatkan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian? Atau, tes dimaknai
bagian dari pembudayaan anak didik? Sulit menarik korelasi yang erat
antara dasar-dasar pendidikan dengan dengan urgensi melakukan tes.

Fenomena
perkembangan dunia teknologi saat ini menunjukkan sisi negatif yang
dibawa arus teknologi informasi semakin tidak terbendung. Banyak konten
pornografi yang begitu mudah mengalir melalui telepon seluler. Serangan
produk budaya yang berlandaskan nilai-nilai kebebasan juga semakin
gencar menginfiltrasi aktivitas harian remaja. Belum lagi ekspose media
atas beberapa perilaku menyimpang dari oknum pejabat, tokoh idola, atau
pendidik yang seharusnya memberikan keteladanan justru melakukan
perselingkuhan, kawin kilat, prostitusi, gratifikasi seks dan lain
sebagainya. Remaja dihadapkan tantangan berat untuk tetap menjadi
pribadi baik diantara kepungan pengaruh buruk. Perlu filosofi, materi
dan metodologi yang tepat mendidik mereka menjadi sosok yang tangguh
menghadapi dinamika kehidupan.

Kedua, definisi, kualifikasi dan
persepsi perawan. Perawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
belum pernah bersetubuh dengan laki-laki; masih murni (untuk anak
perempuan). Kualifikasi perawan secara sederhana diukur secara fisik
yakni masih utuhnya selaput dara. Persepsi tentang perawan di masyarakat
seringkali dilekatkan dengan persepsi kesucian dan persepsi tentang
perempuan baik-baik.

Bagaimana dengan perempuan yang melakukan
hubungan seksual tetapi selaput daranya utuh? Apakah masih
terkualifikasikan perawan dan terpersepsikan suci dan wanita baik-baik?
Bagaimana pula dengan perempuan yang selaput daranya tidak utuh karena
kecelakaan atau perkosaan? Definisi, kualifikasi dan persepsi perawan
harus secara hati-hati diuraikan karena menyangkut dimensi agama,
kesusilaan dan hukum. Kegagalan merumuskan secara tepat justru akan
berdampak buruk dalam proses panjang pendidikan.

Penyebab
ketidakperawanan juga memiliki banyak varian, bisa karena hubungan
seksual suka sama suka, perkosaan, perdagangan maupun bukan karena
hubungan seksual. Lebih jauh hubungan seksual suka sama suka maupun
komersial yang dilakukan bisa disebabkan karena faktor ekonomi, pengaruh
teman, tidak ada kepedulian keluarga, sekedar coba-coba, maupun
kurangnya pemahaman agama dan kesehatan. Jika penyebab ketidakperawanan
adalah perkosaan maka pelaksanaan tes justru akan menimbulkan persoalan.
Korban akan mengalami trauma berlipat yakni saat perkosaan yang
dialaminya, masih harus kembali membuka memori saat tes dan hasilnya
masuk dalam “daftar tidak perawan”.

Ketiga, sudut pandang keadilan
relasi laki-laki dan perempuan. Dalam hubungan seksual perempuan dan
laki-laki sama-sama terlibat, meskipun secara fisik akibatnya cenderung
pada perempuan. Namun menempatkan perempuan sebagai subyek tes justru
berarti menjadikannya obyek tumpuan kesalahan. Hal ini menyalahi prinsip
pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Persepsi bahwa
perempuan adalah obyek sangat tidak ramah perempuan. Logikanya,
perempuan diatur ketat dan menimpakan hukuman pada satu pihak atas
mungkin ketidaksalahan atau kesalahan minimal dua pihak. Keadilan tidak
selalu sama persis, tapi secara jelas merujuk kata “hubungan” seksual
tidak pernah terdefinisikan satu pihak. Apalagi jika hasil akhir dari
tes ini bermuara untuk menentukan berhak tidaknya mengenyam pendidikan.
Pendidikan adalah hak warganegara dan menjadi salah satu tugas
pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Justru institusi
pendidikan seharusnya tetap bertindak adil serta lebih intensif dalam
mendidik perilaku siswanya.
Keempat, efektifitas solusi atas tujuan
utama. Jika tes keperawanan ditujukan untuk mengurangi perilaku
menyimpang seberapa besar dampak negatif yang ditimbulkan dibandingkan
dengan efektifitas penyelesaian masalah. Tawaran solusi yang lebih
filosofis sekaligus realistis adalah menguatkan pendidikan kesehatan
reproduksi dan pendidikan agama terutama di sekolah dan keluarga. Tujuan
pendidikan kesehatan reproduksi adalah agar remaja mengenal (1)
pentingnya kesehatan reproduksi bagi masa depannya yang masih panjang
(2) bagaimana menjaga alat alat reproduksinya tetap sehat; (3) perilaku
yang membayakan kesehatan reproduksi serta (4) bagaimana menghindarkan
diri terjerumus dalam perilaku menyimpang tersebut.

Pendidikan agama
dalam hal ini secara khusus bertujuan membentuk pribadi yang kuat,
dilandasi iman dan takwa akan menjauhi perbuatan yang dilarang. Sebagai
contoh dalam Islam dikenal satu diantara prinsip tentang menjaga nasab
(keturunan). Sebagai penjagaan terhadap nasab maka Islam mengharamkan
perzinaan dan segala sarana yang mengantarkan kepada perbuatan tersebut
seperti berbicara, melihat dan mendengarkan hal-hal yang haram yang
memicu terjadinya perbuatan zina. Dampak perzinaan membawa kerusakan
yang sangat besar misalnya ternodainya kehormatan dan harga diri
seseorang, tercampurnya nasab dan keturunan secara tidak jelas, sehingga
seorang anak dinasabkan kepada bukan ayahnya dan mewarisi dari selain
kerabatnya. Selain itu perzinaan akan melunturkan kesakralan institusi
pernikahan yang merupakan ikatan yang sangat kuat lahir batin, bukan
kontraktual semata. Masih banyak lagi kerusakan yang timbul akibat
perzinaan termasuk penularan penyakit seksual kepada keturunan yang
tidak berdosa. Itulah sebabnya hubungan laki-laki dan perempuan diatur
sedemikian rupa agar tatanan masyarakat senantiasa seimbang.

Penyampaian
materi dan nilai-nilai pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan
agama, tidak harus selalu dengan model interaksi pendidik dengan anak
didik. Sekolah perlu mengembangkan pendidik sebaya (peer educator) untuk
melengkapi celah yang tidak tersentuh dalam interaksi guru dan siswa.
Banyak remaja yang melakukan aktivitas seks bebas maupun prostitusi
akibat bujukan dan pengaruh teman sebaya. Pentingnya pengaruh teman
sebaya justru menjadi kata kunci untuk menggarap segmen ini sebagai
bagian dari upaya pencegahan. Remaja seringkali lebih bebas membicarakan
secara jujur dan terbuka kepada temannya seputar perilakunya
dibandingkan dengan guru atau orang tua.

Menguatkan basis pendidikan
di dalam keluarga juga menjadi kunci agar persoalan pendidikan tidak
semata-mata ditumpukan pada guru di sekolah. Sebagian besar waktu remaja
dihabiskan di sekolah dan rumah. Fenome arisan seks yang dilakukan di
rumah dengan modus belajar kelompok atau aktivitas prostitusi dengan
jaringan telepon genggam mengindikasikan semakin lemahnya kontrol
keluarga. Peran dan sensitifitas orangtua untuk mendidik anaknya semakin
lemah. Kedekatan anak dengan orangtua dalam komunikasi terbuka terutama
soal perilaku dan pergaulan juga jarang intensitasnya.

Menyelamatkan
generasi muda dari perilaku seks bebas dan menyimpang adalah tujuan
mulia yang menuntut tanggung jawab kita bersama. Bukan hanya perlu,
tetapi bahkan menjadi agenda mendesak. Namun demikian, menyelesaikan
persoalan harus disertai dengan dasar yang kuat. Uraian pertimbangan
sekaligus alternatif solusi menjadi tawaran untuk menyimpulkan perlu
tidaknya tes keperawanan dilakukan.