Mungkinkah Gatot Mengulang Kisah SBY ?

Dalam sebuah tulisannya, Deny JA menyebut 4 nama yang memiliki peluang besar untuk menjadi Presiden Indonesia dalam Pilpres 2019. Keempat nama itu adalah Joko Widodo, Prabowo Subiyanto, Anies Baswedan, dan Gatot Nurmantyo. Pertimbangan nama 4 orang itu adalah berdasar survei beberapa lembaga yang beredar pada tahun 2017. Deny JA menyebut Joko Widodo sebagai kandidat terkuat, Prabowo runner up, sementara Anies dan Gatot sama sama start up. Tentu semua bisa berubah setelah nanti secara definitiv partai-partai politik mengusung nama-nama kandidat Capres dan Cawapres sesuai kesepakatan.

Gatot Nurmantyo (GN) nampaknya saat ini sedang menjadi sorotan. Pasalnya, per 1 April 2018 yang lalu Sang Jenderal baru saja menikmati masa pensiunnya. Yang menjadi perbincangan menarik adalah Jenderal Gatot justru kehilangan jabatannya sebagai Panglima TNI bukan pada saat pensiun, tetapi pada tanggal 8 Desember 2017, 4 bulan sebelum masa pensiunnya. Jadi, GN sempat jadi Jenderal aktif bintang empat tanpa komando.

Banyak spekulasi yang beredar mengapa Sang Jenderal harus kehilangan tongkat komandonya disaat dirinya belum pensiun. Ada yang mensinyalir hal ini terkait dengan tulisan Deny JA tersebut. Mencuatnya nama Jenderal Gatot sebagai salah satu kandidat Capres menjadi kekhawatiran bagi istana. Bagaimanapun juga istana tidak ingin membesarkan anak macan, apalagi anak macan yang susah dikendalikan. Sepak terjang Jenderal Gatot memang belakangan sering terkesan berbeda dengan keinginan istana. Ini terutama terjadi sejak peristiwa aksi 212 yang terkesan seolah Jenderal Gatot membangun panggungnya sendiri.

Namun langkah mencopot jabatan Jenderal GN sebelum berakhir jabatannya justru sebenarnya membuka cerita lama seperti saat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY berhenti dari Jabatan Menkopolkam di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Saat itu diawali keluhan SBY yang merasa sebagai Menkopolkam dirinya tidak diberi peran yang sesuai dengan jabatannya. Keluhan SBY tersebut ditanggapi oleh Taufik Kiemas, politisi senior PDIP yang juga suami Presiden Megawati sebagai sikap kekanak-kanakan. Polemik pun terjadi hingga berakhir dengan pengunduran diri SBY sebagai Menkopolkam saat itu. Tidak lama kemudian SBY diusung oleh Partai Demokrat yang saat itu dipimpin oleh Subur Budhisantosa menjadi Calon Presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla yang saat itu menjabat sebagai Menkokesra dalam kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati Soekarnoputri. Sejarah mencatat akhirnya Megawati justru dikalahkan oleh SBY dalam meraih jabatan Presiden periode 2004-2009.

Saat ini GN pun hampir mengalami hal yang sama dengan SBY. GN dicopot kekuasaannya sebelum masa pensiunnya tiba. Bahkan bersamaan itu pula terjadi mutasi besar di kalangan TNI yang isunya untuk membersihkan TNI dari pengaruh GN. Setelah pensiun, GN pun diserang dengan berbagai isu salah satunya terkait kedekatannya dengan pengusaha Tomy Winata. GN diisukan punya modal yang besar untuk membeli Gerindra, bahkan membeli tiket untuk menjadi calon Presiden melalui Gerindra.

Kekhawatiran istana terhadap GN ternyata justru diikuti langkah yang bisa membuat nama GN semakin bersinar untuk jadi kandidat Presiden. Dengan melucuti kekuasaan GN, maka terjadilah melodrama yang menjadikan GN sebagai tokoh yang seolah disakiti dan didzolimi. GN menjadi figur yang dicampakkan dan dijauhkan dari habitatnya. Keadaan ini justru malah semakin menimbulkan rasa simpati baik dari kalangan korps GN maupun dari masyarakat luas.

Istana seharusnya belajar juga dari kejadian yang menimpa Anies Baswedan, yang setelah dicopot dari Jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan justru malah diambil menjadi kandidat Cagub DKI Jakarta dan akhirnya menang. Terlepas soal isu lainnya, yang jelas dicopotnya Anies saat itu memang menimbulkan tanda tanya dan melodrama yang mengharukan. Mungkinkah GN akan mengulang kembali kisah SBY dan juga Anies Baswedan? Wallahu alam.

oleh : Izzul Muslimin