
Bapak ThJ memposting permohonan maaf dan klarifikasi sikapnya kepada Muhammadiyah di media sosial.
Berikut ini catatan saya yang fakir ilmu:
1) Sikap Muhammadiyah dalam mempertahankan hasil ijtihadnya bukanlah ego organisasi, melainkan totalitas dan loyalitas menegakkan sebuah fatwa yang solid secara syar’i dan sains.
2) Kesatuan dan persatuan umat tidak bisa diwujudkan dengan cara pemaksaan kehendak dan sikap otoriter, apalagi dibalut arogansi kekuasaan.
3) Term yang digunakan beliau adalah tidak taat kepada pemerintah dan metode hisab yang sudah usang. Nampaknya beliau perlu belajar lagi tentang konsep ulil amri dan relevansinya dengan sistem ketatanegaraan RI, dan fakta bahwa metode rukyat adalah sarana dalam menentukan waktu ibadah yang bersifat ijtihadiyah. Sarana itu terbatas di jamannya dan akan selalu berkembang seiring kemajuan iptek.
4) KH. Ahmad Dahlan saat meluruskan arah kiblat agar tepat sesuai arah kakbah 1 abad lalu dan beragam ijtihad dan tajdid faham agama lainnya bukanlah untuk memecah belah umat. Konsistensi ijtihad pada akhirnya melahirkan etos pencerahan umat. Dan kini ijtihad itu diterima menjadi konsensus umat dalam meluruskan arah kiblat sholat.
5) Semua pihak harus menghormati hasil ijtihad yang berbeda selama dalam persoalan yang menjadi wilayah ijtihad ulama dan bukan masuk ranah pokok akidah, ibadah dan syariah yang konstan dan solid sebagai ciri Islam sbg agama wahyu yang otentik dan final. Ruang wilayah ijtihadi apalagi terkait fenomena alam spt hilal mesti perhatikan kaidah ilmiah sains selain kaidah ijtihad yang sudah baku.
6) Perbedaan hasil ijtihad adalah kekayaan khazanah intelektual umat Islam yang patut disyukuri, bukan untuk diratapi atau disesali. Sebab itulah berlaku kaidah suatu ijtihad yang sah tidak boleh dibatalkan oleh ijtihad lainnya dan jika seorang mujtahid benar maka ia mendapat 2 pahala dan jika keliru maka ia mendapat 1 pahala. Penyelesaian ikhtilaf dalam masalah ijtihadi dikembalikan kepada sikap toleransi otentik dan rendah hati untuk menghargai dan menerima perbedaan itu dengan lapang dada, bukan dengan menuding pihak lain tidak mau diselesaikan (baca: diseragamkan) dan ingin dilestarikan.
7) Berapa banyak hasil ijtihad Khalifah Umar bin Khattab yang akhirnya menjadi kaidah beragama dan kebijakan Khalifah Usman bin Affan menyatukan mushaf Quran yang awalnya ditentang karena dianggap baru dan tak pernah ada di zaman Rasulullah hidup akhirnya menjadi ijma ulama dan umat Islam. Jangan kuatir dan takut berlebihan menyikapi hasil ijtihad suatu generasi. Karena itu tidak akan mengubah dan merusak pondasi-pondasi utama bangunan Islam, namun justeru semakin mempercantik dan memperindah Islam dari waktu ke waktu dengan kekokohan dan kekenyalan/elastisitas yang sesuai dengan perkembangan sains dan iptek. Wallahu a’lam
By Fahmi Salim
Dai, Penulis dan Founder Al-Fahmu Institute, Pusat Dakwah Qur’an Jakarta.