Afghanistan Inginkan Persatuan Seperti Ulama Muhammadiyah & NU


YOGYA – Apresiasi tinggi diberikan ulama Afghanistan pada ulama-ulama di Indonesia. Hal ini dikarenakan ulama-ulama Indonesia baik itu dari kalangan Muhammadiyah atau pun Nahdlatul Ulama, bisa saling bersinergi dan bersatu mendukung pembangunan di Indonesia. Keberhasilan dari ulama-ulama Indonesia dalam menjalin kekuatan untuk bersatu ini pun menarik perhatian para ulama Afghanistan. Untuk itulah mereka pun berharap dan menginginkan agar ulama-ulama Afghanistan juga bisa bersatu seperti ulama-ulama di Indonesia.

Hal itulah yang menjadi benang merah pada acara diskusi antara delegasi ulama Afghanistan (People’s Voter Education Networks) dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Diskusi sekaligus kunjungan yang dilakukan pada Selasa (5/5) ini mengangkat masalah praktik toleransi, pluralisme, gender, dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, dan diselenggarakan di ruang sidang komisi, AR. Fachruddin A lantai 5 Kampus Terpadu UMY. 
Salah seorang delegasi ulama Afghanistan tersebut, Abdul Halim Wardak bin Abdul Samad, yang juga merupakan Member of Ulamas Council memaparkan bahwa sejak Afghanistan lepas dari pendudukan tentara Uni Soviet, kondisi Afghanistan selalu mengalami peperangan antar suku. Karena masing-masing suku atau kelompok di negara Afghanistan sudah mulai mementingkan kepentingannya sendiri. “Ini juga karena setelah Uni Soviet, banyak negara-negara asing yang punya kepentingan lain pada Afghanistan. Banyak negara asing yang ingin merebut Afghanistan. Akibatnya, sekarang yang terjadi adalah permusuhan antar suku,” paparnya.
Selain itu, menurut Abdul Halim Wardak lagi, rakyat Afghanistan yang saat ini masih sulit untuk bersatu itu juga dikarenakan adanya campur tangan negara asing. Bahkan, ulama-ulama Afghanistan pun ikut terpecah menjadi tiga macam ulama, yakni ulama ulama yang membela pemerintah, ulama yang membela Taliban, dan ulama yang hanya diam di rumahnya tanpa membela pihak mana pun. Karena itu, dirinya beserta ulama-ulama yang ikut hadir dalam kunjungan tersebut selalu berdoa dan berharap agar semua ulama Afghanistan bisa bersatu. “Sekarang pemerintah baru Afghanistan sedang berjuang dan sering melakukan diskusi dengan Taliban agar bisa bersatu dengan pemerintah. Dan Alhamdulillah Taliban sudah mau mendirikan kantornya bersama pemerintah,” jelasnya.
Sementara itu, Hilman Latief, S.Ag., M.A., Ph.D, kepala LP3M UMY mengatakan, Indonesia memang merupakan negara yang multikultural. Agama resmi yang diakui oleh pemerintah pun ada enam, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Itu pun masih belum termasuk agama-agama lokal yang tidak diakui secara resmi oleh pemerintah. “Namun dengan banyaknya perbedaan dan keberagaman itu, bukan berarti tidak ada konflik atau masalah yang dihadapi. Indonesia sendiri juga pernah mengalami konflik antar agama. Akan tetapi, semua ulama dan tokoh agama di Indonesia secara umum, tetap mendorong bagaimana untuk menciptakan perdamaian. Dan organisasi Islam yang penting seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama itulah yang menjadi pilar dalam mempromosikan perdamaian,” paparnya.
Hal terpenting lainnya, imbuh dosen Fakultas Agama Islam UMY ini lagi, ulama-ulama Indonesia memiliki peran yang cukup besar dalam mendorong proses pembangunan, pendidikan dan kesejahteraan sosial negara Indonesia. Ulama-ulama Indonesia juga menjadi partner utama pemerintah dalam program pembangunan termasuk keluarga berecana. “Selain itu, keterlibatan ulama juga sangat besar dalam menciptakan proses demokratisasi di Indonesia, khususnya pada masa pemilu. Karena itulah, ulama-ulama Indonesia tetap menjadikan toleransi sebagai kunci utama dan mendorong pluralisme (pengakuan atas keberagaman) sebagai sesuatu yang harus dipromosikan secara bersama. Karena bagaimana pun juga, Islam itu adalah agama yang damai. Dan itu yang sekarang sedang dikampanyekan oleh kami di Indonesia,” ungkapnya. 
Adapun delegasi ulama Afghanistan yang ikut serta pada kunjungan dan diskusi ini sebanyak 20 orang. Mereka adalah ulama-ulama dari perwakilan Imam dan Khatib Masjid, ulama dari Kementerian agama Afghanistan, kementerian pendidikan Afghanistan, aktivis sosial keagamaan, dosen, serta perwakilan dari The Asia Foundation. Kedatangan mereka ke Indonesia kali ini sejak 28 April hingga 8 Mei 2015 tidak hanya ke Jogjakarta saja tetapi juga ke Jakarta, Cirebon, dan Semarang, dengan tujuan untuk melihat dan berdiskusi lebih dekat mengenai praktik keberagamaan di Indonesia, baik itu dari segi toleransi, pluralisme, gender, dan penegakan hak asasi manusia. (sp/muhammadiyah.or.id)