Pidato Megawati : “Sekali Muhammadiyah, Tetap Muhammadiyah”

Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA: “Saya ingin memesankan kepada seluruh keluarga besar Muhammadiyah, marilah kita memantapkan hati untuk tetap ber-Muhammadiyah”.
Saya ingat Ibu Megawati Soekarno Putri pernah berpidato dalam sebuah acara wisuda di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sudah selazimnya beliau berceramah kurang lebih selama setengah jam menggunakan teks. Tetapi, kemudian beliau berceramah menjadi satu setengah jam lamanya karena beliau mengatakan di luar teks yang dibacanya. Justru yang menarik di sini adalah apa yang disampaikan di luar isi teks itu. Sampai-sampai beliau banyak mengungkap soal Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan kakeknya yang juga seorang konsul Muhammadiyah. “Seperti kata Bung Karno, sekali Muhammadiyah, tetap Muhammadiyah!” tegas Ibu Mega di ujung ceramahnya.
Saya makin tertarik dengan apa yang kita hadapi akhir-akhir ini. Sekalipun kita belum punya data statistiknya, tetapi katanya banyak orang Muhammadiyah yang dulu aktif, bahkan tidak hanya sebagai anggota tetapi juga sebagai pimpinan, sekarang menampilkan “loyalitas ganda.” Dia cinta Muhammadiyah, tetapi pada saat yang bersamaan juga cinta terhadap yang lain. Ibarat seorang suami yang memiliki istri dua.
Kalau “loyalitas ganda” disebabkan karena tertarik, apalagi jatuh hati atau terpesona — saya sering menggunakan istilah sales-sales ideologi yang bertebaran di mana-mana, maka silahkan saja. Dalam agama saja la ikraha fi ad-din, begitu juga dalam Muhammadiyah, la ikraha fi al-Muhammadiyah. Seandainya banyak anggota yang keluar dari Muhammadiyah, maka kita akan mencari anggota yang baru. Kita jelas akan mencari kader-kader yang baru. Tetapi, kalau mereka yang memiliki “loyalitas ganda” tetap berada di Muhammadiyah, maka itu sangat berbahaya.
Saya pernah mengalami sendiri ketika sedang menyampaikan taushi’ah seperti sekarang ini. Pada waktu itu, tidak arif rasanya kalau saya berceramah terlalu panjang, karena waktu menjelang Dhuhur. Saya langsung mengadakan cerdas cermat untuk tingkat SD, SMP, dan SMU. Pertanyaan untuk tingkat SD dan SMP tidak terlalu sulit. Tetapi pertanyaan untuk tingkat SMU agak tinggi. Pertanyaannya pada waktu itu adalah: “Apakah tujuan Muhammadiyah?”
Saya merasa kaget ketika mereka menjelaskan tujuan Muhammadiyah. Jawaban dari pertanyaan itu tidak ada satupun yang sesuai dengan AD/ART Muhammadiyah. Bahkan, ada yang berusaha menjawab bahwa, tujuan Muhammadiyah ialah: “Membina kader yang beriman dan berakhlak….”
Mendengar jawaban mereka yang tidak satupun yang sesuai dengan AD/ART Muhammadiyah, saya lantas bertanya kepada para guru yang mengampu pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Seorang ibu guru lantas mengomentari bahwa, jawaban tersebut adalah salah. Ibu guru ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut: “Tujuan Muhammadiyah adalah sebuah gerakan Islam untuk amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka menegakkan keadilan dan menyejahterakan untuk rakyat dan bangsa Indonesia….”
Mendengar jawaban dari ibu guru pengapu mata pelajaran Al-Islam dan ke-Muhammadiyahan yang tidak sesuai dengan AD/ART Muhammadiyah, saya lantas bertanya kepada ketua Cabang Muhammadiyah setempat. Sementara ketua PDM-nya saya lihat tidak dapat menyembunyikan kemarahannya. Pada saat itulah ketua cabangnya mengaku bahwa, banyak guru ke-Muhammadiyahan yang dari luar Muhammadiyah mengajarkan ajaran yang lain di sekolah Muhammadiyah.
Bagi kita, ini semua ada hikmahnya. Segera setelah kita sadari, PP Muhammadiyah langsung mengadakan pertemuan membicarakannya berkali-kali sampai kemudian keluar SK yang bertujuan untuk mengantisipasi masalah ini. Walaupun ada yang setuju dan ada pula yang menolaknya, tetapi, ini semata-mata merupakan bentuk rasa tanggungjawab untuk mempertahankan keutuhan Muhammadiyah.
KH. Ahmad Dahlan sendiri pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali menduakan Muhammadiyah.” Saya sendiri tidak membaca semua buku-buku sejarah tentang KH. Ahmad Dahlan. Malah saya baru mendengar kata-kata ini. Tetapi, kira-kira maksud kata-kata KH. Ahmad Dahlan ini adalah, “Jangan menyelingkuhi Muhammadiyah.”
[Disarikan dari Kolom Tawasuth dalam Suara Muhammadiyah]