Perlu Pembinaan MUI Mengenai Materi Dakwah di TV

Dai bermunculan di layar kaca. Mereka menyuguhkan ceramah yang menjangkau audiens sangat luas. Ada yang benar-benar berilmu, ada pula yang sarat guyonan. Karena itu, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin mendesak umat Islam bersikap cerdas.
Ia mengaku, di sebuah program dakwah televisi, ada dai atau pembawa acaranya yang memang memikat. Namun, mestinya ini tak membuat umat Islam terbuai. Mereka dituntut mampu membedakan mana dakwah sarat isi atau sekadar tontonan.
Kalau mau bersikap selektif dan punya prinsip, jika ada tayangan dakwah yang hanya menyuguhkan guyonan, tentu televisi akan dimatikan. Saat hal itu dilakukan secara massal, tentu dengan sendirinya rating atau peringkat acara itu rendah.
“Jadi, sekarang tergantung sepenuhnya pada masyarakat,” kata Din pada sela Halaqah Penguatan Dakwah dan Pendidikan Islam di Televisi, Selasa (1/4).

Sebenarnya, program dakwah di televisi bisa efektif. Sebab, dakwah yang ditampilkan dengan gambar berefek membius.
Mungkin menarik karena menyenangkan. Maka, ketika itu dimanfaatkan jadi medium dakwah, sangat bagus. Menurut Din, untuk mengatasi tayangan dakwah yang hanya menonjolkan hiburan, harus menjadi perhatian banyak pihak.
Selain umat Islam, hal itu ditentukan pula pemilik televisi atau penentu kebijakannya. Apakah pemilik mau mengombinasikan tontonan dan tuntunan. Idealnya, pengelola televisi tidak melulu mengejar dan mementingkan rating.
Apalagi, MUI mempunyai keterbatasan menyampaikan imbauan kepada pengelola televisi. Mereka juga bukan pemilik televisi. “Kami tak bisa menentukan isi tayangan,” kata Din. Untuk mengatasi persoalan ini, ia mendorong adanya kode etik.
Kode etik tersebut memberi batasan mana yang boleh dan tidak boleh. Tapi, menurut Din, membuat kode etik bukan ranah MUI, melainkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Wakil Ketua KPI Idy Muzayyad mengapresiasi munculnya program dakwah di televisi.

Menurut dia, tak seluruh acara dakwah jelek. “Ada juga yang bagus,” kata dia. Tantangannya, menyajikan dakwah yang bermartabat.
Ia menuturkan, program dakwah di televisi tidak berdiri tunggal. Semua pihak, termasuk juru kamera, juga pelaku dakwah.
Menurut dia, dakwah di televisi memang sangat bertumpu pada pengemasannya. Titik kritisnya, pada kombinasi materi dakwah berbobot dan kemasan yang menarik. “Dalam hal ini, perlu ada pembinaan dari MUI. Kami mendukung langkah semacam itu,” kata Idy.
Ia menambahkan, pada tahun lalu tayangan dakwah di televisi sudah bagus. Ia ingin jangan sampai ada kecolongan.

Maknanya, tak ada acara dakwah televisi yang semangatnya bertentangan dengan Islam. Soal rating, ia tidak tak mengelak sistem itu memang menjadi acuan.
Namun, seharusnya rating tak menjadi satu-satunya tolok ukur sebuah acara. Menurut dia, perlu sebuah forum agar dakwah di televisi bagus.

Forum ini berisi para dai, produser program religi, MUI, dan KPI. “Ini akan menjadi wadah pembinaan bersama,” ujar Idy.
Tujuannya agar ada persamaan persepsi mengenai esensi dakwah. Sebab, televisi itu ruang publik yang jangkauannya luas.

Pemirsanya juga beragam. Ia mencontohkan, tayangan dakwah yang mengandung kevulgaran dan hal khilafah sebaiknya dihindari.
Kalaupun tetap ditampilkan, harus memuat argumentasi yang berimbang. Forum ini telah terbentuk diketuai oleh Ustaz Yusuf Mansur. Pengurusnya berjumlah 10 orang.
Produser Eksekutif Departemen News Religi TV One M Agung Izzulhaq menyambut baik pembentukan forum itu. Menurut dia, forum itu bisa menjadi semacam regulator bagi tayangan dakwah di televisi. “Tayangan harus diawasi,” kata dia.
Nantinya bisa diputuskan mana pola yang layak tampil dan tidak. Ini juga bisa melibatkan perguruan tinggi. Ada batasan yang jelas, mana dai yang boleh tampil atau tidak. 
Wakil Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin memimpikan program dakwah televisi yang terus membaik. Sebab, menurut Ma’ruf, dakwah yang paling efektif dilakukan melalui media.[sp/republikaol]