Sholat Sebagai Alat Komunikasi

Sholat bukan hanya sekadar ritual ibadah, tetapi juga memiliki pengaruh positif yang besar terhadap akhlak manusia. Melalui salat, hati manusia menjadi sejuk dan memberikan cahaya bagi orang-orang yang beriman, sehingga menghasilkan kebahagiaan dalam jiwa mereka. Salat merupakan cara bagi umat Muslim untuk memohon ampunan, petunjuk, dan keberkahan, serta menunjukkan ketaatan dan ketundukan kepada Allah. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa salat adalah sarana komunikasi umat Muslim dengan Allah.

Artikel ini membahas pandangan Toshihiko Izutsu, seorang ahli semantik, tentang salat sebagai alat komunikasi antara manusia dan Tuhan. Toshihiko Izutsu, yang terkenal dengan terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jepang dan penelitian lintas agama, menyoroti elemen verbal dan nonverbal dalam salat yang mencerminkan hubungan timbal balik antara manusia dan Tuhan. Salat tidak hanya sekadar ritual ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk memohon ampunan, petunjuk, dan keberkahan.

Mengenal siapa Toshihiko Izutsu
Salah satu ahli semantik yaitu beliau Toshihiko Izutsu, lahir pada 4 Mei 1914 dan meninggal pada 1 Juli 1993, berasal dari keluarga kaya pemilik bisnis di Jepang. Sejak kecil, ia telah terbiasa dengan meditasi Zen dan teka-teki karena ayahnya yang merupakan seorang ahli kaligrafi dan praktisi Buddha Zen. Setelah lulus dengan gelar BA, ia mulai bekerja sebagai asisten penelitian pada tahun 1937. Pada tahun 1958, Izutsu menyelesaikan terjemahan langsung pertama Al-Qur’an dari bahasa Arab ke Jepang, yang terkenal karena keakuratannya dalam linguistik dan banyak digunakan dalam karya-karya ilmiah.

Izutsu menunjukkan bakat yang luar biasa dalam mempelajari bahasa asing, bahkan dapat menyelesaikan pembacaan Al-Qur’an dalam sebulan setelah memulai pembelajaran bahasa Arab. Selain menjadi seorang profesor universitas, Izutsu juga seorang penulis yang produktif, terutama dalam topik Islam dan agama-agama lainnya. Dia mengajar di berbagai institusi seperti Institut Linguistik Kebudayaan, Universitas Keio di Tokyo, Iran Imperial Academy of Philosophy di Teheran, dan McGill University di Montreal, Kanada.
Selain itu, Izutsu juga dikenal sebagai seorang profesor yang mahir berbicara dalam lebih dari 30 bahasa, dan penelitiannya melibatkan studi di berbagai wilayah termasuk Timur Tengah (khususnya Iran), India, Eropa, Amerika Utara, dan Asia. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pendekatan filosofis melalui perbandingan agama dalam studi linguistik teks-teks metafisik tradisional. Beberapa karyanya antara lain “Ethico-Religious Concepts in the Qur’an” (1966), “Concept of Belief in Islamic Theology” (1980), “God and Man in the Koran” (1980), “Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts” (1984), “Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy” (1994), “Toward a Philosophy of Zen Buddhism” (2001), dan “Language and Magic: Studies in the Magical Function of Speech” (1956). Izutsu juga terafiliasi dengan Keio Institute of Philological Studies.

Pandangan Toshihiko Izutsu tentang sholat sebagai alat komunikasi antara manusia dan Tuhan
Pandangan Toshihiko Izutsu tentang salat sebagai alat komunikasi antara manusia dan Tuhan menekankan sifat timbal balik dari komunikasi tersebut, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal. Contoh komunikasi verbal antara Tuhan dan manusia, seperti doa atau percakapan hati dengan Tuhan, seimbang dengan komunikasi nonverbal ilahiah, di mana manusia merespons dengan melakukan ibadah dan amalan agama seperti salat.
Salat dianggap sebagai salah satu bentuk komunikasi nonlinguistik yang mendalam dari manusia kepada Tuhan, sebagai ekspresi kekaguman terhadap Yang Mahakuasa. Izutsu menjelaskan bahwa salat melibatkan elemen-elemen verbal seperti membaca kitab suci dan pengucapan syahadat, namun penggunaan kata-kata dalam salat berbeda dengan doa. Dalam salat, kata-kata digunakan secara ritualistik dan bersifat simbolik.
Makna dasar salat dapat dipahami dari kata kerja salla, yang umumnya berarti “memohon karunia seseorang”, baik dalam literatur pra-Al-Qur’an maupun pasca-Al-Qur’an. Contoh yang menarik dari penggunaan kata ini dapat ditemukan dalam puisi pra-Islam. Penyair al-A’sha menggambarkan betapa hati-hatinya anggur disimpan dengan mengatakan: “Dan (penjual anggur) mengangin-anginkan anggur dalam sebuah kendi, kemudian memohon karunia atas itu dan meminta bantuan dari Tuhan (agar anggur itu tidak berubah menjadi masam).” Namun, yang lebih penting untuk tujuan kita adalah bahwa pada masa jahiliyah sudah ada kata-kata yang kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan konsep yang mendekati makna salat dalam Al-Qur’an. Misalnya, dalam sebuah syair yang disusun untuk memuji Kaisar Persia Anushirwan, Antarah meninggalkan bait-bait yang sangat menarik, yaitu “Semua raja-raja di muka bumi memberikan penghormatan kepadanya dari seluruh penjuru dunia (harfiahnya dari seluruh jalan lembah); semua orang di bumi menolehkan wajah ke arahnya.”

Penggunaan kata-kata umum dalam sajak dini sangat menarik karena mengacu pada titik di mana kita mengarahkan pandangan dan konsentrasi. Dalam konteks ini, kata tersebut sinonim dengan istilah penting dalam Al-Qur’an terkait salat, yaitu al-qiblah, yang secara teknis berarti arah yang harus dihadapi dalam ibadah. Menariknya, penyair yang sama menggunakan kata qiblah untuk merujuk kepada Kaisar Anushirwan.
Qussad adalah bentuk jamak dari qasid, yang berarti “seseorang yang bermaksud menuju sesuatu’ atau ‘seseorang yang bermaksud pergi ke arah sesuatu”. Oleh karena itu, kalimat tersebut yang ditujukan kepada Sang Kaisar berarti “Wahai engkau, arah tempat semua orang mengarahkan pandangannya, Wahai engkau, mahkota kemuliaan!”

Jelas bahwa meskipun isi salat dalam konteks ini berbeda dari salat dalam pengertian Islam, struktur formalnya tetap sama. Perbedaan utamanya adalah bahwa dalam konteks ini, qiblah tidak mengarah ke tempat suci di Mekah, melainkan ke istana Kaisar Persia. Selain itu, ibadah tersebut ditujukan untuk memuja kaisar, bukan Allah.

Penutup
Salat adalah inti dari praktik keagamaan dalam Islam, berfungsi sebagai sarana utama komunikasi dengan Allah. Toshihiko Izutsu menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan dalam konteks sejarah dan budaya, struktur formal salat tetap konsisten. Salat mengarahkan fokus dan konsentrasi umat Muslim kepada Allah, dengan qiblah sebagai simbol arah ibadah. Meskipun penggunaannya berbeda dalam konteks pra-Islam, esensi salat sebagai bentuk penghormatan dan pemujaan tetap serupa. Salat adalah manifestasi ketaatan dan keimanan, mencerminkan hubungan yang mendalam antara manusia dan Tuhan.

Ditulis oleh:
Adzra Octa Aulia
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta