Mengokohkan Poros Islam Berkemajuan Pasca Muktamar

Oleh Fahmi Salim Lc. MA.
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Periode 2015-2022

MUHAMMADIYAH lebih banyak berperan sebagai pemersatu dan pemberi makna bagi kemajuan bangsa dan seluruh umat manusia sebagai perwujudan risalah Nabi Muhammad SAW yang menebar rahmat bagi seluruh alam semesta. Inilah yang menjadi ruh Muhammadiyah sejak awal berdiri pada tahun 1912. Disebut dengan istilah “Islam Berkemajuan”, sebagaimana yang dipesankan oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. “Jadilah kyai yang berkemajuan dan jangan lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah,” begitulah dawuh Sang Kyai.

Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang digelar pada 18-20 Nopember 2022 di Surakarta kembali menjadi momentum untuk memperkokoh ruh Islam Berkemajuan yang pijakannya Al-Quran dan sunnah. Kemudian diterjemahkan dalam bentuk aksi ideal sebagai khoiru ummah (umat terbaik) dengan karakter wasathiyyah (moderat dan adil) dan syuhada ‘alan-naas (pelaku sejarah). Peran dan tanggungjawab ini terinspirasi dari pesan Ilahi mengajak pada kebajikan (al-da’wah ila alkhayr). melaksanakan amal kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf), dan mencegah kemungkaran (al-nahy ‘anil-munkar), sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an (Q.S. Ali ‘Imran :110). Dengan amaliyah inilah, Alloh menjanjikan kejayaan (Q.S. Ali ‘Imran: 104).

Isu keumatan menjadi salah satu isu strategis yang dibahas dalam Muktamar Muhammadiyah. Karena di era revolusi industri 4.0, semua lini kehidupan mengalami digitalisasi. Semuanya terkoneksi melalui jaringan internet dan tersimpan dalam Big Data. Konsep masyarakat baru juga dipromosikan oleh Jepang dengan istilah Society 5.0. yaitu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia berkolaborasi dengan teknologi berupa IoT (Internet of Things) dan AI (Articial Intelligence). Semuanya terintegrasi antara ruang maya dan fisik untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial

Karena itulah, masyarakat mengalami banyak perubahan mulai dari gaya hidup, cara bekerja hingga cara belajar seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Jika mereka berubah, kita pun harus ikut berubah dengan menyusun strategi dakwah terbaru tanpa melepaskan Manhaj Islam Berkemajuan (al-Islam al-Taqaddumi). Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber utama, yang penggalian maknanya dilakukan dengan memanfaatkan akal, warisan intelektual, dan ilmu pengetahuan tanpa terikat pada mazhab tertentu.

*Fenomena Dakwah Urban*

Masyarakat urban atau perkotaan sudah melek dengan teknologi informasi. Kehidupan mereka tak lepas dari gadjet. Bahkan, untuk mendapat pengetahuan agama pun, mereka memanfaatkan kanal-kanal yang disediakan dunia maya. Sumber-sumber literasi keislaman diperoleh melalui perangkat-perangkat teknologi informasi seperti media sosial (youtube, facebook, instagram, tiktok, twitter), situs-situs Islam atau sumber-sumber digital lainnya. Mereka pun lebih suka berteman dengan menggunakan jejaring sosial daripada melalui tatap muka. Sedikit yang mau berguru secara langsung dengan para kyai atau ustadz dengan membaca langsung kitab-kitab turots. Tak salah jika disebut ruang digital menjadi medan pertarungan simbol, gagasan atau pemikiran keagamaan. Yang menjadi penguasanya ditandai antara lain dengan seberapa banyak follower dan viewer-nya.

Ustadz yang sering tampil di ruang digital akan merebut pasar dakwah, terutama di kalangan milenial. Tampilan dengan penyampaian yang menarik, kreatif, unik dan inspiratif lebih disukai daripada mempertimbangkan latar belakang keilmuan dan lingkungan sosial-keagamaannya yang otoritatif, seperti dari Muhammadiyah, NU atau PERSIS. Apakah ini indikasi bergesernya otoritas lembaga keagamaan di masyarakat? Tentu saja, terlalu sederhana untuk menyimpulkan bahwa otoritas ormas-ormas Islam sudah melemah dan digantikan oleh ustadz-ustadz yang menguasai ruang digital. Meski demikian, fenomena ini tidak boleh disepelekan dan harus direspon dengan bijak

Kita harus bersikap jujur bahwa segmen dakwah masyarakat urban ini berhasil direbut oleh sebagian kelompok salafi karena mereka mampu memasuki ruang-ruang digital yang terbuka luas ini dengan berbagai tawaran menarik. Sementara banyak mubaligh Muhammadiyah hanya berselancar di masjid-masjid dan komunitasnya. Padahal, Muhammadiyah sebagai ormas terbesar harus mampu menyiarkan kadernya untuk merangkul semua kalangan, termasuk kaum milenial. Hanya sedikit yang siap melakukan penetrasi dakwah secara rutin dan konsisten dengan menyajikan ceramah yang segar, aktual, ringan dan menginspirasi. Karena itu, tak ada pilihan lain, para mubaligh Muhammadiyah harus berani tampil dengan memanfaatkan teknologi digital.

*Darimana Kita Mulai?*

Gerakan keumatan ini harus dimulai dari masjid. Muhammadiyah yang memiliki ribuan masjid di berbagai daerah harus menjadi inspirasi untuk pemberdayaan dan pembangunan akhlak masyarakat, termasuk dalam kesalehan digital. Karena, masjid bukan sekedar tempat shalat berjamaah, juga menjadi pusat kegiatan ilmu dan jaring pengaman sosial. Jika ada warga masyarakat yang tengah ditimpa berbagai musibah, misalnya kegoncangan mental, keretakan rumah tangga hingga kesulitan ekonomi maka datanglah ke masjid.

Perjalanan sejarah Islam menunjukan bahwa masjid menjadi pusat peradaban dan kemajuan. Karena, dari masjid terbukalah pintu-pintu keberkahan dan terpancarlah cahaya Alloh, sebagaimana disebutkan dalam firman Alloh Ta’ala, yang artinya: “(Cahaya itu) di rumah-rumah yang disana telah diperintahkan Alloh untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS An-Nur: 36)

Kegelisahan sebagian warga Muhammadiyah karena ada masjid milik persyarikatan dikuasai oleh kelompok salafi seharusnya menjadi muhasabah bagi kita, karena bisa jadi kita kurang memuliakan dan memakmurkan masjid. Jika marbot masjid Muhammadiyah memilih fatwa dari kelompok salafi daripada Majelis Tarjih dan Tajdid, jangan-jangan fenomena ini juga terjadi di berbagai tempat lain.

Bagi Muhammadiyah, perbedaan pemahaman keagamaan adalah hal biasa. Muhammadiyah adalah ormas yang terbuka dan mengajarkan warganya untuk saling menghormati dalam ragam perbedaan ini kemudian menjunjung tinggi ukhuwah. Namun, jika Ketua Umum PP. Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir mengajak kita kita untuk meneguhkan ideologi gerakan Muhammadiah seperti yang ditulis dalam bukunya, sesungguhnya tidak sedang membangun ketertutupan dan berhadapan dengan pihak lain, lebih-lebih secara konfrontatif. Tapi, Muhammadiyah sedang menata dan mengurus rumah tangganya sendiri agar kokoh dan tidak diganggu siapapun yang membuat gerakannya lemah dan centang perenang.

Benarkah salafisme menguat di Muhammadiyah? Sampai-sampai Menkopulhukham Prof. Mahfud MD sempat membuat pernyataan bahwa salafi wahabi tidak cocok tumbuh di Indonesia dan memperingatkan Muhammadiyah dan NU agar berhati-hati supaya masjidnya tidak direbut oleh kelompok salafi ini. Tentu saja, kita patut bertanya, siapa salafi yang dimaksud?

Berbeda dengan berbagai ormas Islam yang memiliki sejarah panjang dengan amal usahanya, perkembangan salafi di Indonesia sangat terikat dengan keberadaan tokohnya. Perbedaan pandangan tokohnya memicu konflik hingga perpecahan. Karena, varian salafi di Indonesia begitu banyak. Untuk mengidentifikasinya tak cukup dengan melihat tampian fisik, misalnya berjenggot, celana cingkrang atau wanitanya mengenakan cadar. Yang terpenting kita harus mengenal cara berpikir dan pandangan keagamaannya, apakah membahayakan ukhuwah dan persatuan umat?

Karena, bisa jadi salafi bertransformasi menjadi neo-murjiah. Salah satu pemahamannya, misalnya mereka kerap mencela dan menuduh sesat kelompok Islam di luar dirinya dengan mengatakan sebagai ahli bid’ah dan menyalahi sunnah. Bahkan, mereka mencela ulama sekelas Syekh Yusuf Qordhowi. Mereka menutup diri dan tidak mau menjalin silaturahmi dengan organisasi dakwah lainnya. Karena, organisasi dianggap menyalahi syariat karena menyuburkan sektarianisme atau hizbiyyah. Dokrin al wala’ wal bara’ begitu kuat dan salah alamat karena yang dihadapi sesama muslim.

*Dari Rezimentasi Hingga Liberalisasi*

Munculnya kelompok salafi yang sporadis ini sering memicu reaksi yang berlebihan. Mereka sering digeneralisasi tanpa klarifikasi dan dialog yang menyejukan. Tuduhannya karena sering membid’ahkan dan mengganggu pemahaman dan tradisi keagamaan yang sudah mapan. Hingga gerak dakwah mereka dibatasi di berbagai tempat yang berimbas ke Muhammadiyah dengan stigmatisasi wahabi. Keragaman pemahaman keagamaan harus disikapi dengan hikmah dan nasehat yang baik. Karena itulah, Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Haedar Nasir pernah mensinyalir ada yang merasa mazhabnya besar dan ingin menguasai seluruh umat dan negara.

Fenomena rezimintasi paham agama tentu membahayakan bagi kemajemukan yang selama ini menjadi mozaik bangsa Indonesia. Menurut Haedar, Indonesia ini dibangun di atas fondasi persatuan semua. Di negara dengan kemajemukan yang tinggi perbedaan pandangan yang sifatnya cabang bukan pokok itu menjadi suatu yang biasa, saling tasamuh. Tidak boleh saling menyesatkan, merasa kelompoknya yang paling benar dan yang lain salah. Kecenderungan beragama dan bernegara atas nama paham agama yang dominan dan monolitik tersebut tidak positif bagi kehidupan beragama dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Perbedaan paham dalam cabang agama (furu’iyyah) biasa terjadi di kalangan para ulama dan diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi, ada perbedaan paham yang tidak boleh ditoleransi, yaitu yang membongkar keyakinan dasar (ushul) dalam Islam. Seperti halnya Ahmadiyah, Syiah Rofidhoh, dan paham Liberalisme yang mengatasnamakan berfikir kritis, toleransi dan moderasi beragama lalu memperkenalkan tafsir Al-Qur’an dengan metode hermeunetika. Bahayanya karena berimplikasi mengikuti cara pandang bahwa Al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab dan sudah menjadi produk budaya (muntaj thaqafi). Karena itu, Al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan. Inilah yang tentu saja membuat kita prihatin. Karena, awal dari kehancuran ketika sudah meninggalkan Al-Quran sebagai pedoman hidup Islami dan bermuhammadiyah.

Hemat saya nakhoda kepemimpinan Muhammadiyah yang terpilih esok harus mampu menyelamatkan poros Islam Berkemajuan dari 3 macam rongrongan ideologis di atas, untuk memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta. Wallohu a’lam