
Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye dan atas undangan pengelola. Hal ini termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023). Keputusan MK tersebut mendapat tanggapan dari Dosen FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar. Pertama, ia menakankan bahwa ada kebutuhan nyata untuk terlebih dahulu melakukan pendefinisian tentang apa yang dimaksud dengan kampanye itu, khusus kampanye untuk lingkungan kampus dengan audens civitas akademika.
Menurut Shohibul, aksentuasi dari definisi itu harus menunjukkan urgensi pembahasan mendalam secara akademik ilmiah atas gagasan seseorang (calon presiden/calon wakil presiden, calon anggota DPD, atau sesuatu partai) yang menjadi kompetitor dalam pemilu. Sifatnya pertemuan di dalam ruangan. “Tidak diperlukan kisi-kisi seperti debat capres yang terlanjur dibikin sangat rendah literasi, mirip cerdas-cermat anak sekolah itu,” ujar Ketua Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut ini, Rabu (23/8).
Seharusnya, lanjut Shohibul, semua perbincangan didasarkan pada elaborasi atas cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: (1) Memastikan segala bentuk penjajahan dihapus dari permukaan bumi;
(2) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah; (3) Memajukan kesejahteraan umum; (4) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (5) Proaktif dalam mengupayakan perdamaian global.
Kedua, peserta tidak dikehendaki beroleh keleluasaan memperagakan kesan show of force, misalnya dengan membawa banyak pendukung. Karena itu perlu dibatasi kapasitas rombongan maksimum 5 orang.
Ketiga, karena kampanye di lingkungan kampus hanya bertujuan untuk membahas gagasan, maka tidak diperlukan suasana yang mirip pertandingan alat peraga kecuali sebatas audio visual aid dalam ruangan pertemuan
Keempat, publikasi media pra dan pasca event kampanye tidak boleh dibebaskan sesuai kehendak oligarki di belakang peserta atau peserta yang berkelimpahan uang. “Sebab mereka semua menggunakan public space. Tak diperkenankan praktik penjajahan dalam implementasi pemanfaatan media. Mereka tak boleh sewenang-wenang menggunakannya dan yang dalam praktiknya dapat membuat peserta tertentu seolah tak dihitung karena tenggelam oleh kedigdayaan peserta tertentu lainnya,” tegas Shohibul. “Ini juga dimaksudkan untuk tujuan melindungi kampus agar jangan terkesan ‘sudah dibeli’ atau ‘sudah disubordinasikan’ atau “sudah dikapitalisasi secara serampangan oleh peserta tertentu,” tambahnya.
Kelima, pengaturan waktu yang sebaiknya dimanfaatkan pada akhir pekan dan durasi yang proporsional. Misalnya jika peserta adalah 3 (tiga) Capres, alokasikan waktu pembukaan 15 menit, pemaparan ketiga peserta 45 menit, pemberian respon dari audiens paling lama 30 menit dan pemberian jawaban dari ketiga peserta paling banyak 45 menit.
Keenam, kampus diberi keleluasaan untuk menentukan apakah: (1) akan menggelar kampanye atau tidak;
(2) akan hanya menggelar kampanye untuk Capres (semua capres wajib diundang); atau (3) akan hanya menggelar kampanye untuk calon anggota DPD (semua calon wajib diundang); atau (4) akan hanya menggelar kampanye untuk partai (semua partai wajib diundang); atau (5) akan menyelenggarakan kampanye untuk semuanya dengan penjadwalan yang sebaik-baiknya.
Ketujuh, biaya pelaksanaan kampanye ditetapkan sama secara nasional dan diambil dari dana APBN yang sudah dialokasikan untuk pemilu melalui KPU.
“Itulah beberapa poin yang perlu dipertimbangkan. Hal-hal lain dapat didiskusikan dengan berbagai stakeholder,” sebut Shohibul. Shohibul mengatakan, sebenarnya kampanye di kampus adalah sebuah kemajuan besar dalam demokrasi Indonesia. Di kampusnya sendiri (UMSU) Shohibul mengungkapkan ia pernah menyelenggarakan kampanye pada pemilu 1999 dengan menghadirkan semua partai. “Waktu itu ada partai yang tidak mengutus wakilnya bukan karena faktor kesulitan yang datang dari kampus,” katanya.
Diketahui, MK mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye dan atas undangan pengelola. Hal ini termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Dalam perkara itu, dua orang pemohon, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, menilai ada inkonsistensi aturan terkait aturan itu dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Larangan kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah tercantum tanpa syarat dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h. Namun, pada bagian Penjelasan, tercantum kelonggaran yang berbunyi, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Jika pengecualian itu diperlukan, maka seharusnya ia tidak diletakkan di bagian penjelasan. Sebagai gantinya, pengecualian itu dimasukkan ke norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, kecuali frasa “tempat ibadah”. “Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, ‘(peserta pemilu dilarang, red.) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu’,” bunyi putusan itu. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai bahwa pengecualian tersebut sudah diatur sejak UU Pemilu terdahulu.
Lantas, mengapa tempat ibadah tetap tidak diberikan pengecualian sebagai tempat kampanye meski atas undangan pengelola dan tanpa atribut kampanye? “Larangan untuk melakukan kegiatan kampanye pemilu di tempat ibadah menjadi salah satu upaya untuk mengarahkan masyarakat menuju kondisi kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai ketuhanan berdasarkan Pancasila di tengah kuatnya arus informasi dan perkembangan teknologi secara global,” tulis putusan itu. (Tajdid/Red)