Mengenal Istilah Kristen Muhammadiyah (KrisMuha)

Muhammadiyah menjadi buah bibir dalam sepekan terakhir menyusul munculnya varian Kristen Muhammadiyah (KrisMuha). Namun sebelum heboh soal Kristen Muhammadiyah, ormas islam Nahdlatul Ulama (NU) sudah lebih dahulu memperkenalkan istilah NU Cabang Nasrani.

Kristen tetapi Muhammadiyah atau NU tetapi Nasrani? Begitu pertanyaan berbasis logika yang mungkin muncul ketika mendengar atau membaca frasa Kristen Muhammadiyah dan NU Cabang Nasrani. Persamaan dari istilah unik dari dua organisasi Islam besar di Indonesia itu lebih bernada “promotif” dari suatu fakta sosiologis menyejukkan mengenai relasi antaragama di Indonesia. Bisa dibilang kedua istilah tersebut adalah ekspresi kegembiraan dari hubungan antara umat Islam dengan pemeluk agama lain direpresentasikan oleh Kristen, yang sangat cair alias jauh dari ketegangan

Dalam beberapa ilmu fiqih, warga Muhammadiyah dan NU kerap berbeda jalan. Muhammadiyah lahir sebagai gerakan tajdid atau pembaruan dan pemurnian mengusung misi utama membersihkan tauhid umat Islam. Muhammadiyah datang untuk membersihkan tauhid umat dari penyakit takhayul, bid’ah, dan kurafat (TBC). Sementara NU yang merupakan gerakan tradisionalis mengambil jalan yang lebih akomodatif terhadap praktik ibadah yang kerap bercampur dengan tradisi di masyarakat, khususnya Jawa, Hindu, dan Budha.

Contoh perbedaan yang melahirkan diskusi alot adalah praktik tahlilan dan tradisi nyekar ketika menjelang Ramadhan atau Lebaran yang merupakan praktik umum dalam tradisi NU. Sementara warga Muhammadiyah tidak mengenal tahlilan dan tidak mengkhususnya nyekar atau ziarah kubur menjelang Ramadhan atau Idul Fitri. Contoh lain adalah penggunaan doa Qunut ketika sholat Subuh. Orang NU menganggap Sholat Subuh harus membaca doa Qunut, sementara warga Muhammadiyah tidak mengamalkan doa Qunut.

Munculnya Kristen Muhammadiyah dianggap provokatif bagi sebagian pihak, karena dinilai bisa menggoyangkan azas paling dasar dari misi dakwah Muhammadiyah sebagai gerakan tauhid. Pasalnya, Kristen Muhammadiyah terkesan peleburan dari praktik sinkretis Kristen dan Muhammadiyah. Padahal, Kristen Muhammadiyah bukan varian teologis, melainkan sekadar varian sosiologis tentang munculnya fenomena siswa atau mahasiswa yang beragama Kristen tetapi bersekolah atau kuliah di sekolah atau kampus milik Muhammadiyah.

Mengenai istilah Kristen Muhammadiyah atau Krismuha, kembali mengemuka saat acara bedah buku “Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan” yang digelar di Jakarta, Senin (22/5/2023). Istilah Krismuha sebenarnya sudah cukup lama muncul, tetapi kembali menggema bersamaan dengan penerbitan buku berjudul sama tapi lebih diperkaya data. Mahasiswa-mahasiswi pemeluk Kristen yang kuliah di perguruan tinggi Muhammadiyah, zaman dulu, juga kerap dijuluki Krismuha. Buku itu merupakan rangkuman dari hasil penelitian yang dilakukan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti yang juga guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Fajar Riza Ulhaq.

Buku ini bukan menggambarkan fenomena sinkretisme atau pencampuran agama antara Kristen dengan Islam, melainkan hanya mengungkap fenomena sosial mengenai toleransi di daerah-daerah terpencil di Indonesia, yang menjadi basis penelitian, terutama di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).

Gambaran mengenai kedekatan umat Kristen yang kemudian bersimpati pada praktik-praktik amaliah sosial Muhammadiyah itu, seperti di Ende Nusa Tenggara Timur (NTT), Serui (Papua), dan di Kalimantan Barat. Ketua LKKS PP Muhammadiyah, Fajar Riza Ulhaq menjelaskan fenomena munculnya varian KrisMuha dapat dijelaskan oleh adanya interaksi yang intens antara siswa-siswa Muslim dan Kristen dalam lingkungan pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Namun, perlu dicatat interaksi tersebut tidak menghilangkan identitas mereka sebagai penganut agama Kristen yang taat. “Kami tidak menduga ketertarikan dan antusiasme masyarakat (pembaca) terhadap karya ini masih sedemikian besar hingga saat ini, meskipun buku ini pernah diterbitkan 2009 silam. Inilah kontribusi Muhammadiyah dalam membangun generasi Indonesia yang lebih toleran, inklusif, dan terbiasa hidup bersama dalam perbedaan,” ucap Fajar.

Lewat buku ini Muhammadiyah yang didirikan ulama besar KH Ahmad Dahlan itu ingin terus membangun generasi Indonesia yang lebih toleran, inklusif, dan terbiasa hidup bersama dalam perbedaan. Bagi Abdul Mu’ti, istilah Kristen Muhammadiyah itu merupakan varian sosiologis yang merupakan lukisan alam sosial negeri kita bahwa Umat Kristen atau Katolik itu bisa hidup damai, layaknya saudara. Karena itu, umat Kristen atau Katoklik yang bersimpati pada Muhammadiyah bukan menjasi anggota dari organisasi tersebut.

Kalau dalam konteks lain ada istilah fenomena gunung es, fakta mengenai Kristen Muhammadiyah dan NU Cabang Nasrani ini menunjukkan gejala demikian. Di banyak tempat, tentu banyak pula agama selain Islam, baik dalam organisasi maupun perorangan, yang juga menjadikan Umat Islam sebagai saudaranya. Umat Islam ikut mengenyam pendidikan di lembaga yang dikelola Kristen/Katolik, Hindu, dan lainnya dengan tetap menjadi pemeluk Islam yang taat. (rol)