Muhammadiyah Jadi Korban Bully dan Kini Dituduh Antikritik Oleh Thomas Djamaluddin

Sejak awal, saya bingung dengan orang ini. Kritik apa dan mengganggu kemapanan yang mana. Bagi yang tidak kenal Thomas Djamaluddin, dan mungkin juga tidak perlu serepot itu untuk kenal, mohon maaf saya terpaksa mengganggu linimasa FB anda. Atau anda abaikan saja. Tokh, ini tidak akan mengubah angka inflasi perekonomian kita. Atau akan menyelamatkan klub sepakbola kesayangan anda lolos dari ancaman degradasi tahun depan.

Saya tergerak menulis ini sebab dua media nasional sekelas Kompas dan Tempo seperti tampak akan pasang-badan untuk TDj. Dan, saya tidak mengerti, untuk apa dan mengapa TDj harus jadi simbol kebebasan berpendapat. Ini tentu salah paham yang cukup mendasar. Memang pendapat siapa yang dibungkam

Siapa yang di bungkam?

Detik-detik jelang penetapan tanggal 1 Syawal 1444 H oleh Pemerintah, beberapa orang di media sosial gencar menuduh Muhammadiyah tidak “patuh” dan “taat” pada pemerintah.

Sebab, berdasarkan hasil metode hisab ala Muhammadiyah tanggal 1 Syawal jatuh pada hari Jum’at 21 April 2023, dan bukan 22 April. Alasan mereka, beragam. Ada yang entah atas dasar argumen apa dan tidak jelas juga, mendamba “persatuan umat” melalui penyeragaman interpretasi keagamaan.

Ada yang atas dasar satu jenis interpretasi agama, berharap kelompok yang dianggap lebih minoritas untuk ikut langgam interpretasi keagamaannya supaya semua berlebaran di hari yang sama. Ini sah saja. Tapi. Ada Tapinya. TDj itu ASN di BRIN, termasuk salah seorang yang gencar, melalui status FB dan laman blog pribadinya menulis tentang posisi Muhammadiyah yang menerapkan metode hisab dengan kriteria di luar kesepakatan negara-negara MABIMS. Akibat perbedaan kriteria itulah, menurutnya, Muhammadiyah akan selalu menyimpang penentuan tanggal untuk 1 Ramadan atau 1 Syawal.

Sejauh yang saya ingat, TDj sudah melayangkan “kritik” sejak tahun 2011. Hanya, seingat saya, waktu itu dia mengatakan metode rukyat lebih adaptif terhadap kriteria astronomis daripada metode hisab. Belum terkait kriteria MABIMS. Dan dia konsisten melakukannya. Selama itu pula, ia tidak pernah “dikriminalisasi” atau “dibungkam pendapatnya” oleh siapapun, termasuk Muhammadiyah. Sebab, meski sangat tendensius, Muhammadiyah menganggap TDj sah-sah saja melancarkan “kritik”nya.

Muhammadiyah tentu mustahil mengkriminalkan seseorang atas dasar perbedaan pendapat. Sangatlah mustahil.

Sejak awal organisasi ini berdiri, agenda pertama Muhammadiyah adalah mereformasi lembaga beragama supaya lebih demokratis dan egaliter, termasuk dalam urusan memilih pimpinan dan bagaimana tata urusan dapur organisasi. Demokrasi adalah urat dan daging Muhammadiyah. Tanpa itu, mana mungkin organisasi ini dapat bertahan satu abad. Tepatnya 111 tahun. Muhammadiyah, tentu sudah selama itu pula menerapkan model dialog untuk melakukan swa-kritik.

Kiai Dahlan, pendiri Muhammadiyah, bahkan secara khusus pernah mengundang aktivis komunis untuk melancarkan kritik pada Muhammadiyah terkait perlunya memperhatikan akar-rumput dalam agenda berserikat. Kiai Dahlan dengan lapang dan sangat senang menerima kritik aktivis komunis. Kata Kiai Dahlan, sebagaimana diriwayatkan oleh muridnya, kritik itu berfungsi untuk berbagi pengetahuan.

Di Muhammadiyah ada berbagai bentuk forum yang tujuannya adalah untuk memformulasikan kritik dan masukan berbagai pihak supaya organisasi dapat mengencangkan ikat pinggang menghadapi perubahan.

Makanya, saya geleng-geleng kepala mendengar pernyataan TDj bahwa dia memohon maaf kepada Muhammadiyah karena telah meluncurkan “kritik” dan “mengganggu kemapanan” Muhammadiyah.

Perlu saya beri tanda petik untuk “kritik” dan “mengganggu kemapanan”. Karena di sinilah landasan bagi media seperti Kompas dan Tempo kepleset melihat konteks yang dialami oleh TDj. Saya bertanya ke diri saya sendiri. TDj melakukan “kritik” apa ke Muhammadiyah? “Kritik” tentang perlunya Muhammadiyah mengadopsi kriteria 3 derajat hilal sebagaimana yang dianut MABIMS? Apakah itu termasuk “kritik”?

Begini. Untuk melakukan apa yang disebut “kritik”, anda perlu menempuh apa yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai tindakan komunikatif. Supaya, apapun narasi anda, itu tujuannya adalah untuk menemukan titik simpul kesepahaman bersama yang didasarkan pada tujuan-tujuan universal seperti penghargaaan pada kemajemukan. Sejauh yang saya mengerti, TDj bahkan belum sampai pada titik tindakan komunikatif itu. Yang dia lakukan adalah mengemas suatu pesan yang secara spesifik memberi resep tentang bagaimana cara supaya terwujud “persatuan umat”. Ini disebut Habermas sebagai tindakan teleologis.

Berulang-ulang dia menegaskan, baik di blog, media sosial, dan wawancara dengan pihak non-Muhammadiyah–yang bisa saya rasakan sendiri sebagai orang Muhamamdiyah terasa sangat memaksa–supaya Muhammadiyah juga ikut mengadopsi kriteria 3 derajat.

Bertahun-tahun, dia memaksa Muhammadiyah menuruti kriteria 3 derajat. Apa sulitnya atau tepatnya ada ganjalan apa terkait dengan anjuran itu? Nanti kita bahas di tempat lain.

Saya sudah peringatkan TDj di status FB-nya bahwa unggahan-unggahannya bisa membentuk persepsi yang keliru terhadap Muhammadiyah. Saya sudah mengingatkan dan masih bisa anda baca lagi bahwa saya bilang unggahannya dapat memicu sikap agresif yang tidak diharapkan kepada kelompok atau orang tertentu yang menjadi subjek kontennya.

Dan, terjadilah. Staf bawahan TDj di BRIN bernama AP Hasanudin menulis komentar berupa ancaman pembunuhan terhadap orang-orang Muhammadiyah. Itulah yang mengantarkan APH ke jeruji besi.

Unggahan TDj yang dikomentari APH jelas menimbulkan reaksi yang beragam. Bukan saja dari aktivis Muhammadiyah tapi bahkan yang bukan Muhammadiyah. Di kolom komentar status FB TDj banyak komentar mempertanyakan posisi TDj dalam kapasitas apa merasa perlu memaksa dan merundung Muhammadiyah karena belum mengadopsi kriteria 3 derajat MABIMS.

Saya tetap berpegang pada prinsip bahwa kita di media sosial bertanggung jawab atas opini kita. Kebebasan kita terikat dan terjalin dalam rasa kita sebagai sesama manusia di ruang publik. Kita harus menghargai kemajemukan, dan atas dasar apapun pemaksaan adalah bentuk kekerasan yang sebaiknya perlu kita pelajari cara mengolahnya. Ada kelompok dan komunitas tertentu yang akan terkena imbas dari konten yang kita buat. Apalagi kalau kita secara sadar dengan sengaja mengeksploitasi ketimpangan kuasa sehingga dengan mudahnya merundung kelompok lain.

Sebagai seorang ASN di BRIN, TDj harus sadar ada ketimpangan kuasa itu yang membentuk konteksnya dalam merundung Muhammadiyah di media sosial. Konteks ini, yang juga tidak dicermati oleh media sekelas Kompas dan Tempo.

Media sekelas Kompas, sayangnya seolah ingin netral dengan menyebut walau tak eksplisit, bahwa apa yang dialami APH dan akan juga mungkin dialami TDj merupakan upaya “mengkriminalkan” orang atas dasar perbedaan pendapat dan menawarkan jalan “dialog”, supaya tidak ada lagi “politisasi” perbedaan 1 Syawal. Siapa dan apa yang dipolitisasi? Mungkinkah dengan ketimpangan kuasa seperti yang sudah saya sebutkan di atas, Muhammadiyah di posisi melakukan “politisasi”? Punya kuasa apa Muhammadiyah?

Begitu pula dengan Tempo. Seolah ini perkara pembungkaman kebebasan berpendapat.

Membungkan pendapat yang mana? Kriteria 3 derajat? Atau konten perundungan TDj yang berujung dan sudah pasti merugikan komunitas Muhammadiyah secara sosial dan kultural?

Kalau redaksi Kompas dan Tempo mau sedikit saja mendayagunakan kapasitasnya sebagai jurnalis, bisa turun ke lapangan dan lihat sendiri apa yang Muhammadiyah alami selama ini akibat sentimen-sentimen atas sikap keagamaan Muhammadiyah.

Mulai dari izin pendirian masjid yang ditolak. Pencabutan plang papan nama Masjid dan lembaga pendidikan. Bahkan konflik yang lebih serius lagi pada jamaah Muhammadiyah pascareformasi. Jadi, bukan membenarkan, saya menganggap sangat lazim orang yang terafiliasi dengan Muhammadiyah merasa perlu menunjukkan sikapnya pada unggahan-unggahan TDj. Karena mereka tahu apa dampak besar secara sosial dan kultural jika seorang yang dianggap mewakili posisi negara merundung sikap keagamaan Muhammadiyah.

Di sini, saya tidak melihat para jurnalis Kompas dan Tempo akan kesulitan memahami konteks ini. Meski untuk Kompas, kita tahu, redaksinya juga bukan sekali ini “kecolongan”. Kompas pernah kepleset juga ketika menurunkan artikel tentang Muhammadiyah saat Muktamar di Solo kemarin. Bisa anda baca sendiri tanggapan Mbak Linda Christanty terhadap “kecolongan” redaksi Kompas itu yang kemudian ikut ditimpali Muhidin M. Dahlan.

Sekarang, masalahnya jadi merembet ke seolah-olah “kriminalisasi” dan “pembungkaman kebebasan berpendapat”. Media-media lain seperti Republik Online pun menurun kata kunci seperti itu.

Media-media ini bahkan tak mengerti apa yang sebetulnya terjadi. Saya ingat nasihat untuk para jurnalis di sebuah kelas kepenulisan yang pernah saya ikuti 10 tahun silam: “Kalau ada yang bilang di luar hujan, jangan langsung tulis tentang hujan itu. Tapi keluarlah dan lihat sendiri apa memang hujan atau tidak.”

Nyatanya, TDj sama sekali tidak pernah memformulasikan “kritik”. Dia memang menulis di blog, FB, dan mungkin melalui wawancara di TV. Tapi itu belum mencapai level kritik yang lazimnya bisa kita harapkan dari seorang yang bereputasi sebagai pakar astronomi dan mendaku mengemban misi untuk mempersatukan umat. Apa yang dia anggap “kritik” bahkan tidak mencerminkan wujud tindakan komunikatif. Yang dia lakukan justru memelesetkan dan mereduksi persoalan. Sebab, bisa anda lihat sendiri, dari seputar kriteria 3 derajat hilal jadi masuk ke ranah kewajiban warga negara untuk patuh pada penyeragaman interpretasi keagamaan. Ini penalaran yang grasak-grusuk kendati disampaikan dalam tutur kata yang dipelan-pelankan.

Saya tidak berharap kita semua perlu mengerti duduk perkara ini. Apalagi hanya karena kekonyolan yang sudah pasti akan terjadi dalam beberapa hari ke depan akibat media-media nasional memplesetkan kasus TDj dan APH ini sebagai “kriminalisasi” dan “pembungkaman pendapat”. Anda boleh setuju atau tidak. Bahkan tidak mengambil pusing pun sangat boleh. TDj tampaknya sangat tidak sabar menunggu Muhammadiyah menuruti kemauannya.

Saya juga tidak mengerti dan bingung apa implikasinya buat TDj. Persatuan umat? Sehingga begitu ngotot dia memaksa 65 juta orang Muhammadiyah harus ikut “kritik”nya tanpa dia sendiri mau diuji “kritik”nya itu secara sistematis dan serius. Bukan sekadar mencapai tujuan: “yang penting kita bersatu”.

Yang sekarang kita lihat justru sebaliknya. Polarisasi jamaah yang sudah reda bertahun-tahun karena perbedaan 1 Ramadan atau 1 Syawal justru kembali meruncing. Bahkan, bawahannya di BRIN justru mengunggah ancaman pembunuhan. Persatuan umat? Persatuan untuk siapa? Persatuan dengan siapa harus mau jadi korban?

Jadi, saya tidak mengerti, siapa dan apa yang dibungkam sebagaimana pernyataan TDj yang dicuplik untuk meme di unggahan Republik Online ini. Apa harus sampai sebegitunya Muhammadiyah membungkam “pendapat” dan “kritik” seorang seperti TDj? Rasanya tidak akan mungkin. Kalau, benar ada “pendapat” dan ada “kritik”.

Muhammadiyah sangat tidak anti kritik, apalagi dalam rangka untuk mencari rumusan yang paling tepat dalam tata kelola kehidupan beragama.

Ketika seorang Profesor dari Jepang mengkritik penentuan waktu salat shubuh di Indonesia yang lebih cepat 20 menit, Muhammadiyah jadi bergerak cepat mencermati kritik itu. Dan jadilah penyesuaian ulang jadwal salat shubuh di masjid-masjid Muhammadiyah.

Andai TDj mengerti, bahwa arti sebuah “kritik” bagi Muhammadiyah itu sangat fundamental. Karena sekali masukan dan saran itu setelah melalui serangkaian pengujian terbukti mapan, tidak segan-segan Muhammadiyah mengikuti. Tapi bukan taklid.

Muhammadiyah sangat serius menanggapi kritik. Jangankan sekadar urusan kriteria, jadwal salat saja bisa berubah. Dan kritik itu bukan sekadar diterima lalu masuk laci meja, tapi betul-betul mengubah apa yang sebelumnya. Seserius itu.

Jadi, tidak salah kalau Muhammadiyah perlu waktu mencermati masukan TDj. Bukan tidak menerima atau mendengarkan, tapi murni karena ini harus melalui pengujian ketat. Karena implikasinya sangat super serius bagi Muhammadiyah. Di sinilah kita menguji apakah TDj memang melancarkan “kritik” atau justru sekadar himbauan yang kelewat batas otoritas.

Penulis:
Fauzan sandiyah dipublish di laman Facebook via MD-Indonesia