Aisyiyah Nilai Peraturan KPU No 10/2023 Langgar Undang-Undang dan Diskriminatif ke Perempuan Indonesia

Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah bereaksi keras atas Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023. ‘Aisyiyah menyampaikan itu dalam pernyataan sikapnya yang dipublikasikan pada Selasa, 23 Mei 2023. ‘Aisyiyah dengan tegas mengatakan bahwa Peraturan KPU (PKPU) yang diterbitkan pada 17 April 2023 itu, secara hukum melanggar undang-undang.

Tidak hanya itu, PKPU tersebut juga dianggap mengubah norma afirmasi keterwakilan perempuan yang sudah dipraktikkan pada dua pemilu sebelumnya. Dalam pernyataan sikap itu, Sekretaris PP ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah menegaskan, pasal 8 ayat (2) huruf a dalam PKPU Nomor 10/2023 bermasalah. Pasal itu berbunyi:

Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 (lima puluh). Hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah.

Tri mengungkapkan, ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a tersebut berbeda dengan pengaturan Pemilu 2019 dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018. Pasal 6 PKPU No. 20/ 2018 itu mengatur bahwa dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.

Menurut ‘Aisyiyah, PKPU 20/2018 itu merupakan kelanjutan dari konsistensi implementasi regulasi serupa yang telah diterapkan sejak penyelenggaraan Pemilu DPR dan DPRD tahun 2014. Selain itu, Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023 secara hukum juga melanggar dan bertentangan dengan Pasal 245 UU No. 7/2017 yang menyatakan bahwa daftar bakal calon di setiap daerah pemilihan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Dampaknya, kata Tri, Pasal 8 ayat (2) huruf a dalam PKPU 10/2023 itu bisa membuat berkurangnya jumlah caleg perempuan pada sejumlah dapil Pemilu DPR dan DPRD. “Sehingga ketentuan tersebut bisa dibaca sebagai bentuk ketidakberpihakan pada upaya mewujudkan pemilu inklusif dan berkeadilan yang memungkinkan perempuan mengejar ketertinggalan di bidang politik dan pemerintahan melalui kehadiran lebih banyak perempuan dalam proses pemilu,” tegas dia.

Padahal, jumlah keterwakilan perempuan dalam politik dari tahun ke tahun terus meningkat. “Meskipun belum memenuhi standar mencapai 30%, bahkan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan kepada partai politik untuk mencalonkan sekurang-kurangnya 30% perempuan calon anggota legislatif,” ujar dia.

Selain caleg, secara khusus dalam Pasal 10 ayat (8) UU ini memberikan mandat bahwa anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Pasal 92 ayat (11) juga menegaskan komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten yang mesti memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Sejumlah pasal lain juga menekankan keterwakilan perempuan dalam keanggotaan PPK, PPS, dan KPPS.

KPU Ragu, Tanda Kurangnya Komitmen

‘Aisyiyah dengan tegas, juga menyayangkan sikap KPU yang tampak ragu-ragu untuk memperbaiki PKPU itu. Padahal, dalam konferensi pers pada 10 Mei 2023, KPU menyatakan akan melakukan perubahan Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU itu. KPU menyatakan akan melakukan perubahan sebagai penyikapannya atas keberatan yang disampaikan banyak pihak. Namun, hingga saat ini, KPU belum merealisasikan revisi PKPU 10/2023 yang telah dijanjikan tersebut.

Padahal revisi PKPU No. 10/2023 itu sebenarnya disertai kesempatan bagi partai politik untuk melakukan perbaikan sehingga keterwakilan perempuan memenuhi ketentuan Pasal 245 UU 7/2017. “Sikap ragu-ragu KPU menjadi penegas kurangnya komitmen KPU dalam mewujudkan keterwakilan perempuan sebagaimana sebelumnya telah terjadi dalam proses seleksi penyelenggara pemilu pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota,” ungkap Tri Hastuti.

Penyelenggara Pemilu juga Tidak Adil Gender

Tri juga menyebut bahwa terkait prosesi seleksi penyelenggara pemilu, tim seleksi banyak yang minus keterwakilan perempuan. “Antara lain, Tim Seleksi KPU Sumatera Utara, KPU Jawa Barat, dan KPU Yogyakarta, padahal provinsi tersebut sama sekali tidak kekurangan figur perempuan potensial yang dapat mengisi komposisi timsel.

Ironisnya lagi, hasil kerja Timsel KPU Provinsi/Kabupaten/Kota ataupun keputusan KPU RI atas keterpilihan calon juga masih terdapat yang sama sekali tidak menyertakan keterwakilan perempuan. Tri menyebut hal itu seperti yang terjadi di Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Gorontalo, dan Banten yang sama sekali tidak menyertakan keterwakilan perempuan.

Dengan demikian, tegas dia, Pengaturan Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023 dan kebijakan KPU terkait seleksi telah membuat ketidakadilan dan penyempitan ruang bagi perempuan. Hal itu selain bertentangan dengan asas pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945, juga tidak sejalan dengan upaya mewujudkan perempuan berkemajuan dalam tata kelola pemerintahan Indonesia. Karena itu, dalam pernyataan sikapnya, ‘Aisyiyah mendesak KPU, Bawaslu dan DKPP untuk:

  1. Segera merealisasikan janjinya kepada masyarakat Indonesia dan gerakan keterwakilan perempuan untuk merevisi ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2018 dan mengembalikannya pada ketentuan yang sejalan dengan Pasal 245 UU 7/2017, yakni “Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”.
  2. Mewujudkan dan memenuhi keterwakilan perempuan dalam komposisi Tim Seleksi
    ataupun keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Serta menyertakan kebijakan afirmasi yang tegas dalam Peraturan KPU tentang Seleksi Calon Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota agar tidak menegasikan dan menihilkan keterwakilan perempuan dalam pengisian keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
    Demikian halnya Bawaslu beserta jajarannya sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu harus mengimplementasikan affirmative action untuk
    terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
  3. KPU, Bawaslu, dan DKPP harus menyusun kebijakan tata kelola organisasi
    penyelenggara pemilu yang berperspektif adil dan setara gender dalam pengaturan,
    implementasi, dan pengelolaan tahapan ataupun organisasi pada setiap tingkatannya.
  4. KPU mendorong partai politik untuk secara aktif membuka peluang seluas-luasnya
    kepada caleg perempuan di partai politiknya melalui kebijakan affirmative action. Partai politik juga harus berkomitmen meminimalisir pencalegan yang berbiaya tinggi (high cost) serta tidak menempatkan perempuan sekadar sebagai pelengkap pada posisi sepatu ataupun sebatas vote gather semata.