Menantang Kemapanan Patriarki Dalam Rumah Tangga

Pembatasan peran sosial perempuan pada ranah domestik ternyata tidak pernah sepi peminatnya (KOMPASTV 2023), penghargaan tertinggi perempuan masih berada di pekerjaan rumah tangga seperti mengurus, merawat, memelihara anak (Budiman, 2000: 32). Konstruksi sosial gender sering mengabaikan pemisahan peran biologis atau kodrat dan peran sosial perempuan, dua peran ini jika tidak dipahami terpisah dapat melanggengkan patriarki dalam struktur rumah tangga.

Fakta sosial di atas berimplikasi pada tujuan utama pernikahan, terhadap belenggu patriarki perempuan terjerembap gender expectation yang menuntut peran sosial selalu dilandaskan kepada peran biologis. Karena ibu melahirkan anak kemudian kerja mengasuh anak menjadi kewajiban ibu.

Tentu saja pemahaman seperti ini terlanjur mengendap di masyarakat hingga menjadi ideologi negara dan mitos. Hanya saja, pernikahan bukan pintu masuk pada pengamalan patriarki dalam tumah tangga, melainkan membentuk keluarga harmonis saling menyayangi dan menghormati (Setiawan, 2012: 25-38). Artinya Mengasuh anak adalah kerja sosial, tidak hanya dilakukan perempuan (ibu) tetapi juga laki-laki (ayah).

Islam melalui salah satu ayat Al-Qur’an menuntun manusia dalam membentuk keluarga yang berkeadilan gender. Firman Allah SWT
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptkan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. QS. Ar-Rum [30]: 21.

Quraish menjelaskan manusia tidak dapat membentuk keluarga dalam konteks yang menyalahi naluri kemanusiaannya. Maksudnya adalah subtansi keluarga yang dimaksud terdiri dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan, bukan satu jenis kelamin atau dengan makhluk jenis lain. Dua entitas berbeda tersebut menjadi sesuatu yang ideal dalam sudut pandang agama. Kata anfusikum memiliki bentuk tunggal berupa kata nafs dengan arti “jenis, diri, dan totalitas sesuatu”. Quraish menjelaskan kriteria pasangan dari sejenisnya sebagai suami-istri. Laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami-istri meleburkan dua latar sosial berbeda menjadi satu dalam segala hal seperti perasaan dan pikiran, cita dan harapan, gerak dan langkah, hingga menarik dan menghembuskan nafasnya (Shihab, Vol. 11, 2005: 34-35).

Mengenai relasi rumah tangga suami-istri, Faqihuddin menegaskan prinsip kesalingan bertujuan untuk memenuhi aspek maqasid al-syari’ah al-khamsah. Dalam konteks perlindungan jiwa, harus memastikan pemenuhan hak hidup dan peningkatan kualitas hidup anggota keluarga. Begitu juga empat prinsip lain harus diterapkan oleh laki-laki dan perempuan secara bersamaan, yaitu perlindungan agama dan ibadah, akal pemikiran dan pengetahuan, keturunan dan hak-hak reproduksi, serta harta dan kepemilikan (Kodir, 2021: 332).

Sebagai penutup menurut hemat penulis keluarga harmonis tidak dapat diwujudkan apabila wacana publik atau pemahaman individu tetap mengarah pada subjek objek, laki-laki lebih unggul atas perempuan. Begitu juga dengan rasa kasih (mawaddah) dan sayang (warahmah) tidak berujung kepada kebaikan jika relasi laki-laki (suami) dan perempuan (istri) tidak memahami secara mendalam sikap saling memahami, menghormati terutama peran sosial masing-masing.

Ditulis oleh:
Imam Muhajir Dwi Putra