Puasa Universalitas Kemanusiaan

Salah satu kunci agar seseorang bertanggung jawab atas pekerjaannya adalah memahami status dan peranannya lantas diimplementasikan dalam praktik. Seorang guru, misalnya, dia seharusnya memahami status dan peranannya, lalu membuktikan pemahaman tersebut di depan siswa maupun di tengah masyarakat. Dengan demikian dia benar-benar bisa “digugu dan ditiru”, sebagaimana konsep guru yang ideal.

Tanggung jawab seorang muslim, baik di dunia maupun di akhirat, terwujud dengan memahami statusnya sebagai muslim serta menunjukkan peranannya dalam pembinaan masyarakat dan pembangunan bangsa. Hal ini dapat diartikulasikan lewat penghayatan dan pengamalan ajaran Islam, misalnya puasa. Kali ini kita bertemu lagi dengan bulan puasa (Ramadan), bulan yang penuh rahmat dan ampunan.

Orang Indonesia menggunakan kata berpuasa, orang Inggris menggunakan to fast, sedang orang Jawa menggunakan kata poso. Kata tersebut dalam bahasa Al-Qur’an (Arab) disebut shaum. Secara etimologis, kata shaum berasal dari kata shooma-yashuumu yang berarti menahan diri dari sesuatu. Secara terminologis puasa berarti menahan diri dari makan, minum, merokok, hubungan seksual, dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik mulai terbit fajar sampai dengan terbenamnya matahari.

Puasa pada bulan Ramadan hukumnya wajib bagi orang-orang yang beriman. Firman Allah Swt., “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah 2:183).

Puasa telah dilaksanakan sejak lama sebelum Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu puasa. Dalam sejarah agama-agama besar puasa sudah tidak asing lagi. Ia merupakan universal institution, suatu lembaga yang umum. Hal itu karena memang Tuhan telah pernah mewajibkan puasa kepada ummat-ummat terdahulu di mana kepadanya diutus para Rasul. Puasa telah diwajibkan pada jaman Nabi Musa, Daud, maupun Isa. Bible sendiri banyak menyebut tentang puasa. Dalam Perjanjian Lama, puasa dapat ditemukan di Kitab Yesaya 58:3-6 dan Danial 10:2. Dalam perjanjian baru puasa terdapat dalam Matius 6:16-17 ; 9:14-17 , Lukas 5:33-38, dan Markus 2:18-22 (Nasruddin Razak, “Dienul Islam”, 1981:200-202).

Universalitas puasa bisa dimengerti karena esensi dari puasa itu sendiri bukannya “mengerjakan” melainkan “menahan diri”, yaitu menahan diri dari kebathilan atau nafsu yang menyesatkan, mencegah sifat hewani yang merusak. Waktu dan cara mengerjakan puasa berbeda-beda antara satu ummat dengan ummat yang lain. Misalnya, puasa Nabi Dawud berselang-seling waktunya (sehari ya sehari tidak), puasa Nabi Muhammad Saw. dan umatnya pada bulan Ramadan mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Dalam suatu hadis riwayat Bukhori dari Aisyah dikatakan bahwa orang-orang Quraish pra-Muhammad berpuasa pada bulan Syuro (10 Muharram). Dalam dunia non-manusia pun ada puasa, seperti ayam “berpuasa” selama kurang lebih 21 hari selama mengerami telurnya, ulat menjadi kupu-kupu setelah “berpuasa” beberapa saat.

Universalitas puasa sesuai dengan misi Nabi Muhammad Saw., yaitu memberi rahmat pada alam semesta (rahmatan lil-aalamiin). Beliau adalah utusan Allah Tuhan alam semesta. Oleh karena itu, ajaran yang dibawa Muhammad Saw., termasuk puasa, ditujukan pada seluruh manusia, tidak hanya bangsa Arab saja. Dengan demikian, manfaat puasa sebenarnya dapat dirasakan oleh banyak pihak, termasuk pembangunan nasional Indonesia.

Lapar dan haus yang dirasakan oleh orang yang berpuasa merupakan suatu fenomena universal kemanusiaan. Artinya, setiap manusia di mana saja pasti mempunyai rasa lapar dan haus. Lapar dan haus tidak memandang agama, suku, bangsa, bahasa, warna kulit, status social, kekayaan, dan kewarganegaraan. Hal ini berarti bahwa orang yang berpuasa berusaha menyatukan dirinya dengan kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa pandang bulu. Al-Qur’an menyatakan bahwa orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa, bukan orang yang kaya harta, bukan orang yang berstatus sosial tinggi. Nabi Muhammad Saw. menegaskan bahwa Allah tidak melihat tubuh fisik dan rupa tetapi Allah melihat hati dan amal perbuatan.

Dengan mengetahui fungsi Ramadhan, kita dapat menemukan nilai dan keistimewaan puasa yang sangat berharga untuk pembangu¬nan. Dalam fungsinya sebagai syahrus-salaam (bulan keselamatan), Ramadhan memancarkan nilai-nilai edukatif yang dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian ummat manusia. Keadaan ummat manusia yang demikian itu yang menjadi tujuan pembangunan nasional. Nilai edukatif kedisiplinan dan kejujuran dapat dijadikan contoh. Orang yang berpuasa dituntut untuk berlaku disiplin dan jujur. Kendatipun rasa lapar dan haus yang amat sangat menyelimuti, dia tidak diperkenankan makan dan minum sebelum waktu Maghrib tiba, walaupun hanya sebulir nasi atau setetes air. Demikian juga sewaktu tanda imsak tiba, dia harus menghentikan makan dan minum. Kedisiplinan harus ditegakkan.

Kita bisa saja menipu orang lain, tetapi tidak dapat menipu diri sendiri dan pencipta diri ini (Tuhan). Pada jam dua siang pelaku puasa harus tetap jujur agar tidak minum seteguk air di kamar mandi atau berkumur lantas sebagian besar air dikeluarkan dan sebagian kecilnya ditelan. Nilai disiplin dan jujur sangat perlu ditanamkan pada seluruh warga Indonesia sebagai pelaku pembangunan bangsa. Kedisiplinan dan kejujuran adalah dua perangkat yang dapat menyelamatkan masa depan bangsa. Ramadan juga berfungsi sebagai syahrul-jihad (bulan perjuangan), maksudnya bulan perjuangan yang sangat bernilai untuk melawan kebathilan dan hawa nafsu yang menyesatkan. Pada bulan itu manusia dihadapkan pada perjuangan yang sangat besar. Mereka harus menahan diri dari perbuatan yang telah biasa dilakukan, mengubah suatu kebiasaan. Nabi mengatakan bahwa perjuangan melawan nafsu lebih besar dari pada melawan musuh di medan perang.

Menahan diri dari makan dan minum sejak pagi hingga sore hari dalam bulan Ramadhan adalah upaya membatasi atau mengurangi makanan dan minuman dari biasanya. Upaya tersebut merupakan cara untuk memelihara kesehatan jasmani. Para dokter sepakat bahwa salah satu sumber penyakit adalah perut. Padahal kita menyadari bahwa kebanyakan aktivitas (kerja) di dunia ini didorong karena kebutuhan perut.

Dr. Ahmad Ramali mengatakan, “Bagi hygine pun ada arti dan kepentingan puasa. Istirahat yang diberikan kepada alat-alat pencernaan pada siang hari, sebulan lamanya, tak lain melainkan menambah tenaganya semata, seperti tanah ladang yang dibiarkan beberapa lamanya agar kesuburannya muncul kembali, sebab alat-alat tubuh manusia sudah dijadikan demikian sehingga istirahat baginya berarti menambah tenaganya bekerja dan kekuatan menahan payah. Makin baik kerja perut besar dan perut panjang, makin sehat tubuh itu” (Nasruddin Razak, Ibid., hal 206). “Berpuasalah kamu akan sehat (shumuu tashikhkhuu)”, sabda Nabi Muhammad SAW.

Masalah perut (makanan dan minuman) mempunyai peranan vital dalam kehidupan manusia. Namun, jika kehendak perut diperturutkan secara berlebihan, hal ini dapat menimbulkan bencana fisik yang berbentuk penyakit. Dilihat dari segi tasawuf, terlalu banyak makan bisa menimbulkan penyakit jiwa yang berupa “rakus bin serakah”. Jika penyakit ini menimpa seseorang, maka akibat dan bahayanya masih terbatas dalam lingkungan yang kecil. Tetapi kalau penyakit rakus itu berkecamuk dalam kehidupan bangsa, maka ia akan menimbulkan semangat kapitalisme yang kemudian bersifat ekspansif, yaitu mengeksploitasi milik orang lain karena sifat rakus. Dalam Ihya ulumuddin, Imam Ghazali menyebutkan bahwa sesungguhnya bencana yang paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut.

Solidaritas sosial dapat timbul dengan melaksanakan puasa. Pelaku puasa mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang berekonomi lemah alias miskin yang lebih sering merasakan haus dan lapar dari pada kelompok the have. Partisipasi terhadap haus dan laparnya si-miskin dan sedekah yang banyak merupakan manifestasi kongkrit dari solidaritas sosial. Dampak selanjutnya dari rasa solider ini adalah terciptanya kerukunan dan kecenderungan membantu orang lain. Hal ini jelas akan melahirkan “jembatan” antara the have dan the have not serta mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional yang pada gilirannya dapat menyukseskan pembangunan bangsa.

Fungsi Ramadan yang lain adalah syahrul-ibadah (bulan ibadah), bulan yang terdapat nilai ibadah yang tinggi dan semangat beribadah yang tinggi pula; syahrul-fath (bulan kemenangan), bulan sewaktu umat Islam memperoleh kemenangan dalam perang besar yaitu melawan hawa nafsu dan perang kecil seperti perang Badar, sedang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945 terjadi pada bulan Ramadhan ; syahrul-huda (bulan petunjuk), bulan turunnya pertama kali petunjuk kehidupan yaitu Al-Qur’an ; dan syahrul-ghufran (bulan ampunan), bulan diampuninya dosa dan dibebaskan dari neraka.

Bulan Ramadan merupakan waktu yang tepat untuk membina mental-spiritual warga Indonesia. Pembinaan mental-spiritual yang baik sangat mendukung ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa dan tercip¬tanya budi pekerti yang luhur. Puasa dapat memancarkan kedisiplinan, kejujuran, kebersihan. solidaritas sosial yang kuat, serta kesehatan rokhani dan jasmani, yang kesemua itu merupakan fenomena universal kemanusiaan. Semoga saja kita dapat memanfaatkan Ramadan sebagai “wadah penataran mental” sehingga tercipta kontrol diri yang baik. Puasa kita jangan hanya sekedar memperoleh lapar dan haus saja, tetapi lebih dari itu. Sabda Nabi Muhammad Saw., “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus”. Selamat berpuasa karena iman!

Ditulis oleh
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh