Pasca Muktamar Keluarga Besar Muhammadiyah, Saatnya Kuatkan Akar Rumput

Beberapa hari ini saya kembali terngiang salah satu jargon jaman mondok dulu, “anak panah Muhammadiyah”. Begitulah Asatidz kami menanamkan gagasan bahwa kami semua adalah kader yang sedia dan ikhlas dilesatkan busur kemana pun arahnya, apa pun kondisinya, kapan pun waktunya. Dulu sebagai santri saya tidak begitu mendalami makna jargon tersebut sebagai pijakan kuat gerakan kader Muhammadiyah, mungkin karena terlalu sering mendengar, atau mungkin saja karena saya masih bebal.

Bertahun-tahun setelahnya Allah seakan menuntunku kembali pulang, hal penting yang sering saya lupa, bahwa kehidupan kita dan segala yang ada di dalamnya adalah kuasa Allah. Pemuda Muhammadiyah menjadi wadah awal saya kembali aktif dalam lingkup organisasi setelah sekian lama pikiran dan langkah mati suri akibat lama tak tersentuh semangat-semangat pergerakan. Semua terasa asing dan kaku, tapi menempatkan diri sebagai gelas kosong menjadi pilihan awal yang tepat bagi saya. Belajar banyak pengalaman organisasi di lingkungan cabang dan ranting, memahami peta dakwah, persebaran kader, problematika persyarikatan dan ilmu baru yang tak terhitung banyaknya. Itu semua saya dapat dalam kurun waktu relatif singkat, saya membayangkan seberapa dalam pemahaman dan besarnya niat perjuangan ber-Muhammadiyah yang dimiliki oleh kader-kader ranting dan cabang yang bertahun lamanya berkiprah.

Rampungnya Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, Muktamar Nasyiatul ‘Aisyiyah dan yang masih segar adalah Muktamar Pemuda Muhammadiyah menjadikan momentum baru untuk kembali muhasabah diri saya, mempertanyakan eksistensi dan aktualisasi diri dalam persyarikatan ini. Muhammadiyah dengan segala capaian yang luar biasa membuat bangga, perkembangan Ortom, berkembangnya AUM dan persyarikatan yang melahirkan banyak tokoh-tokoh besar seolah menanti untuk dibedah lebih dalam, dimulai dengan pertanyaan “bagaimana semua pencapaian itu bermula?”. Seperti menelaah bahwa ledakan nuklir yang begitu dahsyatnya ternyata dimulai dari reaksi inti atom yang diameternya hanya berkisar 10 sampai 15 nano-meter saja.

Gerakan persyarikatan tidak lepas dari tujuan Muhammadiyah itu sendiri yaitu menjunjung tinggi agama islam sehingga terwujud masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Menggaris bawahi kalimat “masyarakat islam yang sebenar-benarnya” menurut saya merupakan piala emas dari perjuangan persyarikatan ini, dari kalimat itu pula hampir menjelaskan setiap inti dari perjuangan Muhammadiyah adalah melibatkan umat, jamaah dan masyarakat untuk selalu dibekali, diarahkan dan dituntun dalam jalan ber-Islam.

Sehingga apabila kita memahami, kekuatan inti nan potensial dalam gerakan Muhammadiyah ternyata ada di sekeliling kita yang terkadang luput oleh kepekaan saya pribadi. Pimpinan Ranting adalah pembina sekaligus aktor pemberdayaan langsung umat, jamaah dan masyarakat yang menjadi cikal kekuatan dakwah Muhammadiyah. Pimpinan Ranting yang berada di urutan terbawah dalam bagan struktural organisasi namun disebut pertama dalam pembentukan pimpinan dalam AD ART Muhammadiyah. Karena tanpa ranting, struktur kepemimpinan diatasnya tak akan terbentuk.

Ketika kita menilik kembali pembentukan Ranting di dalam AD ART Muhammadiyah, kita akan melihat bahwa perbedaan mendasar syarat pembentukan Ranting dengan Cabang, Daerah, Wilayah ataupun Pusat adalah keterlibatan langsung jajaran pimpinan beserta anggotanya dalam menyentuh umat dan masyarakat, seperti adanya pengajian umum berkala minimal satu kali dalam sebulan, masjid atau musholla sebagai pusat agenda pembinaan dan kegiatan serta tentu saja adanya jama’ah di dalamnya. Sehingga seluruh syarat tersebut menuntut Ranting untuk terus melaksanakan fungsi bukan hanya untuk merawat tujuan Muhammadiyah namun juga menelurkan kader-kader baru.

Sampai pada titik ini, peran pemuda di ranting jelas menjadi krusial dalam membantu gerak perjuangan ayahanda dan ibunda di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Tantangan kemudian muncul dan menjadi momok khususnya untuk saya sendiri, meredupnya keaktifan dari angkatan muda, belum tumbuhnya jiwa volunteering, macetnya regenerasi, sikap pragmatis yang menggerogoti daya juang angkatan muda dan banyaknya kader yang satu per satu meninggalkan domisilinya untuk pendidikan maupun pekerjaan membuat kekosongan generasi muda muhammadiyah. Hal ini mungkin juga dialami oleh saudara-saudara saya di ranting lain, pun seperti saya, belum ada sintesis yang tepat untuk menjawab kegundahan atas permasalahan tersebut.

Sehingga penting bagi kader Muhammadiyah yang telah berkiprah hingga jenjang kepemimpinan diatas Ranting untuk kembali mengasah kepekaan dengan Turba (turun ke bawah). Memahami potensi yang ada di ranting sekaligus mencegah terhentinya regenerasi kader. Hal semacam ini perlu kembali dinormalkan di kalangan pemuda, sehingga hilang kesan eksklusif akibat perbedaan tingkat. Kader muda juga berperan aktif dalam menggembirakan lingkungan yang menjadi gerak Muhammadiyah di Ranting, ide-ide yang sesuai jaman tentu saja dinantikan oleh banyak orang.

Ranting menawarkan tantangan bagi pemuda untuk berkiprah membina umat dan masyarakat di desa, sekaligus dengan terbiasanya kader bersentuhan langsung dengan jamaah menjadikan kader memiliki kesalehan sosial yang lebih baik, kepercayaan diri dan pengorganisiran massa yang terstruktur. Dan tentu saja, semua kembali mengerucut ke pertanyaan-pertanyaan yang menghujam diri saya sendiri. Rela kah kader keluar jadi zona nyaman? Ikhlas kah berjuang jauh dari eksposur? Dan sudah pantaskah saya disebut anak panah Muhammadiyah yang berhasil?

Yogyakarta, 27 Februari 2023
Ditulis oleh:
Alfian Damastyo Putra