Ketum Muhammadiyah: “Tidak Berpolitik Identitas Kok Datangi Pesantren“

Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengkritik pihak-pihak yang melakukan dikotomi berdasarkan politik identitas.Tetapi dikotomi itu justru dipakai untuk merebut hati kelompok santri. “Ini politik identitas, ini tidak politik identitas. Padahal semuanya punya identitas. Hanya ada yang dikedepankan, ada yang disembunyikan. Kami ini paham teori politik tentang front stage dan back stage.

Apa yang ada di depan dan dikedepankan, dan apa yang ada di belakang,” kata Haedar, dalam peresmian Rumah Sakit Umum Universitas Muhammadiyah di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (11/3/2023). “Tidak (ber)politik identitas, tapi setiap tokoh dan kekuatan politik datang ke pesantren. Padahal itu politik identitas sebenarnya. Ingin merebut hati kaum santri. Jadi akhirnya apa? Politik demokrasi kita cenderung membelah,” kata Haedar.

Haedar mengatakan, umat Islam dihadapkan pada situasi politik yang membuat terpecah. Ada kesadaran politik pada umat dan bangsa Indonesia tentang hak dan demokrasi. Namun pada saat yang sama, mereka seperti rumput kering yang mudah terbakar dalam hal persatuan. Menurut Haedar, bhinneka tunggal ika dan Pancasila saat ini lebih menjadi retorika. “Isu radikalisme dan intoleransi begitu seksi untuk dijadikan isu para tokoh agama. Realitas kehidupan kita di luar itu, seperti gunung es, tidak terjangkau oleh kita,” katanya.

Muhammadiyah ingin umat Islam dan Bangsa Indonesia tak berhenti pada isu-isu tersebut. “Jangan-jangan isu itu memecah belah kita juga. Akhirnya umat dipecah belah: ini radikal, ini tidak radikal; ini toleran, ini tidak toleran,” kata Haedar. “Kesadaran persatuan penting menjadi komitmen kita bersama, termasuk Muhammadiyah. Bagaimana mewujudkan persatuan yang tulus. Persatuan yang dalam koridor yang lebih objektif rasional. Bangsa yang besar dan majemuk tidak bisa betul-betul utuh. Ini harus dipahami. Maka disebut pluralis atau bhinneka itu seperti air dan minyak. Air dan minyak susah disatukan. Tapi kita punya sistem yang membuat kita bersatu,” kata Haedar.

Haedar berharap ada kesadaran bahwa setiap umat beragama saling menghormati di tengah perbedaan. “Itu namanya persatuan dewasa. Sistem ini harus dibangun. Sebab kalau hal-hal fisik semata-mata, itu nanti ketika ada hal fundamental, kita tidak bisa menjaga itu,” katanya. “Nyatanya ketika ada problem, misalkan sebuah rumah ibadah tidak bisa berdiri. Tahu-tahu ke internasional. Padahal hal yang sama kita peroleh, misalkan, satu kelompok agama di kelompok mayoritas yang lain tidak mudah juga bikin rumah ibadah. Maka ada mekanisme sistem, aturan, dan lain sebagainya. Itu yang perlu kita bangun dan kedewasaan kita,” kata Haedar.

Rumah sakit, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga sosial, menurut Haedar, sebenarnya pranata menyatukan bangsa. “Lewat rumah sakit semua orang bisa hadir bersama. Muhammadiyah dengan keterbatasan yang kita miliki bisa menghadirkan rumah sakit, sekolah, dan lembaga pendidikan yang lain. Itu sebenarnya menyatukan,” katanya.

Mayoritas mahasiswa perguruan tinggi dan siswa-siswa sekolah milik Muhammadiyah di Nusa Tenggara Timur dan Papua beragama non Islam. Muhammadiyah bisa diterima oleh masyarakat di dua wilayah tersebut. “Sadar atau tidak, itu sebenarnya wujud dari membangun budaya dan sistem bhinneka tunggal ika lewat pranata sosial, pendidikan, dan kesehatan. Sehingga Muhammadiyah pun ikut memberi sumbangsih bagi integrasi nasional,” kata Haedar. “Sejatinya bangsa kita punya kekuatan kultural yang bagus untuk bersatu. Tapi sering isu-isu politik yang tidak terkendali dan tidak adanya keteladanan dari para elite di berbagai lapisan, serta sistem kita yang masih belum mapan, maka kita sering menghadapi situasi-situasi critical dalam relasi sosial kita,” kata Haedar.

Haedar mengajak seluruh kekuatan organisasi kemasyarakatan Islam dan organisasi kemasyarakatan lainnya untuk membangun bersama bangsa Indonesia. “Insya Allah dengan kebersamaan dan keberbedaan kita, kita bisa menjadi penopang kuat Indonesia,” katanya. (Red)