
Oleh Abdul Gaffar Ruskhan
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Apa kabar saudaraku? Semoga kita senantiasa dianugerahi kesehatan dan kebahagiaan hidup serta dicurahkan kasih sayang Allah SWT sehingga terpelihaara dari kejelekan pendengaran. Āmīn!
Rasululah saw. bersabda,
اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِى، وَمِنْ شَرِّ بَصَرِى، وَمِنْ شَرِّ لِسَانِى، وَمِنْ شَرِّ قَلْبِى، وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّى
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan pada pendengaranku, kejelekan pada penglihatanku, kejelekan pada lisanku, kejelekan pada hatiku, dan kejelekan pada mani atau kemaluanku. (HR Nasa’i No. 5446, Abu Daud No. 1551, Tirmidzi No. 3492)
Kesempurnaan manusia dari segi penciptaan luar biasa. Allah SWT melengkapinya dengan pancaindra. Salah satu di antaranya adalah telinga untuk mendengar. Dengan adanya telinga, manusia dapat mendengarkan firman-firman Allah SWT yang dibacakan dan kebenaran yang disampaikan sehingga akan memberikan kesejukan pada hati dan memberi petunjuk baginya. Bukan hanya itu, apa pun yang kita dengar dapat diserap menjadi ilmu dan pelajaran yang akan membekali diri manusia untuk kehidupan dunia dan akhirat. Bahkan, pendengaran dapat pula menjadi pengawas jika ada bahaya yang datang kepadanya, baik suara, gerakan, dan bencana agar manusia dapat menghindar darinya.
Kelengkapan pendengaran yang mampu memberi sinyal terhadap apa pun yang didengar manusia merupakan anugerah Allah SWT yang tidak terhingga. Jika pendengaran tidak berfungsi sejak awal, manusia tidak dapat menirukan bunyi-bunyi bahasa dan merespons apa yang didengar. Fungsi pendengar akan diambil alih oleh penglihatan sehingga bunyi-bunyi yang datang hanya direspons dengan menirukan gerak bibir atau gerakan. Orang seperti itu hanya bisa melakukan gerak dalam merespons dan menyampaikan informasi kepada orang lain. Allah SWT telah menyempurnakan pendengaran manusia sebagai suatu karunia Allah SWT kepadanya.
قُلْ هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۖ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ
“Katakanlah, ‘Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati.’ (Namun, ) amat sedikit kamu bersyukur. (QS Al-Mulk : 23)
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyebutkan penciptaan pendengaran, penglihatan, dan hati. Namun, Allah mendahulukan pendengaran dari penglihatan dan hati. Jika kita renungkan urutan itu, ternyata secara fungsional pendengaran memang lebih awal disempurnakan oleh Allah SWT. Pendengaran itu telah diberikan oleh Allah SWT ketika janin berusia lima bulan, sedangkan penglihatan berfungsi setelah janin dilahirkan karena fungsi penglihatan memerlukan cahaya.
Karena pendengaran itu sudah berfungsi sejak di dalam kandungan, ibu hamil dianjurkan agar dapat memperdengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mengucapkan perkataan yang baik sehingga janin dapat meyerap bacaan dan ucapan itu sebagai pembentuk karakter quraniahnya. Dapat dibayangkan jika ibu hamil sering berjoget, melantunkan lagu dangdut, lagu-lagu keras (rock), dan ucapan kasar atau cabul, janin akan merekam semua suara yang didengarnya. Tidak salah jika anaknya nanti juga menjadi pedangdut, rocker. dan anak yang suka berkata cabul. Nauzubillah.
Setelah bayi lahir, mata baru berfungsi secara samar-samar, tetapi telinga sudah mampu mendengarkan suara. Karena itu, bapak dari bayi itu mengazankan bayinya di telinga kanan dan mengiqamahkannya di telinga kiri. Hal itu penting sebagai pendidikan keimanan. Sebelum bayinya mendengar yang lain, orang tua menanamkan tauhid dengan memperkenalkan kalimat agung dan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw. sebagai Utusan Allah (Rasulullah). Bayi diperkenalkan dengan ajakan untuk salat dan kemenangan, dikumandangkan kebesaran Allah SWT yang telah menyelamatkannya lahir ke dunia, dan diakhiri pula dengan kalimat tauhid Lā ilāha illallāh.
Setelah di dunia, bayi beranjak besar dan menjadi manusia yang mandiri. Makin lama hidupnya makin banyak pula yang dialaminya dan makin banyak pula yang didengarnya. Bak kata pepatah, “Lama hidup, banyak yang dirasa.”
Di ujung ayat itu Allah SWT menyebutkan bahwa banyak manusia yang tidak pandai bersyukur. Satu anggota tubuh berupa pendengaran tidak berfungsi, misalnya, manusia akan kewalahan dan akan kesulitan dalam banyak hal. Dapat dibayangkan jika Allah SWT mencabut fungsi pendengaran, manusia akan merasakan hidup ini kurang bararti. Ada dua kemungkinan Allah SWT mencabut fungsi pendengaran manusia yang tidak pandai bersyukur itu, yakni Allah SWT benar-benar menghilangkan sama sekali pendengarannya sehingga menjadi tuli dan tidak dapat mendengarkan apa pun.Jika Allah SWT menginginkan demikian, tidak seorang pun dokter yang dapat mengembalikan fungsi pendengarannya seperti semula. Pasti akan larinya kepada Allah SWT. Apa pun tuhan-tuhan manusia tidak akan mampu pula mengembalikannya. Allah SWT berfirman,
قُلْ اَرَاَيْتُمْ اِنْ اَخَذَ اللّٰهُ سَمْعَكُمْ وَاَبْصَارَكُمْ وَخَتَمَ عَلٰى قُلُوْبِكُمْ مَّنْ اِلٰهٌ غَيْرُ اللّٰهِ يَأْتِيْكُمْ بِهٖۗ اُنْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْاٰيٰتِ ثُمَّ هُمْ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?’ Perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang (kepada mereka) tanda-tanda kekuasaan (Kami), tetapi mereka tetap berpaling.” (QS Al-An’aam: 46)
Manusia tidak akan kuasa manghalangi Allah SWT untuk mencabut fungsi pendengarannya jika Allah berkehendak. Sebelum Allah SWT mencabut fungsinya, manusia harus pandai bersyukur atas nikmat pendengaran itu agar dapat digunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah dengan lantunan kitab suci-Nya, apa lagi jika pendengarannya tersumbat dari kebenaraan, kehidupannya menjadi gelap dan akan berada selalu dalam kegelapan dan kekufuran. Allah SWT ferfirman,
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Bagi mereka ada siksa yang amat berat.” (QS Al-Baqarah:7)
Manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan kemauan nafsunya. Jika ada dua pilihan antara mempendengarkan lantunan Al-Qur’an atau lagu-lagu yang dapat menambah atau membangkitkan gelora jiwa muda, pada umumnya akan memilih lagu-lagu daripada bacaan kitab suci. Perhatikanlah saat mengendarai mobil. Misalnya, saya di mobil biasanya menyetel radio yang memiliki program ceramah atau lantunan Al-Qur’an. Namun, jika ada keluarga yang membawa mobil, salurannya sudah berubah ke radio yang menyiarkan lagu-lagu cinta. Hal itu membuktikan bahwa kecenderungan itu ada. Buktinya tidak jauh dari kita.
Allah SWT akan meminta pertangungjawaban manusia terhadap pendenganran yang dianugerahi Allah SWT kepadanya. Untuk apa digunakan pendengaran itu? Apakah digunakan untuk mendengarkan hal-hal yang baik dan bermanfaat dan untuk hal-hal yang tidak baik dan sia-sia? Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra’: 36)
Pertanggungjawaban terhadap pendengaran adalah bagaimana menusia menggunakannya untuk menambah ketakwaan dan mempertebal keimanannya. Bukankah pendengaran merupakan pintu gerbang untuk memasukkan berbagai informasi dan suara ke dalam pikiran dan kalbu manusia? Berbagai informasi itu bisa berupa ajakan dan rayuan untuk berbuat maksiat dan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Pambisik dan pengajak ke jalan kemungkaran itu ada di sekitar kita. Apakah kita akan mengikuti atau tidak? Jika hati sedang kosong mengingat Allah SWT, dorongan nafsu tidak terbendung. Ketika pikiran sedang suntuk, tawaran dari pembisik dan pengajak yang berwujud setan manusia sering dituruti. Artinya, perbuatan maksiat akan dilakukan yang berasal dari pendengaran manusia.
Duduknya seseorang bersama orang-orang yang senang berbuat gibah dengan membicarakan aib orang lain merupakan aktivitas pendengaran. Apa yang dibicarakan orang akan direspons oleh pendengaran, kemudian diolah sebentar oleh pikiran, dan didorong oleh nafsu, akhirnya diucapkan melalui lisan. Hal itu akan berlanjut sampai pergunjingan itu berakhir jika ada hal lain yang memisahkannya. Padahal, jika ada kekurangan teman atau orang lain, seorang muslim wajib menyimpan kekurangannya sehingga tidak dibeberkan kepada orang lain. Rasulullah saw. bersabda,
ومن سَتَر على مسلم، سَتَره الله في الدُّنيا والآخرة، والله في عون العبد، ما كان العبد في عون أخيه
“Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim di dunia, Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat. Allah akan menolong hambanya selama hamba menolong saudaranya.”(HR Muslim No. 2699, Ibnu Majah, Tirmidzi No. 1930, dan Abu Daud No. 4946 dari Abu Hurairah)
Soerang mukmin harus cerdas mengelola pendengarannya agar tidak terjatuh ke dalam perbuatan yang tidak diridai Allah SWT. Kadang-kadang timbul keinginan untuk mengetahui pembicaraan orang yang bisa jadi pembicaraan rahasia. Perbuatan itu termasuk tajasus (mencari-cari informasi rahasia) yang akahirnya digunakan untuk hal-hal yang dapat merugikan orang lain. Hal itu dilarang oleh Rasulullah dengan sabdanya yang artinya,
“Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan….” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Memata-matai dan menyelidik bisa berupa aktivitas pendengaran karena apa yang dibicarakan orang lain diserap dan disadap sehingga dapat menjadi bahan untuk aktivitas lisan dengan menggosip, memfitnah, dan menzaliminya. Jelas perbuatan itu sangat dilarang oleh Islam. Lain halnya jika itu dilakukan oleh pihak keamanan dalam rangka menjaga keamanan dan kedaulatan negara.
Dalam rangka mensyukuri nikmat pendengaran, mukmin dituntut untuk selalu berlindung kepada Allah SWT dari keburukan pendengaran yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan bimbingan Rasulullah saw. Karena begitu pentingnya pendengaran bagi manusia, jangan sampai nikmat Allah SWT itu dapat menimbulkan keburukan yang dapat mencelakakan dirinya dan mengakibatkan Allah SWT tidak rida dengan perbuatannya. Rida Allah dapat diperoleh melalui memelihara pendengaran dari hal-hal yang tidak baik sebagai wujud syukur kepada-Nya. Wallāhu a’lam biṣ-ṣawāb.
والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Tangerang, 17 Oktober 2020