
Oleh: M. Andhim
Masih banyak di antara kita yang terkadang salah persepsi ketika mendengar kata wakaf. Tak dapat dipungkiri hal yang terlintas dalam benak kita selama ini, bahwa wakaf selalu identik dengan harta tidak bergerak. Sekilas memang tiada yang salah dengan anggapan ini. Namun menjadi sebuah kesalahan ketika kita mengeneralisir bahwa makna wakaf ya sebatas itu saja. Dan tak jarang mengarah pada sikap ekslusifisme yang menafikkan apa yang ada di luar pemahaman yang mapan. Padahal jika kita mau menilik kejayaan Islam pada masa lalu sebenarnya tak lepas jauh dari peran filantropi Islam itu sendiri. Islam dapat berkembang sedemikian rupa karena memiliki kemandirian ekonomi yang berbasis syariah. Kemandirian yang topang oleh pemberdayaan zakat, infaq, sedekah dan tak lupa juga wakaf (ZISWAF).
Menurut Atho’illah (2014) Ada beberapa hal yang menjadi sebab masih minimnya peran wakaf dalam pemberdayaan umat. Pertama, belum meratanya pemahaman dan paradigma baru wakaf (UU No 41 Th 2014). Kedua, belum optimalnya sertifikasi tanah wakaf. Ketiga, belum optimalnya pengelolaan tanah wakaf secara produktif. Keempat, masih banyaknya “Nazhir” yang belum profesional. Kelima, belum tersedianya database tentang wakaf. Dan keenam, belum optimalnya pemberdayaan dan pengembangan wakaf uang.
Sangat disayangkan jika potensi yang begitu luar biasa ini belum terealisasikan secara positif dan massif. Oleh karenanya melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk kembali meninjau ajaran Islam yang mulia ini. Sehingga besar harapan kita supaya dapat mengambil pelajaran darinya.
Selayang pandang tentang wakaf produktif
Wakaf merupakan bagian dari syariat Islam yang sangat dianjurkan. Tatacaranya pun diatur sedemikian rupa. Supaya tujuan daripada wakaf itu sendiri bisa terlaksana. Tercapai sesuai dengan prinsip maqashid syariah yang utama. Dalam penggunaannya dibagi menjadi dua. Pertama, wakaf konsumtif (mubasyir) yang berarti dalam pemanfaatannya dapat diakses secara langsung oleh masyarakat. Contoh dari wakaf langsung ini berupa masjid, sekolah, rumah sakit dan semisalnya. Kedua, wakaf produktif (istismari) yang dalam penggunaannya dapat berupa penananam modal usaha dan hasilnya ditasarufkan untuk umat. Jaih Mubarok (2008) menambahkan bahwa wakaf produktif ini dikelola dengan pendekatan bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Dari keuntungan itulah masyarakat dapat memperoleh manfaatnya.
Wakaf produktif dalam lintasan sejarah
Pernah suatu ketika sahabat Umar ra. mendapatkan tanah wakaf di wilayah khaibar. Sebagai muslim yang taat, Ia pun bergegas menghampiri Rasulullah SAW dengan maksud meminta petunjuk dan nasehat. Rasulullah berpesan kepadanya: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.” Umar pun menjalankan amanat itu dengan sebaik mungkin. Mengelola tanah wakaf untuk kepentingan umat dan mensedekahkan hasilnya untuk mereka. Tidak menjual, menghibahkan dan juga mewariskan tanah yang dikelolanya.
Berdasarkan kisah Umar ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, sejatinya ada hikmah yang dapat kita jadikan pelajaran. Bahwasannya wakaf produktif itu telah hadir jauh hari dalam lintasan sejarah. Implementasinya pun disandarkan pada insan yang berada dalam bimbingan Rabb semesta alam. Ia taklain adalah Rasul akhir zaman sang suri tauladan dalam setiap kegiatan. Dan telah dipraktekkan oleh seorang sahabat yang utama nan mulia, sahabat Umar ra. Lantas bagaimana dengan umat Islam saat ini? tidakkah kita ingin mengambil pelajaran dari kisah Umar ini?
Ahmad Muslih (2016) juga memaparkan bahwa peran wakaf cukup signifikan pada masa pemerintahan bani umayyah dan bani abbasiyah. Pada masa dinasti umayyah, pertama kali lembaga wakaf terbentuk secara profesional. Tepatnya pada masa pemerintahan Hisyam Ibn Abdul Malik. Kemudian berlanjut pada masa bani abbasiyah yang dikenal dengan masa kejayaan umat Islam. Peran wakaf produktif pada masa itu sangat besar untuk pemberdayaan umat. Dana hasil pengelolaan wakaf dipergunakan untuk membangun fasilitas kesehatan, memperkuat kekuatan militer, membangun fasilitas pendidikan, mendirikan kembali usaha penginapan, taklupa juga membangun perpustakan sebagai pusat peradaban dan keilmuan.
BP2RM sebagai role model pengembangan cabang dan ranting
Kepanjangan dari BP2RM ialah Badan Pekerja Pengembangan Ranting Muhammadiyah. Berbeda dengan LPCR (Lembaga pengembangan cabang dan ranting) yang sifatnya struktural. Menurut Casroni (2011) BP2RM ini merupakan salah satu model bentuk pengembangan kultural ranting yang berbasis ekonomi wakaf produktif dan kader AMM yang bergerak dalam lingkup desa/kelurahan. Berdiri pertama kali pada tahun 2006 di sebuah desa yang bernama desa Lengkoyang, kecamatan Bodeh, kabupaten Pemalang.
Penggerak daripada BP2RM ini taklain adalah generasi muda Muhammadiyah baik yang berdomisili di desa lengkoyang maupun yang berada di tanah rantau. Semuanya saling berkolaborasi demi tercapainya satu tujuan. Karakteristik dari gerakan pengembangan ranting ini ada dua, yakni kemandirian dan kebersamaan. Mulai dari pembiayaan operasional, perumusan rencana kerja hingga aksi di lapangan semua dikerjakan secara kolektif. Sehingga semua potensi yang dimiliki kader dapat tersalurkan melalui program wakaf produktif. Baik itu potensi harta bergerak berupa uang, saham, sarana transportasi hingga hak cipta intelektual. Maupun potensi harta tidak bergerak berupa tanah, tanaman, sawah, tambak, properti dan semisalnya.
Berdasarkan riset Amirul Bahri (2017) wakaf produktif yang dikelola oleh BP2RM diawali dari iuran para pemuda muhammadiyah setempat dengan dana seadanya. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Demikian kata pepatah yang memotivasi mereka. Usaha tak pernah menghianati hasil, alhasil terkumpulah dana sebesar tujuh juta rupiah. Dana itu dibelikan sebidang tanah yang tak jauh dari lokasi desa dengan harga 10.000 per-meter perseginya. Kemudian tanah itu dikelola secara sukarela dengan menanami pohon albasia (sengon) dan dirawat secara bersama-sama oleh mereka. Singkat cerita dalam kurun satu dasawarsa pertama (2006-2016) hasil dari pengelolaan tanah itu terus digunakan untuk perluasan lahan. Baru setelah itu hasil dari program wakaf produktif bisa dirasakan manfaatnya oleh warga dalam bentuk wakaf kain kafan dan pemberian beasiswa kepada putra-putri daerah setempat untuk menimba ilmu di pesantren.
Muhammadiyah itu memang terkenal identik dengan gotong royong. Bahkan sejak awal berdirinya KH. Ahmad Dahlan telah memberikan sebuah keteladan semacam ini. Tatkala suatu hari sekolah yang beliau rintis kekurangan dana untuk menggaji para guru. Dengan lapang dada beliau melelang pakaian dan barang-barang yang ia miliki untuk kemaslahatan umat. Kebesaran hati seperti inilah yang beliau wariskan untuk generasi penerusnya. Sehingga persyarikatan ini bisa eksistensi dan terus berkembang sampai seperti saat ini. Demikian yang dapat kita saksikan pada para penggerak BP2RM yang tak lelah selalu berkorban melalui jiwa, raga, harta dan fikirannya.
Pengembangan model, basis dan sistem
Prinsip pengembangan dari BP2RM ini bersifat sukareka dan mandiri dari anggota, simpatisan dan taklupa kader persyarikatan. Semua dapat mengambil peran sesuai potensi yang mereka miliki masing-masing. Bekerja mengalir secara kultural dan berjama’ah dan hasilnya dipersembahkan untuk persyarikatan Muhammadiyah. Sehingga bisa dikatakan gerakan ini dari umat, oleh umat dan kembali kepada umat.
Pada dasarnya BP2RM ini bisa didirikan dan dikembangkan di mana saja selama ada komunitas warga persyarikatan di sana. Baik itu dalam ruang lingkup daerah, cabang, ranting atau bahkan AUM sekalipun. Bentuk usahanya pun fleksibel, menyesuaikan potensi di daerah masing-masing tentunya. Bisa jadi berupa usaha pertanian, perkebunan, peternakan, pariwisata, penginapan, dan lain sebagainya. Sebagaimana usaha pertanian yang dikembangkan oleh BP2RM di desa lengkoyang.
Secercah harapan itu ada
Melihat kesuksesan yang telah dilakukan oleh BP2RM di lengkoyang setidaknya menjadikan kita semakin optimis. Bahwa kesusksesan pun akan kita raih selama ada kesadaran dan kemauan untuk bersama-sama mewujudkan kemandirian ekonomi umat. Di samping itu semua pihak juga harus sama-sama beriktikad baik untuk mewujudkannya. InsyaaAllah melalui program wakaf produktif ini akan memunculkan berbagai solusi untuk menjawab berbagai persoalan keumatan saat ini. Khususnya supaya mampu menghidupi dan mengembangkan amal usaha persyarikatan secara mandiri. Sehingga kebermanfaatan dari wakaf itu dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Di sisi lain juga dapat mencetak kader-kader da’i maupun kader organisatoris yang berjiwa militansi. Dan visi jangka panjangnya bahkan bukan sekedar lagi sebagai pijakan untuk mengembangkan cabang dan ranting persyarikatan. Melainkan menjadi generator pendobrak kemajuan dan kesejahteraan umat pada umumnya.