Bagian Ketujuh: Berumrah pada Bulan Ramadan

Oleh Abdul Gaffar Ruskhan

‎السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Apa kabar saudaraku? Semoga kita senantiasa dianugerahi kesehatan, kebahagiaan hidup, dan mampu menjadi orang beroleh amal yang terbaik dan diridai Allah SWT. Āmīn!

Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya pada seorang wanita,
مَا مَنَعَكِ أَنْ تَحُجِّى مَعَنَا
“Apa alasanmu sehingga tidak ikut berhaji bersama kami?”
Wanita itu menjawab, “Aku punya tugas untuk memberi minum seekor unta yang unta tersebut ditunggangi oleh ayah fulan dan anaknya–suami dan anaknya. Ia meninggalkan unta tadi tanpa diberi minum, lantas kamilah yang bertugas membawakan air pada unta tersebut. Lantas Rasulullah saw. bersabda,

فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ

“Jika Ramadan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadan senilai dengan haji.” (HR Bukhari No. 1782 dan Muslim No. 1256)

Dalam lafaz Muslim disebutkan,
فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً
“Umrah pada bulan Ramadan senilai dengan haji.” (HR Muslim No. 1256)

Dalam lafaz Bukhari yang lain disebutkan,

فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ تَقْضِى حَجَّةً مَعِى

“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan seperti berhaji bersamaku.” (HR Bukhari No. 1863)

Berdasarkan dialog Rasulullah saw. dengan seorang wanita itu diketahui bahwa pada saat musim haji, Rasulullah dan para sahabat melaksanakan ibadah haji. Tampaknya semuanya berangkat haji itu sebagai suatu rutinitas tahunan bagi umat Islam sehingga tidak ada satu pun yang absen berhaji. Jika ada sahabat yang tidak melaksanakan haji, Rasulullah menanyakan ketidakikutannya. Ada alasan yang dapat dijadikan keringanan dalam berhaji. Jika sebelumnya, sudah ada pembahasan tentang adanya lasan berbuat baik kepada orang tua, dalam dialog itu seorang istri yang mengabdi kepada suami dan anak dengan adanya tugas tertentu, yakni memberi minum unta yang salalu ditunggangi oleh suami dan anaknya. Itulah kebijaksanaan yang diberikan Nabi saw. berupa kegembiraan dan janji Rasulullah sebagai penyampai wahyu dan pemberi berita gembira. Wanita itu justru diberi kegembiraan dengan melaksanakan umrah pada bulan Ramadan sebagai solusi karena tidak berangkat haji dengan nilai atau pahala yang sama dengan berhaji, yakni berumrah pada bulan Ramadan.

Bagi kaum muslimin yang berada di sekirar Mekah, kesempatan yang diberikan pada bulan Ramadan untuk melaksanakan umrah akan mudah karena hanya menunda kesempatan pada hari lain. Namun, bagi umat Islam yang jauh dari Tanah Suci, mereka akan mempersiapkannya dengan biaya keberangkatan yang harus tersedia. Hal itu jangan dipandang sebagai keberatan juga berumrah. Namun, harus dipandang sebagai seseuatu kpedulian Rasulullah kepada umatnya bahwa dalam beramal itu ada kelebihan yang disediakan, baik waktunya maupun bentuk amal yang dikerjakan. Rasululah saw. tidak akan melarang jika ada orang (sahabat) karena ada keperluan yang sangat diutamakan sebagai bentuk ketaatan kepada suami. Hal itu direspons dengan memberikan nilai pahala yang tidak kurang jika dibandingkan dengan berhaji.

Pertanyaannya adalah apakah melaksanakan umrah pada bulan Ramadan dapat menggantikan kewajiban berhaji bagi orang yang mampu berangkat? Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (9:2) menjelaskan bahwa berumrah pada Ramadan memiliki pahala seperti pahala haji. Namun, bukan berarti bahwa umrah Ramadan sama dengan haji secara keseluruhan sehingga seseorang yang mempunyai kewajiban haji, lalu ia berumrah di bulan Ramadan, umrah tersebut tidak bisa menggantikan haji tadi. Jadi, orang itu tetap melaksanakan haji.

Ada kenikmatan yang diperoleh muslim yang mampu berangkat umrah pada bulan Ramadan. Kegembiraan itu berupa kesempatan bulan Ramadan yang penuh rahmat, magfirah, dan pembebasan hamba yang berpuasa dari api neraka dan itu dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh orang yang umrah, apalagi berumrah pada sepertiga terakhir bulan Ramadan. Waktu sepuluh terakhir itu adalah kesempatan untuk meraih malam kemuliaan (Laitulqadar) sangat terbuka. Itulah kesempatan emas seseorang beribadah di Baitullah dan waktu yang mulia pula.

Berumrah memang salah satu kewajiban yang diperintah Allah SWT kepada setiap muslim. Namun, kewajiban itu dilakukan secara berurutan, yakni haji dan umrah. Bagimana kalau dibalik, berumrah dahulu baru berhaji. Jawabannya ada di dalam firman Allah SWT dan sabda hadis Rasulullah saw.

Allah SWT berfirman,

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah kalian karena Allah.” (QS Al-Baqaqah: 196)

Kewajiban berhaji dan berumrah itu dilakukan sesecara otomatis karena orang yang berhaji melekat padanya melaksanakan kewajiban umrah. Pelaksaan haji dan umrah itu dapat dilakukan secara bersamaan dengan haji (haji qiran), haji lebih dahulu daripada umrah (haji ifrad), dan haji dilakukan setelah umrah (haji tamatuk). Dengan demikian, orang yang melaksanakan haji pasti akan melaksankan umrah.

Tentu saja tidak sebaliknya karena ada yang orang yang belum mendapat giliran berhaji melakukan umrah. Biasanya, orang yang terlalu lama menunggu giliran naik haji yang dikeluarkan pemerintah. Ada kecukupan biaya berangkat umrah, orang seperti itu berumrah dahulu daripada haji. Bisa juga orang yang diberangkatkan oleh orang lain untuk berumrah sementara ia belum berhaji.

Bagi orang yang sudah melakukan haji ada memang anjuran Rasulullah untuk dapat melaksanakan umrah lagi karena ada nilai umrah yang dilakukannya sebagai penghapus dosa orang yang melakukannya. Rasulullah saw. bersabda,

تَابِعُوا بين الحجِّ والعمرةِ ، فإنَّهما ينفيانِ الفقرَ والذنوبَ ، كما يَنفي الكيرُ خَبَثَ الحديدِ والذهبِ والفضةِ ، وليس للحجةِ المبرورةِ ثوابٌ إلا الجنةُ

“Iringilah ibadah haji dengan (memperbanyak) ibadah umrah (berikutnya) karena sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana alat peniup besi panas menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Tidak ada (balasan) bagi (pelaku) haji yang mabrur selain surga” (HRTirmidzi No. 810, Nasa-i 5/115, dan Ahmad 6/185)

Orang yang memiliki kemampuan boleh saja setiap tahun berangkat umrah. Hadis ini yang dijadikan dasar untuk mekakukan umrah berulang-ulang kali. Hal itu pula yang dilakukan oleh kenalan dengan alasan daripada pergi melancong ke Eropa atau Amerika lebih baik uangnya dihabiskan untuk berumrah walaupun itu dilakukan berulang-ulang. Namun, akan lebih baik lagi jika siapa pun yang berkelebihan uang untuk merenungkan hadis Rasulullah saw. berikut,

اَلْحَجُّ مَكْتُوْبٌ وَالْعُمْرَةُ تَطَوُّعٌ

“Ibadah haji itu hukumnya wajib, sedangkan umrah itu hukumnya sunah” (HR. Ibn Majah).

Haji hukumnya wajib, sedangkan umrah hukumnya sunat. Melakukan umrah berulang-ulang boleh-boleh saja karena sunat. Namun, jika hukum sunat dihadapkan dengan suatu kewajiban yang belum terpenuhi, perbuatan sunah menjadi batal. Misalnya, ketika seseorang pergi umrah, sementara kondisi masyarakatnya memerlukan bantuan makanan dan kepedulian untuk meringankan kebutuhan harian tetangga dan masyarakat, sunah umrah wajib dialihkan kepada tetangga dan masyarakat yang memeralukannya, apalagi ada anak yatim yang terlantar. Rasulullah bersabda,

لَيْسَ اْلمـُؤْمِنُ الَّذِى يَشْبَعُ وَ جَارُهُ جَائِعٌ

“Bukanlah dari kalangan orang yang beriman, apabila ia dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya dalam kelaparan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Selain itu, jangan sampai kepergian ke Tanah Suci sementara yang berangkat tidak perduli kepada fakir miskin dan tidak memuliakan anak yatim dengan tidak memberi santunan kepada merka sehingga dapat menjerumuskannya ke dalam neraka. Allah SWT memperingatkan hal itu,

مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَقَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِيْنَۙ

“Apa yang menyebabkan kamu masuk Neraka Saqar?” Mereka berkata, ‘Dulu kami termasuk orang-orang yang meninggalkan salat, Kami kikir, dan tidak memberi makan orang miskin (dan tidak memuliakan anak yatim.)” (QS Muddasir: 42–44)

Akan lain halnya dengan orang yang memiliki kekayaan, tetapi dia sangat peduli kepada fakir miskin dan anak yatim. Walaupun berangkat setiap tahun melakukan sunah umrah, kewajibannya memberi makan fakir dan miskin dan menyantuni anak yatim, itu hal yang boleh-beloh saja. Namun, jangan memaksakan berangkat umrah sementara banyak orang yang memerlukan bantuan, tetapi orang itu tidak tersentuh hatinya untuk peduli kepada mereka yang membutuhkan. Wallahu a’lam biṣ-ṣawab.

‎والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Tangerang, 14 Agustus 2020