Bagian Kesepuluh: Kemabruran Haji dalam Lingkungan Masyarakat

Oleh Abdul Gaffar Ruskhan

‎السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Apa kabar saudaraku? Semoga kita senantiasa dianugerahi kesehatan, kebahagiaan hidup, dan mampu menjadi orang yang bernilai di sisi Allah SWT karena ibadah yang kita lakukan secara maksimal dan mabrur di sisi-Nya. Āmīn!

Dalam hadis Ibnu ‘Umar disebutkan,

أَمَّا خُرُوجُكَ مِنْ بَيْتِكَ تَؤُمُّ الْبَيْتَ فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ وَطْأَةٍ تَطَأُهَا رَاحِلَتُكَ يَكْتُبُ اللَّهُ لَكَ بِهَا حَسَنَةً , وَيَمْحُو عَنْكَ بِهَا سَيِّئَةً , وَأَمَّا وُقُوفُكَ بِعَرَفَةَ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيُبَاهِي بِهِمُ الْمَلائِكَةَ , فَيَقُولُ:هَؤُلاءِ عِبَادِي جَاءُونِي شُعْثًا غُبْرًا مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ يَرْجُونَ رَحْمَتِي , وَيَخَافُونَ عَذَابِي , وَلَمْ يَرَوْنِي , فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟فَلَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ رَمْلِ عَالِجٍ , أَوْ مِثْلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا , أَوْ مِثْلُ قَطْرِ السَّمَاءِ ذُنُوبًا غَسَلَ اللَّهُ عَنْكَ , وَأَمَّا رَمْيُكَ الْجِمَارَ فَإِنَّهُ مَذْخُورٌ لَكَ , وَأَمَّا حَلْقُكَ رَأْسَكَ , فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَسْقُطُ حَسَنَةٌ , فَإِذَا طُفْتَ بِالْبَيْتِ خَرَجْتَ مِنْ ذُنُوبِكَ كَيَوْمِ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ.

“Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Ka’bah, setiap langkah hewan tungganganmu akan Allah catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Wukuf di Arafah, pada saat itu Allah turun ke langit dunia, lalu Allah bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Mereka adalah hamba-hamba-Ku yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayang-Ku, merasa takut dengan siksa-Ku, padahal mereka belum pernah melihat-Ku. Bagaimana andaikan mereka pernah melihat-Ku? Andaikan engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan, seluruhnya akan Allah bersihkan. Lempar jumrahmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu, setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau tawaf, mengelilingi Ka’bah, engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir No 1339o yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albani sebagaimana dalam Shahihul Jaami’ No. 1360).

Bagi umat Islam Indonesia haji pada tahun 1441 H ini tidak begitu terasa khidmatnya karena Indonesia tidak mengirimkan jemaah haji ke Tanah Suci sebagaimana juga negara-negara yang lain. Ketidaksertaan Indonesia disebabkan pandemi Covid-19 yang oleh pemerintah Saudi sendiri hanya jemaah haji dibatasi untuk penduduk dan pemukim di Mekah. Kemeriahan suasana haji memang tidak dirasakan oleh umat Islam di tanah air. Walaupun begitu, bagi yang sudah pernah haji dan yang belum berangkat, nilai-nilai pelaksanaan haji mengingatkan kita betapa besarnya makna yang terkandung di dalam ibadah haji yang dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Berakhirnya pelaksanaan haji pada 13 Zulhijah merupakan kebahagiaan tersendiri bagi jemaah haji. Mereka telah melaksanakan ibadah haji dengan lengkap dan diharapkan sempurna dari sisi rukun dan wajib haji, sunah haji, dan ketaatan mereka dalam menjaga larangan haji sehingga tidak dilanggar. Dengan tahalul ibadah haji sudah dapat diselesaikan sehingga jemaah haji siap-siap untuk pulang ke tanah air masing-masing.

Apakah yang dibawa pulang oleh jemaah haji? Apakah air zamzam, kurma, pakaian haji, hambal, dan pernak-pernik lain sebagai oleh-oleh? Itu boleh-boleh saja sebagai tanda mereka sudah pergi ke Tanah Suci. Namun, yang lebih penting adalah membawa haji mabrur. Biasanya ada doanya, yaitu diucapkan oleh yang vberhaji atau dari orang yang menyambut jemaah haji,

اللَّهُمَّ اجْعَلْ حَجًّا مَبْرُوْرًا وَ سَعْيًا مَشْكُوْرًا وَ ذَنْبًا مَغْفُوْرًا

“Semoga Allah menganugerahkan haji yang mabrur, usaha yang disyukuri, dan dosa yang diampuni.”

Haji mabrur menjadi amal yang tebaik di sisi Allah SWT. Di dalam hadisnya, Rasulullah ditanya sahabat tentang amal yang teerbaik sebagimana pada sabda Rasulullah saw.,

سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ »

“Nabi saw. ditanya, “Amal apa yang paling afdal?” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian, apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian, apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsaw.” (HR Bukhari No. 1519 dan Abu Hurairah)

Walaupun Rasulullah menjelaskan bahwa jihad menjadi amal kedua terbaik setelah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, ternyata jihad yang terbaik itu justru haji mabrur. Hal itu dijelaskan oleh Rasulullah pada hadis dari Aisyah r.a,

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdal. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur,” jawab Nabi saw.” (HR Bukhari no. 1520 dari Aisyah)

Haji yang dilakukan seseorang dengan menjaga hal-hal yang mengurangi nilai haji akan mendapat pengampunan dari Allah SWT sehingga dia seperti bayi yang baru saja dilahirkan. Rasulullah saw. menjelaskan hal itu,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR Bukhari No. 1521).

Manakala orang yang berhaji sudah diampuni dosa-doasnya dengan perolehan hajimabrur, Allah akan menyediakan balasan surga baginya,

وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR Bukhari No. 1773 dan Muslim No. 1349).

Jemaah haji atau siapa pun yang telah memiliki predikat haji akan kembali ke tengah keluarga, masyarakat, atau tempat kerjanya. Kehadirannya di tengah-tengah lingkungan akan menjadi orang yang diharapkan kesalehannya, dirindukan nasihatnya, ditungu keteladannya, dinantikan kesantunan bicaranya, dan diikuti contoh prilakunya, Oleh karena itu, predikat haji akan menjadi pembeda dengan orang lain karena yang bersangkuran baru saja atau sudah menjadi tamu Allah yang dihadiahi haji mabur.

Haji mabrur yang menjadi dambaan setiap orang yang berhaji mengandung pengertian haji yang diterima Allah SWT karena yang bersangkutan telah meninggalkan hal yang dilarang dan tidak mengotorinya dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasik haji dan setelah berada di lingkungannya tidak gemar bermaksiat. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima dengan adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari haji, tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat, dan tidak tercampuri unsur ria.

Jika telah dipahami apa yang dimaksudkan dengan haji mabrur, orang yang berhasil menggapai predikat tersebut akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi saw., yakni deusa diampuni dan surga jaminannya.

Ciri Haji Mabrur
Berdasarkan hadis yang telah disebutkan dan hadis Rasulullah yang akan dikemukakan, palin tidak ada beberapa ciri seseorang telah mendapatkan haji mabrur.

  1. Mampu berbicara dengan baik (ṭayyibul-kalām)
    Berbicara dengan baik mengandung pengertian berlaku santun dalam bertutur kata. Muslim yang berhaji di Tanah Suci terlatih dengan ucapan yang indah dan mulia. Ucapan tahlil, takbir, hahmid, tasbih, serta talbiaah membentuk karakter jemaah haji sehingga mereka selalu ingat dan zikir menyebut nama Allah SWT. Haji mabrur ditandai dengan setiap kata yang keluar dari mulut Pak Haji dan Bu Hajah adalah kata-kata yang mengenakkan, menyejukkan, mengandung nasihat, tidak menyinggung, tidak menyakitkan, tidak menggosip, dan tidak memfitnah. Kata-kata itu bersumber dari hati sehingga hati pun harus bersih dan suci seperti beningnya pakaian ihram. Jika ucapan itu masih saja ada pada Pak Haji dan Bu Hajah, jangan-jangan uang yang dikeluarkan begitu banyak, tenaga yang keluar begitu terkuras, waktu yang dihabiskan begitu lama, dan perjuangan yang dilakukan sangat berat menjadi sia-sia karena belum mampu mengandalikan lisan dan ucapan kepada orang lain. Ingat lantunan talbiah yang berisi perkenan kita memenuhi panggilan Allah, pujian, nikmat, kekuasaan hanya milik Allah sehingga tiada sekutu bagi-Nya.

لَبَّيْكَ اللّٰهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ اِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu . Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah milik-Mu, juga semua kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu.”

  1. Memberi makanan (iṭ‘amuṭ-ṭa‘ām)
    Memberi makanan berarti bahwa orang yang pulang haji dan menjadi Pak Haji dan Bu Hajah harus memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Hal itu berarti bahwa orang yang sudah menyandang predikat haji harus mampu memikirkan orang lain. Dia tidak lagi hanya berpikir untuk dirinya dengan melakukan ibadah yang hanya untuk kepentingan pribadi. Dia harus meningkatkan kepedulian sosialnya terhadap orang yang perlu mendapat perhatian, yakni fakir miskin dan anak yatim, terutama dari karib kerabatnya.

Bisa jadi sebelum ke Mekah seseorangb jauh dari kepedulian terhadap orang lain. Namun, sekembali dari Tanah Suci dia harus berubah karena perjalanan rohani yang dilakukannya mengajarkan kepada dirinya bahwa semua umat Islam adalah saudara. Tidak ada perbedaan terhadap orang lain walaupun berbeda bangsa, warna kulit, dan bahasa. Itulah makna hadis Rasulullah saw.

أَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ

“Cintailah kepada manusia sebagaimana kamu mencintai dirimu.” (HR Ahmad)

Pada hadis yang lain, Rasulullah saw. menyebutkan

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشبك أصابعه

“Sesungguhnya orang mukmin yang satu dengan yang lain seperti bangunan. Yang sebagian menguatkan sebagian yang lain. Nabi menggabungkan jari-jari tangannya”. (HR Bukhari)

Rasulullah secara spesifik menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah mengenyangkan orang lapar tentu saja menjurus ke nilai-nilai kedermawanan dalam bentuk infak, sedekah, dan santunan kepada yang membutuhkannya. Semestinya orang yang sudah berhaji karena ada kemampuannya pergi berhaji hendaknya tersentuh hatinya kepada orang yang perlu mendapatkan bantuan dan memberikan makanan kepada mereka yang berkekurangan dengan berinfak dan bersedekah.

  1. Menebarkan salam (ifsyā’us-salām)
    Ciri-ciri orang yang mendapatkan haji mabrur tercakup pada hadis berikut.

قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال: “إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ

“Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.’” (HR Ahmad)

Menyebar kedamaian menjadi ciri orang yang memperoleh haji mabrur. Kedamaian dan ketenteraman masyarakat sangat penting dalam kehidupan sosial. Keberadaan Pak Haji dan Bu Hajah di lingkungannya harus menjadi orang yang membawa kedamaian bersama. Jangan sebaliknya justru menjadi pembawa rusuh dan kegaduhan sehingga kehadirannya menyusahkan orang lain. Jangan sampai muncul fitnah dari dirinya sehingga banyak orang yang terfitnah dan terzalimi.

Semoga kriteria haji mabrur dapat menjadi penyadaran bagi yang sudah melakukan haji sehingga keberadaan Pak Haji dan Bu Hajah di lingkungannya dapat menyejukkan dan memberikan kedamaian. Mereka menjadi pendorong untuk peduli kepada orang yang memerlukan bantuan, memberi contoh kepada orang lain tentang mana yang terbaik dalam masyarakatnya, menghidari diri dari hal yang merugikan orang lain, serta memberi aman kepada orang lain dari ucapan, sikap, dan perbuatannya.

(Bersambung besok)

Wallāhu almuwafiq ilā aqwamiṭ-ṭarīq.

‎والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Tangerang, 6 Agustus 2020