Keluarga Idaman Menurut Islam

Oleh Abdul Gaffar Ruskhan

‎السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Apa kabar saudaraku? Semoga Allah senantiasa mengaruniai kita kesehatan dan kebahagiaan hidup berumah tangga. Amin!

Allah SWT berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً

“Orang orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan: 74)

Ada beberapa anak muda berkumpul di taman sambil melepas penat di sore hari. Saya lewat di depan mereka sambil melepas lelah pula. Terdengar percakapan mereka tentang keluarga. Pemuda yang satu berkata, “Apa sih keluarga?” Yang lain berkata, “Enak juga berkeluarga ya?” Sementara yang satu lagi berkata, “Gak mau ah berkeluarga. Soalnya, si anu ribut terus sama istrinya.” Temannya yang lain berkata,”Sebetulnya sih pengen juga bekeluarga seperti Pak Halim itu.”

Ada berbagai pendapat tentang keluarga yang terungkap dari beberapa orang. Hal itu bergantung pada sudut pandang masing-masing. Ada yang masih mempertanyakan arti berkeluarga. Ada pula yang berkeinginan untuk berkeluarga karena akan membawa ketenangan bagi hidupnya. Yang lain berpandangan tidak mau berkeluarga karena melihat tetangganya ribut terus dengan istrinya. Sementara itu, yang lain berkeinginan berkeluarga karena dia memiliki contoh kedamaian yang ditunjukkan oleh tetangganya yang bernama Pak Halim yang sesuai dengan namanya ‘penyantun, penuh kasih sayang’.

Berkeluarga merupakan kebutuhan manusia yang normal. Pada umumnya manusia ingin berkeluarga agar terpenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan sosiologis manusia. Jika seseorang sudah memiliki kemampuan untuk berkeluarga, akan dapat dirasakan ketenangan batinnya. Kesendirian pada hakikatnya banyak menimbulkan kegalauan dalam hati. Bahkan, kesendirian dapat mendatangkan kesuntukan hati. Namun, jika ada teman yang dapat diajak bicara di kala sedih, berbincang di kala ada masalah, dan berkelakar di kala riang, berkeluarga menjadi penting. Belum lagi secara sosiologis seseorang memerlukan teman hidup yang mampu memberikan bantuan di kala diperlukan, memberikan kelapangan dalam kesempitan, mengingatkan di kala lupa, mengehentikan di kala terlanjur. Apalagi, secara sosiologis manusia tidak mungkin hidup sendiri, tetapi memerlukan keberadaan orang lain di sampingnya.

Berkeluarga akan menjadikan seseorang lebih dewasa dalam berpikir, matang dalam bersikap, bersemangat dalam bekerja, bertanggung jawab dalam bertindak, kreatif dalam berusaha, dan produktif dalam berkarya. Kedewasaan berpikir akan muncul karena dia sudah meninggalkan masa remajanya. Matang dalam bersikap karena dia memasuki keluarga yang selama ini asing baginya. Bersemangat dalam bekerja karena dia harus membiayai orang lain dan keluarganya yang memerlukan tambahan dari apa yang dia peroleh ketika sendiri. Bertanggung jawab dalam bertindak karena dia dihadapkan untuk memikirkan orang lain dan orang yang selama ini belum akrab dengannya. Kreatif berusaha karena dia harus memutar otak agar mandapatkan penghasilan yang dapat membahagiakan keluarganya. Produktif dalam berkarya karena dia memerlukan hasil maksimal yang diperolehnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Karena itu, Allah SWT. menjamin orang yang hidupnya sulit pada waktu sendiri akan mudah pada waktu berkeluarga dengan firman-Nya,

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur:32)

Mungkin di antara kita sudah mengalami kondisi sebelum nikah dan setelah nikah. Tidak ada orang yang nikah justru kehidupannya makin susah dan penghasilannya makin berkurang. Jika ada yang mengalami hal seperti itu, perlu diintrospeksi diri kita ada apa penyebabnya? Pasti ada yang salah dari kita, bisa jadi niat kita menikah, sifat “perlente” kita, tetapi memiliki sifat bawaan malas, ketaatan kita kepada Pemberi rezeki? Orang yang berhasil sekarang bermula dari keluarga kecil sederhana yang pada akhirnya menjadi keluarga besar yang sukses.

Rasulullah saw. sudah memberikan dorongan kepada para pemuda agar menikah karena menikah itu mengandung banyak manfaat.

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, menikahlah! Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Siapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu dapat membentengi dirinya.” (Ahmad (I/378, 424, 425, 432); Bukhâri No. 1905, 5065, 5066); Muslim No. 1400); Tirmidzi No. 1081; Nasa-i VI/56, 57; Ibnu Majah No. 1845; Darimi II/132; Baihaqi VII/77).

Tampaknya menikah itu mengandung dua manfaat yang terkait dengan pencegahan diri dari bahaya pandangan dan kemaluan. Orang yang sudah menikah perlu menyadari bahwa pernikahan merupakan upaya untuk mampu mengendalikan syahwat mata dan kemaluan. Pandangan memang merupakan awal dari perbuatan maksiat berikutnya. Dari pandangan orang akan terdorong untuk melakukan perbuatan selanjutnya untuk bergandengan, berpeganngan, berciuman, berpelukan, dan melakukan hubungan layaknya suami istri.

Pemuda diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk menikah agar perbuatan yang dapat menyelewengkan imannya dapat dihindari. Masalahnya, apa yang diinginkan oleh nafsu melalui pandangan sampai dengan kejahatan seksual sudah tersedia di rumah sebagai pasangan yang halal dan milik sendiri. Apa pun yang dilakukan terhadap pasangan halal kita untuk memuaskan kebutuhan biologis kita tidak ada alangannya. Namun, jika belum mampu menikah, masih ada cara lain untuk dapat menundukkan pandangan dan mengerem nafsu syahwat, yaitu dengan berpuasa. Puasa akan dapat dijadikan tameng untuk mengendalihan nafsu yang cenderung untuk kemaksiatan.
وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS Yusuf: 53)

(Bersambung besok)