Hak Asuh Anak dalam Pandangan Islam


(Bagian Kedua)

Oleh Abdul Gaffar Ruskhan

Alih Asuh

Ada berapa faktor untuk memindahkan pengasuhan dari ibu kepada bapak si anak.

Pertama, status budak (ar-riqqu).
Ibu yang berstatus budak menyebabkan pengasuhan anak dilakukan oleh bapak. Pengasuhan merupakan salah satu jenis hak wilayah (tanggung jawab), sedangkan seorang budak tidak mempunyai hak wilayah karena ia sibuk dengan urusan pelayanan terhadap majikannya dan segala yang ia lakukan terbatasi hak tuannya. Walaupun begitu, pada saat ini tidak ada lagi orang memiliki budak sehingga faktor ini tidak dijumpai lagi dalam kehidupan masyarakat Islam.

Kedua, ibu yang fasik.
Ibu yang fasik adalah ibu yang keluar dari ketaatan kepada Allah SWT sehingga mengerjakan maksiat. Hal itu berarti bahwa orang fasik tidak diberi amanat untuk mengasuh anaknya. Akan dikhawatirkan nanti bahwa anaknya tidak terurus atau justru akan mengikuti perilaku ibunya. Anak dapat saja mengikuti kebaiasaan ibunya yang mulutnya tidak terkendali, sikapnya kasar, pergaulannya dengan temannya tidak baik, pakaiannya tidak memperlihatkan pakaian yang sopan, kehidupannya jauh dari kewajaran, malamnya menjadi siang baginya untuk “bekerja”, dan siangnya menjadi istirahat untuk tidur. Ibu yang seperti itu tidak layak menjadi pengasuh anaknya karena akan berdampak negatif bagi perkembangan anaknya.

Ketiga, ibu yang kafir.
Ibu yang bukan muslim tidak dapat diserahi pengasuhan anaknya. Dari pandangan Islam, ibu yang seperti itu lebih buruk lagi dari ibu yang fasik. Bukankah ibu merupakan madrasah pertama bagi anaknya. Jika ibunya tidak beriman atau murtad, dapat dipastikan anaknya akan mengikuti keyakinan ibunya. Hal itu sama saja dengan mejerumuskan anaknya ke dalam jurang kekafiran.

Rasulullah saw. bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُا أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ } الْآيَةَ

“Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini), kecuali berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian, kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi–sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat? ‘ Lalu, Abu Hurairah berkata, ‘Apabila kalian mau, bacalah firman Allah yang berbunyi, ‘…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah.” (QS Ar-Ruum: 30). (HR Bukhari)

Keempat. ibu yang menikah lagi.
Jika si ibu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain, hak pengasuhan anak gugur secara otomatis. Laki-laki lain yang dinikahi ibu adalah laki-laki yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan anaknya. Hal itu dikhawatirkan suami dari ibu anak itu tidak menerima kehadiran anak itu dan dikhawatirkan anak akan terlantar. Namun, jika ibu menikah dengan orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan anak, hak asuh ibu tidak hilang dan ibu dapat melanjutkan hak asuhnya.

Gugurnya hak asuh ibu yang kawin dengan laki-laki lain itu didasarkan pada hadis Rasulullah saw. yang sudah disebutkan,

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

“Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.”

Kelima, ibu yang sakit jiwa.
Sakit jiwa yang diidap ibu dapat menyebabkan hak asuhnya menjadi hilang. Sakit jiwa akan menimbulkan masalah terhadap anaknya, baik secara fisik, mental, maupun keselamatan anak. Jika terjadi sesuatu terhadap anaknya, hal itu akan berdampak terhadap keselamatan anak secara lahir dan batin.

Ada ibu yang stres akibat perceraian atau masalah lain yang timbul di luar perceraian. Beban mental si ibu yang berat dapat berimbas kapada anaknya sehingga anak terlantar atau teraniaya. Dalam berapa kasus yang terjadi ada ibu yang menganiaya anaknya. Ternyata secara kejiwaan si ibu mengalami tekanan mental karena beban ekonomi yang berat atau sebab lain. Oleh karena itu, pengasuhan yang dilakukan oleh ibu yang seperti itu harus dialihkan kepada bapaknya.

Selain yanh dikemukan, hak asuh itu, baik ibu maupun bapak, memiliki persyaratan yang harus diperhatikan, yakni (1) Islam, (2) balig, (3) sehat akal, (4) dapat dipercaya, (5) tidak kawin, (6) mampu mendidik anak, dan (7) mampu melakukan pengasuhan (hadanah). Jika salah sati dari syarat itu tidak terpenuhi, gugurlah hak asuh bagi ibu dan bapak si anak. Hak asuh dapat diserahkan kepada kakeh dan neneknya atau paman dan bibinya.

Setelah pengasuhan anak oleh ibu sampai usia mumayiz (12 tahun), anak diberi kebebasan untuk memilih apakah akan tetap bersama ibunya atau memilih bersama bapaknya. Ibu tidak boleh melarang anaknya untuk menetapkan pilihan itu. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 105 disebutkan “Dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.”

Memang percerian itu berdampak terhadap anak. Anak yang seharusnya tumbuh kembang dengan baik terhalang karena perceraian ibu bapaknya. Dampaknya bukan saja terhadap pengasuhan, melainkan juga terhadap perkembangan psikologisnya. Anak seharusnya mendapatkan kasih sayang yang sempurna dari ayahbundanya, tetapi buyar sehingga anak merasa masa depannya terombang-ambing. Dia melihat anak yang lain ada bapaknya, tetapi sitiap hari dia hanya menyaksikan ibunya.

Jika anak bertanya, “Kok Papa tidak pulang-pulang?” Apa jawaban si ibu? Bisa mengatakan sejujurnya, tetapi anak belum mengerti tentang itu. Bisa juga membohongi anak, mungkin juga menghasut anak bahwa Papa jahat, Papa kabur, Papa tidak bertanggung jawab! Jangan libatkan anak untuk mengetahui masalah orang tua, jangan bentuk karakter anak untuk benci kepada bapaknya, jangan suguhi anak tentang permusuhan dengan bapaknya. Sebaliknya, jika anak berada di bawah pengasuahan bapak, biarkan anak berkembang dengan baik, jangan sampai ditanamkan kepada anak kebencian kepada bundanya, jangan sampai anak tidak mengenali ibunya, jangan jadikan anak durhaka kepada ibunya.

Pengasuhan itu hanya kesempatan yang diberikan kepada masing-masing. Manfaatkan kesempatan itu untuk menjadikan anak sayang kepada orang tuanya, baik ibu maupun bapaknya. Abu dan bapak dari anak kita hanya masing-masing satu orang. Ke mana pun anak disuruh mencari ibunya, anak tidak dapat mencari gantinya. Ibu yang melahirkan. Namun, ibu tidak akan dapat melahirkan anaknya tanpa peran bapaknya untuk “membuahi” sang ibu. Oleh karena itu, anak adalah milik berdua. Silakan anak yang sudah dewasa berpikir bahwa kelalaian salah seorang di antara orang tua kita hanya karena tidak adanya titik temu di antara mereka.

Tidak ada niat mereka dari awal untuk berpisah, tetapi perjalanan waktu dapat mengubah pilihan mereka. Sejak dikandung, dilahirkan, disusui, dan diasuh pada waktu kecil, dia adalah ibu kita. Sejak bersama bunda sebelum kita lahir, mengais rezeki ketika masih di dalam kandungan ibu, mencari biaya hidup pada saat bapak bahagia dengan bunda, sampai pracerai, bapak sudah berusaha untuk berbuat yang terbaik bagi keluarga, Namun, takdir menentukan lain dan harus berpisah dengan bunda. Jangan hilangkan jasa bapak kita yang telah mempunyai andil di dalam hidup kita. Kalaupun ada kesalahan, nilailah kebaikan yang pernah bersemi di dalam diri kita, balas kekurangan dan kelalaian orang tua kita dengan perbuatan baik kepada mereka.

Wallahu a’lam bis-sawab.

‎والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Tangerang, 20 Juli 2020