Dilema terhadap Orang Tua yang Meceraikan atau Minta Cerai Anaknya

Oleh Abdul Gaffar Ruskhan

Perceraian

Perceraian itu ada yang dilakukan karena talak dan ada pula karena permintaan istri (gugat cerai). Talak adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami, baik secara langsung dengan ucapan yang jelas (ṣariḥ) maupun yang dilakukan dengan kiasan (kināyah). Sementara itu, gugat cerai adalah perceraian atas permintaan istri yang diajukan ke dan ditetapkan oleh pengadilan. Ada dua istilah yang digunakan di dalam Islam, yakni fasakh dan khuluk. Fasakh adalah lepasnya ikatan nikah suami istri dan istri tidak mengembalikan maharnya atau memberikan kompensasi pada suaminya. Sementara itu, khuluk adalah gugatan cerai istri sehingga ia mengembalikan sejumlah harta atau maharnya kepada sang suami.

Ada beberapa hukum dalam menjatuhkan talak, antara lain, wajib dan haram.

Perceraian wajib dilalukan jika
a. suami dan istri tidak dapat didamaikan lagi;
b. tidak terjadi kata sepakat dari dua orang wakil, baik dari pihak suami maupun istri, untuk perdamaian rumah tangga yang hendak bercerai; dan
c. adanya pendapat dari pihak pengadilan yang menyatakan bahwa perceraian adalah jalan yang terbaik.

Perceraian dapat saja terjadi yang disebabkan oleh hal-hal berikut.

a. Istri yang mudah bersentuhan dengan laki-laki lain

Istri yang senang tangannya disentuh oleh orang lain merupakan perilaku istri yang gampang diajak atau berkeinginan dengan laki-laki lain. Jika terbiasa bersentuhan dengan laki-laki lain, perilaku itu akan meningkat dengan saling ciuman (cipika, cipiki). Bahkan, berlanjut dengan gampang diajak tidur oleh lelaki lain. Rasulullah saw. memerintahkan suami untuk menceraikan istri yang seperti itu dengan sabdanya, “Ada seorang laki-laki yang datang menghadap Rasulullah, lalu berkata, “Ya Rasulullah, saya memiliki wanita yang tidak menolak tangan orang yang menyentuh.” Maka, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Ceraikan dia.” (HR. An-Nasa’i)

Jika hal merupakan kebiasaan wanita yang suaminya tidak memberikan tanggapan yang berarti terhadap perilaku istrinya itu, orang tua dapat ikut campur terhadap perilaku mantunya. Jika orang tua tahu pasti akan perilaku mantunya yang sering terlihat bepergian dengan laki-laki lain, orang tua dapat menyuruh anaknya menceraikan mantunya. Perilaku “gampang” diajak laki-laki lain itu merupakan perilaku yang buruk dari pandangan Islam. Jika orang tua mengambil inisiatif untuk menceraikan anaknya suami istri, hal itu tidak masalah di dalam pandangan agama.

b. Istri yang durhaka (nusyuz)

Istri yang durhaka (nusyuz) terhadap suami merupakan perilaku yang sangat dicela dalam Islam. Kedurhakaan istri terlihat dari sikap suka membantah, suka berkata kasar, suka memerintah, suka mengatur, suka memaki, suka ringan tangan. Ada memang tipe perempuan yang seperti itu. Padahal, posisinya adalah istri di bawah pimpinan suaminya. Jika ada serial senetron berjudul “Suami-Suami Takut Istri”, itu merupakan gambaran kenyataan di dalam masyarakat bahwa ada istri yang galak kepada suaminya sehingga suami takut kepadanya.

Suami adalah kepala rumah tangga yang harus diaati oleh istri. Istri pun harus menyadari posisi itu. Walaupun status sosial istri lebih baik dari suami, pangkat istri lebih tinggi daripada suami, bahkan ada istri menjadi atasannya di kantor, sedangkan suaminya pangkatnya dan kedudukannya rendah di kantornya, suami tetap menjadi pemimpin di rumah tangganya.

Suami dapat menceraikan istri yang susah diatur, bahkan mengatur suami. Suami mempunyai hak itu mengembalikan istrinya ke rumah orang tuanya atau meninggalkan istrinya dengan talak terhadapnya. Jika suami tidak lagi memiliki harga diri di hadapan istrinya, suami dapat mengambil keputusan untuk berpisah dengan istri. Namun, keputusan untuk bercerai itu dilakukan setelah dilakukan pembinaan atau nasihat terhadap istrinya. Cerai memang merupakan keputusan pahit yang dilakukan, tetapi kalau itu yang terbaik walau Rasulullah saw. menyebutkan perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT, hal itu dibolehkan, bahkan wajib dilakukan. Walaupun bdegitu ada tahap-tahap yang harus dilakukan terlebih adahulu berdasarkan firman Allah SWT,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا ﴿۳۶﴾ وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا﴿۳۵﴾
(34) Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatnggi lagi Mahabesar. (35) Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS An-Nisa: 34)

Berdasarkan ayat tersebut, suami tidak langsung menceraikan istrinya. Ada tahap-tahap peringatan, nasihat, dan peran penengah (wakil) kedua belah pihak. Artinya, langkah yang dilakukan adalah (1) nasihat, (2) pisah ranjang, dan (3) pukulan—yang sifatnya mengingatkan dan memberi pelajaran. Jika hal itu dapat mengembalikan kepatuhan istri, suami tidak boleh mencari-cari alasan untuk melakukan yang paling terburuk, yaitu menceraikannya. Namun, langkah berikutnya adalah (4) adanya penengah (hakam) dari kedua belah pihak. Jika penegah mencari yang terbaik berupa perdamaian, kedua belah yang bersengketa (suami-istri) harus menerima dengan senang hati karena Allah akan “turut campur” dalam meberikan taufik atau petunjuk kepada kedua belah pikak yang bertikai. Jadi, talak tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa.

c. Istri yang murtad

Murtad adalah perbuatan kembali atau masuknya ke dalam kekufuran. Istri yang berpindah agama dan meninggalkan agama Islam merupakan perbuatan yang menyebabkan hubungan suami istri bermasalah. Para ulama fikih mengatakan bahwa hubungan suami istri terputus secara otomatis (firkah) dengan berpindahnya salah satu andatara suami istri. Hanya dalam mazhab Syafii jika murtad itu terjadi sebelum dukhul (hubungan bbadan), otomatis terjadi perceraian (fasakh). Namun, jiika murtad itu terjadi setelah dukhul, ada tenggang waktu (idah). Jika sebelum idah berakhir, tidak masalah kembalinya salah satu yang murtad ke dalam kelurga semula tanpa pernikahan kembali. Sementara itu, dari kalangan mazhab Hanafi, murtad itu menyebabkan talk tigah jatuh. Artinya, tidak ada kesempatan untuk bersatu kembali kedua belah piha itu, kecuali istri sudah melakukan nikah dengan orang lain, lalu cerai dengan suami barunya. Allah SWT berfirman tentang murtadnya salah seorang suami istri yang menyebabkan tidak halalnya lagi berumah tangga,

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Maka, jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka (QS Al-Mumtahanah: 10)

d. Istri berpenyakit tertentu

Ada beberapa penyakit yang dapat dijadikan alasan bagi suami untuk menceraikan istrinya, seperti gila, kusta, sopak, dan tulang pada kemaluan. Karena tujuan berkeluarga adalah ketenangan, kebahagiaan, dan ketenteraman, adanya penyakit seperti itu dapat mengganggu keutuhan rumah tangga. Karena itu, suami dapat menceraikan istrinya. Sebaliknya, jika suami pun juga memiliki penyakit yang sama, istri pun berhak mengajukan gugat cerai.

e. Istri gugat cerai

Istri gugat cerai yang berakibat pisah (fasakh) dapat saja terjadi di dalam rumah tangga. Hal itu dilakukan oleh istri dengan alasan yang sesuai dengan syariat Islam, seperti suami yang tidak melakukan kewajiban dasar Islam seperti tidak salat, gemar bermaksiat, tidak memberi nafkah lahir dan batin dalam waktu yang lama, nusyuz (lancang dan kasar) atau aniaya terhadap istrinya, hilang tanpa berita selama empat tahun, dan berpindah keyakinan. Gugatan cerai itu diajukan kepada pengadilan. Namun, jika istri ingin meminta cerai karena alasan yang tidak dapat dibenarkan, hal itu merupakan perbuatan yang sangat dimurkai Allah SWT.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja perempuan yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada sebab yang mendesak, haram baginya bau surga.” (HR Ahmad, Abu Daud, Al-Turmudzi, dan Ibnu Majah).

f. Kondisi ekonomi rumah tangga

Kasus percerian begitu tinggi di kalangan keluarga. Pada kondisi ekonomi yang sulit, apalagi pada saat pandemi Covid 19, akan banyak masalah di dalam keluarga. Kesulitan ekonomi dapat menyebabkan putusnya hubungan keluarga. Istri tidak kuat menghadapi kondisi itu, sedangkan suami tidak mempunyai kegiatan untuk mendapakan penghasilan. Perceraian bisa saja terjadi. Oleh karena itu, suami harus menyikapi perceraian itu dengan matang, baik secara hukum maupun dampaknya.

Perceraian haram jika dilakukan oleh suami ketika istri:
a. sedang dalam masa haid atau nifas;
b. dalam keadaan suci yang telah disetubuhi;
c. dalam keadaan sakit dengan tujuan agar sang istri tidak menuntut harta;
d. sudah dijatuhi talak tiga sekaligus atau juga bisa dengan mengucapkan talak satu, tetapi pengucapannya dilakukan secara berulang-ulang sehingga mencapai tiga kali atau bahkan lebih.

Setiap orang pasti berharap rumah tangganya bahagia. Begitu diijabkabulkan suatu pernikahan sepasang suami istri berharap membina rumah tangga yang rukun, damai, dn sejahtera (sakinah, mawadah, rahmah). Perbedaan pendapat dan riak-riak di dalam rumah tangga merupakan hal yang biasa. Itulah dinamika berkeluarga. Setiap perbedaan dan perselisihan di dalam rumah tangga akan selesai jika masing-masing menyadari posisi, hak, dan tanggung jawabnya. Jika kesadaran itu ada, perbedaan dan perselisihan di rumah tangga tidak akan terjadi.

Perceraian adalah suatu yang tidak diinginkan oleh orang yang berumah tangga. Masih banyak jalan lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi keretakan rumah tangga. Rekat keretakan itu dengan kelapangan hati, kesabaran, ingatan pada keindahan bersama, dan indahnya kebersamaan dengan anak-anak kita. Jika perceraian sebagai pilihan, jangan terburu-buru memutuskannya. Kemarahan dalam mengambil keputusan apa pun merupakan tindakan bodoh dan bisa berujung penyesalan. Karena itu, ambil langkah-langkah yang dituntun dalam Islam, tenangkan hati, dan minta pertolongan kepada Allah SWT (istikharah), baru diambil keputusan.

Wallāhu a’lam biṣ-ṣawāb.

‎والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Tangerang, 17 Juli 2020