Bagian Ketiga: Puncak Haji di Arafah

Oleh Abdul Gaffar Ruskhan

‎السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Apa kabar saudaraku? Semoga kita senantiasa dianugerahi kesehatan, kebahagiaan hidup, dan mampu melaksanakan perintah Allah SWT dengan sebagik-baiknya. Amin!

Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang sangat singkat,

الحَـجُّ عَـرَفَةٌ

“Haji adalah Arafah” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim)

Pada tanggal 9 Zulhijah jemaah haji telah berada di Padang Arafah sebagai puncak pelaksanaan ibadah haji. Wukuf di Arafah merupakan bagian dari rukun haji yang terdiri atas (1) ihram, (2) wukuf, (3) tawaf ifadah, (4) sai, (5) tahalul, dan (6) tertib. Selain itu, ada juga wajib haji berupa (1) berihram dari tempat tertentu (miqat), (2) bermalam (mabit) di Muzdalifah, (3) melontar jamrah (Aqabah pada 10 Zulhijah dan semua jamrah Ula, jamrah Wusta, dan jamrah Aqabah pada 11 dan 12 Zulhijah), (4) bermalam (mabit) di Mina pada tasyrik (malam tanggal, 11, 12, dan 13 Zulhijah), dan (5) meninggalkan larangan dalam haji.

Puncak ibadah haji adalah hujaj (para haji) berdiam diri (wukuf) dari tergelincir matahari sampai magrib di Padang Arafah, suatu padang yang tandus kira-kira 22 km dari kota Mekah. Di sana semua orang yang berhaji berkumpul dengan pakaian ihram tak berjahit (bagi laki-laki). Siapa pun yang berniat haji berangkat dari Mekah menuju Arafah. Bahkan, orang sakit yang berniat haji pun dibawa dengan ambulan ke sana dalam safari wukuf. Tanpa wukuf di Arafah, seseorang belum berhaji. Oleh karena itu, sabda Rasulullah di awal “Haji adalah Arafah” menjadi ruh dari haji sehingga orang yang tidak wukuf di Arafah belum berhaji.

Pada dasarnya pelaksanaan haji merupakan ibadah yang mengandung kegiatan menapaktilasi para nabi pendahulu Nabi Muhammad saw. (Adam, Ibrahim, dan Ismail). Begitu pula wukuf di Arafah sebagai tempat pertemuan Nabi Adam a.s. dengan Siti Hawa yang terlah berpisah berpuluh tahun (40 tahun) sejak dikeluarkan dari surga. Oleh karena itu, haji itu merupakan kegiatan jasmani dan rohani yang mengandung banyak hikmah dan filosofi yang terkandung di baliknya.

Ketika berangkat dari Mekah, berada di Arafah, bahkan menuju Mina yang terdengar adalah lafal talbiah yang berkumandang dari lisan jemaah haji. Terdengar jelas dan sayup-sayup kalimat pemenuhan panggilan Ilahi di mana-mana.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ.لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ.إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالمُلْكُ.لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Labbaik Allāhumma labbaik. Labbaik lā syarīka laka labbaik. Innalhamda wan ni’mata, laka wal mulk, lā syarīka lak”.

“Aku menjawab panggilan-Mu, ya Allah, aku menjawab panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kekuasaan hanya milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”

Talbiah merupakan ungkapan kesediaan hamba untuk memenuhi panggilan Allah SWT, dengan ucapan “labbaik” dan diulang berkali-kali. Hal itu menggambarkan bahwa manusia menunjukkan ketaatan dan kepatuhan untuk memenuhi seruan Allah SWT untuk melaksanakan haji. Ketaatan itu ditunjukkan dengan ucapan kepasrahan dan diikuti dengan pengakuan hamba bahwa Allah SWT tidak ada sekutu-Nya (Lā syarīka laka labbaik). Kalimat itu merupakan prinsip tauhid bagi setiap mukmin yang hanya Allah SWT sebagai ilah yang berhak disembah.

Para hujaj melanjutkan pengakuan bahwa pujian, nikmat, dan kekuasaan hanya milik-Mu (Allah SWT) (Innal-hamda wan ni’mata, laka wal mulk). Lalu, ditutup dengan pengakuan kembali, “Tiada sekutu bagi-Mu’ (lā syariika lak)”.

Talbiah yang dikemandangkan jemaah haji diikuti juga oleh makhluk Allah SWT yang ada di sekeliling nmereka, baik bebatuan, pepehonan, maupun makhluk bernyawa yang lain. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Tidaklah seorang muslim menyampaikan talbiah, kecuali ikut bertalbiah juga di kanan kirinya bebatuan, pepohonan, dan makhluk bernyawa hingga berbagai belahan di sini dan di sini (maksudnya di kanan dan kiri).” (HR Tirmizi No. 828)

Di Arafah manusia melepaskan simbol-simbol yang melekat selama ini pada dirinya. Tiada perbedaan antara raja/presiden dan rakyatnya, orang berpangkat dan tidak, bangsawan dan orang biasa, atasan dan bawahan, majikan dan pembantu. Semuanya adalah hamba Allah yang mengosongkan hatinya kapada hal-hal yang sifatnya keduniaan berupa kebesaran, kemuliaan, kebangsawanan, serta kedudukan di pemerintahan dan kemasyarakatan. Allah tidak memandang siapa kita di negeri masing-masing. Yang berada di sana adalah hamba yang hina mengadukan kesalahan dan dosa-dosanya selama ini, kelalaiannya yang disibukkan oleh kenikmatan duniawi, serta keangkuhan karena kedudukan dan keberadaannya. Mereka hanya bermunajat dengan berzikir, beristigfar, bertaubat, dan memohon kapada yang Mahakuasa.

Di sanalah dilakukan perenungan terhadap diri yang cicil di hadapan Allah SWT. Penghambaan dirinya sebagai tamu-tamu Allah tampak dengan menyampaikan ketulusan hatinya sambil meneteskan air mata dan membayangkan dosa-dosa yang dilakukan selama ini. Manusia dalam kekhusukannya merasa hina dan tidak apa-apanya di hadapam Penciptanya. Dengan video dosa yang berputar di dalam benaknya, hamba menyampaikan kekeliruannya dan maksiat yang mereka lakukan sepanjang hidupnya kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Pengampun. Mungkin ada kebaikan yang mereka lakukan, tetapi keburukan dan dosanya mungkin lebih besar daripada kebaikan dan pahalanya.

Keluh kesah hamba disampaikan kepada Yang Maha Pemaaf agar Dia memaafkan dan mengampuni segala dosa dan kesalahan, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Kemaafan dan keampunan Allah akan turun manakala hamba yang datang dengan ketulusan memohon kepada-Nya. Dosa-dosa mereka dihapuskan oleh Allah seolah-olah mereka seperti bayi yang baru lahir. Noda yang melekat di tubuh mereka sehingga menjadi beban berat yang mereka tanggung selama ini akan sirna dengan keampunan yang diberikan Allah kepada mereka.

Ada beberapa keutamaan Arafah bagi manusia, antara lain , adalah sebagai berikut.

Pertama, hari Arafah sebagai hari kesempurnaan agama dan nikmat Allah SWT

Kesempurnaan agama dan nikmat Allah SWT akan diperoleh karena ayat terakhir turun kepada Rasulullah di Arafah, yakni

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini Aku telah menyempurnakan kepadamu agamumu, Aku sempurnakan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku rida kepadamu Islam sebagai agamamu.” (QS Al-Maidah: 3)

Oleh karena, itu haji sebagai amal paripurna dari sekian kewajiban dasar mukmin berfungsi menyempurnakan amalnya di sana.

Kedua, hari Arafah sebagai hari pengampunan dosa dan pembebasan dari siksa neraka

Rasulullah saw. bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arafah. Dia akan mendekati mereka, lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian, Allah berfirman, ‘Apa yang diinginkan oleh mereka?’” (HR. Muslim no. 1348 dari Aisyah).

Orang yang berhaji tidak melewatkan kesempatan wukuf di Arafah unntuk bertaubah dari dosa-dosanya dan beristgfar dari dosa yang pernah dilakukan. Hamba yang bersimpuh di sana dan berdoa dengan tulus tanpa terasa akan bercucuran air mata penyesalan dan ingin menatap masa dengan yang penuh dengan rahmat dan bimbingan Allah SWT.

Ketiga, dikabulkan doanya

Rasulullah saw bersabda, “Sebaik baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR Tirmidzi)

Karena doa yang disampaikan di sana sepenuh hati dan menghambakan diri di hadapan Allah SWT, jaminan doa untuk dikabulkan akan dapat diraih. Doa yang terbaik berdasarkan hadis Rasulullah saw. adalah pada hari Arafah dengan sabdanya,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para nabi sebelumku adalah ucapan, “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian, dan Allah yang menguasai segala sesuatu.” (HR Tirmidzi No. 3585; Ahmad II: 210)

Doa taubat yang disampaikan oleh Nabi ada bersama Hawa setelah bertemu di Padang Arafah adalah doanya dalam surah Al-Araf ayat 23,
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah zalimkan diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan Engkau merahmati kami, tentulah kami menjadi orang yang rugi.’” (QS Al-A’raf:23)

Keempat, mendapat pahala yang besar

Allah SWT berfirman,

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu’, dan kaum pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yan berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS Al-Ahzab: 35)

Kelima, dimudahkan masuk surga

Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu katanya, “Aku berkata kepada Rasulullah saw.,
“Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga.? ; beliau menjawab : “Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu” (HR Nasa’i 4/165, Ibnu Hibban hlm. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421).

Itulah di antara keutamaan hamba yang berada di Arafah dengan berbagai amal dalam puncak pelaksanaan ibadah haji. Namun, mereka yang tidak berhaji dapat melakukan amal yang dapat mengisi hari Araafah dengan melakukan salat sunah dan puasa sunah, memperbanyak doa, serta menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat mengurangi nilai kemuliaan hari Arafah.

(Bersambung besok)

Wallahu a’lam biṣ-ṣawab

‎والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Tangerang, 30 Juli 2020