Bagian Keempat: Semangat Iduladha dalam Kondisi Pandemi Covid-19


Oleh Abdul Gaffar Ruskhan

‎السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Apa kabar saudaraku? Semoga kita senantiasa dianugerahi kesehatan, kebahagiaan hidup, dan mampu melaksanakan perintah Allah SWT dengan sebagik-baiknya. Amin!

Allah SWT berfirman,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan karunia sangat banyak kepadamu.Maka, salatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah.” (QS Al-Kausar: 1—2)

اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tiada Tuhan selain Allah. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, dan segala puji bagi Allah.”

Pada Iduladha seruruh umat Islam berbondong-bondong ke tanah lapang, masjid, dan musala untuk melaksanakan salat Iduladha. Kemeriahan itu tampaknya pada tahun 1441 H ini berkurang, termasuk di Masjidilharam, Mekah, karena adanya pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia. Walaupun begitu, semangat Iduladha masih terlihat di mana-mana. Dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan di tempat pelaksaanaan salat Iduladha, umat Islam masih tetap antusias melaksanakan salat Iduladha.

Ada dua momen penting pada 10 Zulhijah ini. Momen pertama, para jemaah haji sedang mabit (bermalam) di Mina untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji. Pada hari ini mereka melaksanakan pelontaran Jamrah Aqabah dan diikuti dua atau tiga hari ke depan untuk melakukan pelontaran tiga jamrah: Jamrah Ula, Wusta, dan Aqabah.Kedua, pelaksanakan Iduladha (Idulkurban). Ada dua kegiatan di dalam perayaan Iduladha, yakni pelaksanaan salat Iduladha dan penyembelihan hewan kurban.

Mengapa 10 Zulhijah dirayakan sebagai hari raya keagamaan? Pada hakikatnya perayaan Iduladha berlangsung pada 10—13 Zulhijah. Pada 10 Zulhijah disebut hari Nahar (penyembelihan) dan 11—13 Zulhijah disebut hari Tasyrik (hari makan dan minum sehingga haram berpuasa) saat hari-hari itu jemaah haji berada di Mina untuk melontar jamrah). Jika jemaah melakukan pelontaran jamrah sampai dengan tanggal 12 Zulhijah, berarti mereka melakukan nafar awal (Meninggalkan Mina lebih awal).Namun, jika melakukannya sampai 13 Zulhijah, mereka melakukan nafar sani (meninggalkan Mina pada hari terakhir). Oleh karena itu, Iduladha di negara-negara Timur Tengah dijadikan sebagai hari raya besar yang berlansung selama empat hari.

Idulkurban tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa asal muasal terjadinya kewajiban berkurban atau menymbelih hewan kurban. Kurban itu merupakan sunah Nabi Ibrahim a.s. yang dilestarikan oleh Nabi Muhammad saw. sehingga disunahkan pula kepada umat Islam. Sunah itu akan berlanjut sampai dengan akhir zaman.

Ketika Ismail sedang remaja (ada yang berpendapat 7—8 tahun, menjelang 13 tahun, ada lagi 14—21 tahun), Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih Ismail. Mimpi itu datang berturut-turut dan itu pertanda wahyu. Apa yang dilihat Ibrahim dalam mimpinya disampaikan kepada Ismail. Dialog antara bapak dan anak itu diabadikan di dalam Al-Qur’an.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَہُ السَّعۡیَ قَالَ یٰبُنَیَّ اِنِّیۡۤ اَرٰی فِی الۡمَنَامِ اَنِّیۡۤ اَذۡبَحُکَ فَانۡظُرۡ مَاذَا تَرٰی ؕ قَالَ یٰۤاَبَتِ افۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُ ۫ سَتَجِدُنِیۡۤ اِنۡ شَآءَ اللّٰہُ مِنَ الصّٰبِرِیۡنَ
“Maka, tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab, “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS As-Saffat:102)

Ibrahim sebagai bapak tampaknya memiliki pandangan kebapakan yang tidak mau memutuskan sesuatu secara sepihak. Apa yang menjadi mimpinya itu disampaikannya kepada anaknya, Ismail. Itulah cara Ibrahim yang bijak untuk mengambil keputusan walaupum pahit bagi anaknya, apalagi bagi dia. Sebagai bapak secara keseluruhan, perintah menyembelih anak itu sesutu yang berat. Jika anak tidak memiliki kesalekhan yang tinggi, bisa jadi apa yang disampaikan bapaknya akan ditolah mentahmentah, bahkan bapak dianggap gila. Namun, Ismail kecil tidak membantah, tidak mengelak, dan tidak mengatakan sesuatu yang tidak mengenakkan bapannya. Ismail justru mendorong bapaknya dan menyegerakan penyembelihannya dan dia akan sabar menghadapi penyembelihan itu. Suhbanallah, suatu karakter yang jarang dimiliki oleh anak seusianya.

Pada saatnya Ismail ditidurkan. Pisau yang sudah disiapkan segera dilewatkan ke leher Ismail. Namun, Allah SWT mengganti sembelihannya itu dengan seekor kibas yang diturunkan Allah SWT. Ismail terbebas dari penyembelihan. Hal itu disebutkan di dalam firman Allah SWT,

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (١٠٣) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (١٠٤) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٠٥) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ (١٠٦) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (١٠٧) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ (١٠٨)

  1. Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). 104. Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim!
  2. Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. 107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.108. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.

Penyembelihan terhadap Ismail tidak jadi dilakukan Ibrahim. Mimpi itu memang benar dan telah dibenarkannya (QS Saffat: 105). Allah hanya menguji ketaatan Nabi Ibrahim apakah siap menerima perintah Allah SWT walaupun harus mengurbankan anak semata wayang demi ketaatan dan kecintaan seorang hamba terhadap perintah Allah dan kecintaan terhadap-Nya (QS Saffat: 106). Allah pun tidak akan menyuruh hamba-Nya melakukan sesuatu yang di luar kemampuannya, tetapi menggantinya dengan sembelihan yang besar berupa kibas (QS Saffat: 107). Hal itu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelah Ibrahim sehingga berkurban menjadi sunah bagi umat setelahnya (QS Saffat: 108)

Berkurban bagi umat Islam merupakan sunah yang harus dimaknai dengan cerdas. Kita saat ini hanya diperintah untuk berkurban dengan seekor kambing adau domba. Perintahnya jelas dalam ayang kedua surah Al-Kausar, :Maka, salat dan berkurbanlah!” Salat Iduladha sudah kita lakukan dengan baik, tetapi bagaimana dengan berkurban? Mampukah kita melaksanakannya?

Sorang mukmin yang berhitung secara matematis akan berpikir, “ Bukankah terlalu besar uang yang kita keluarkan untuk berkurban? Paling tidak dai akan mengeluarkan uang antara 2,5—4 juta rupiah untuk berkurban.

Jika kita kembali kepada ayat pertama surah Al-Kausar, “Sungguh Kami telah memberimu nikmat yang banyak,” terlalu sempit cara berpikir kita. Sudah berapa banyak nikmat Allah yang sudah kita terima? Semuanya diberikan gratis dari Allah. Andaikata saja Allah mencolek sedikit saja ginjal Anda hingga fungsinya terganggu, berapa biaya yang harus Anda keluarkan? Bayangkan jika Anda harus cuci darah? Puluhan juta akan Anda habiskan untuk mengobati penyakit Anda. Belum lagi anggota keluarga yang lain akan sibuk dengan penyakit Anda itu? Artinya, dapatkah uang pengobatan penyakit itu dialihkan sedikit untuk membeli hewan kurban yang sesuai dengan kemampuan kita? Insyaallah, Allah akan menjaga kita dari berbagai penyakit.

Mengeluarkan uang 2,5—4 juta memang berat. Maukah Anda mengurbankan anak Anda andaikan—bisa kita berandai-andai—diperintah untuk mengurbankannya sebagaimana yang dilakukan Ibrahim? Memang mustahil, tetapi belumlah sebesar pengorbanan seorang bapak untuk mengurbankan anak kesayangannya. Andaikan anak Anda sendiri diculik seseorang, lalu penculik meminta tebusan 1 miliar, orang tua pasti akan mengusahakan karena begitu sayangnya dan berharganya anak yang tidak dapat dihargai dengan uang. Pertimbangkanlah, Allah hanya minta tebusan kepada kita berupa kurban dalam jumlah tertentu. Itu pun satu ekor kambing/domba atau 1/7 sapi untuk satu keluarga. Berat mengeluargkan uang sekaligus, ada baiknya dicicil per bulan kepada panitia sejak bulan Muharam sehingga nanti awal Zulhijah uangnya sudah cukup untuk berkurban. Hal ityu dilakukan di lingkungan saya.

Dalam suasana wabah korona ini orang beranggapan akan terjadi penurunan drastis jumlah hewan yang akan disembelih. Masalahnya, kondisi ekonomi masyarakat menurun drastis yang tentu akan berdampak terhadap kesempatan orang berkurban. Namun, di lingkungan saya dalam satu rukun warga (RW dengan 8 rukun tetanga/RT) dari 1 masjid dan 2 musala, justru ada peningkatan. Dulu ada 14 ekor sapi dan 60 ekor kambing. Tahun ini yang baru terkumpul sampai dengan Kamis, pukul 21.00 WIB sudah ada 15 ekor sapi dan 54 ekor kambing. Karena penyembelihan sehari setelah Lebaran, jumlah itu akan bertambah lagi. Hal itu menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 tidak berpengaruh terhadap minat umat Islam untuk berkurban.

Berkurban adalah ujian keimanan dan ketakwaan mukmin apakah lebih cinta akan harta bendanya daripada cinta akan Allah dan Rasul-Nya. Bukankah harta itu pasti akan habis dan tidak pernah mencukupi. Di situlah kita diuji. Mukmin yang hakiki yakin betul akan janji Allah SWT sehingga tidak merasa sungkan untuk menyisihkan sebagian harta bendanya di jalan Allah (fi sabilillah).

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Apa saja yang kamu nafkahkan, Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” [QS Saba’: 39].

Jangan sampai kita yang sudah memiliki kepampuan untuk berkurban, tetapi tidak berkurban. Kita dicap oleh Rasulullah sebagai orang yang tidak lagi berhak ke masjid/musala. Itu merupakan kiasan dari Nabi saw. bahwa mukmin yang seperti itu sudah keluar dari keimanannya.

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

“Siapa mendapatkan kelapangan, tetapi tidak berkurban, janganlah dia mendekati tempat salat kami.” (Ibnu Majah No. 3123, dan Ahmad No. 8273)

Apa yang kita ucapkan setiap mengawali salat merupakan ikrar kita terhadap pentingnya berkurban karena itu hanyalah untuk Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين

“Katakanlah: sesungguhnya salatku, kurbanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” [QS Al-An’am: 162]

Kita sudah berkomitmen paling kurang tujuh belas kali sehari dan semalam dalam salat bahwa salatku, kurbanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah. Komitmen itu harus kita pegang erat sehingga kurban itu bagian dari tekad kita. Kurban menjadi keperluan kita setiap tahunnya sehingga Iduladha tidak kita biarkan lewat tanpa keikutsertaan kita berbagi kapada masyarakat di lingkungan kita melalui daging kurban.

”Selamat Iduladha 1441 H. Taqabbalallāhu minnā waminkum. Taqabbal yā Karīm.”

(Bersambung besok)

Wallahu a’lam biṣ-ṣawab

‎والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Tangerang, 31 Juli 2020