Sumber Pengetahuan: Indera(Bagian XXXXI)

oleh: Wahyudi sarju Abdurrahim

فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ كلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

Syarah HPT:
Kata Kunci: Kata Kunci: لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (Untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama).
Indera menjadi salah satu sumber pengetahuan yang berhubungan langsung dengan alam fisik. Para filsuf beranggapan bahwa kemampuan manusia dalam mengindera sesuatu, merupakan fungsi dari nafs al-insaniyah, spesifiknya menjadi tugas dari nafs al-mudrikah. Semua sepakat bahwa indera menjadi sumber pengetahuan. Barangkali hanya kaum shopi yang mengingkari bahwa indera tidak dapat dipercaya dan bukan menjadi sarana pengetahuan.
Imam al-Ghazali dalam kitab al-munqidh minadhalal pada mulanya memang meragukan kemampuan indera sebagai sarana pengetahuan. Hal ini menurutnya karena indera sering tertipu. Misalnya adalah bayangan pohon yang dianggap diam tak bergerak. Padahal sesungguhnya bayangan pohon tadi bergerak dengan perlahan sesuai dengan pergerakan matahari.
Hal ini juga terjadi pada mata kita yang tertipu ketika melihat tongkat yang sebagian dicelupkan ke dalam air. Mata melihat bahwa tongkat tersebut bengkok dan tidak lurus, padahal sesungguhnya tongkat itu lurus dan tidak bengkok.
Sikap ragu-ragu Ghazali ini sering disebut dengan sikap skeptic atas kebenaran. Namun skeptic al-Ghazali ini sesungguhnya adalah skeptis manhaji karena ia sekadar sebagai sebuah sarana untuk menentukan sebuah keyakinan kebenaran. Ia bukan skeptic mutlak sebagaimana kaum shopi yang menolak adanya kebenaran. Skeptic al-Ghazali ini, berujung pada keyakinan kebenaran yang di antara sarananya adalah melaui indera.
Indera tersusun daru dua hal, yaitu alat indera yang bersifat materi dan ruh yang bersifat inmateri. Keduanya mejadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Jika satu hilang dari yang lain, akan menyebabkan alat indera menjadi tidak berfungsi. Indera tidak hanya berhubungan secara materi saja, meskipun alat pengindera berupa jasad yang materi, namun terdapat kekuatan lain yang merupakan sumber kehidupan manusia dan mampu mengetahui dan mengolah hasil dari indera. Terbukti bahwa orang yang meninggal dunia, terkadang sebagian dari indera masih lengkap dan tidak ada kerusakan. Namun karena ruh telah hilang dari tubuhnya, meski indera masih sempurna namun indera menjadi tidak berguna. Manusia tadi tidak dapat mengolah pengetahuan. Indera menjadi mati.
Aristoteles menyatakan bahwa indera pada hakekatnya tidak dapat mengindera. Kekuatan lain lah yang sesungguhnya berada dibalik indera tersebut. Kekuatan lain itu yang sesungguhnya mempunyai kemampuan vital dan menjadi penentu dalam mengolah pengetahuan. Bagi Aristoteles, kekuatan indera bukan pada kekuatan dan kemampuannya mengindera (bil fi’li), namun sesungguhnya kemampuan tersebut ditopang oleh potensi ruh yang mampu mengolah dan memberikan kekuatan dalam mengindera (bil quwah). Jadi menurutnya, keberadaan indera sebagai alat dan sumber pengetahuan tidak independen. Secara factual, indera membutuhkan ruh (al nafs). Tanpa ini, indera tidak akan berfungsi.
Dalam al-Quran disebutkan mengenai indera sebagai salah satu sarana pengetahuan. Di antaranya adalah ayat berikut:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. [Ali ‘Imran/3:190-191].
Ayat di atas secara jelas memerintahkan kepada umat manusia untuk melihat alam raya ciptaan Allah. Tentu saja melihat dengan indera yang dimiliki manusia. Hanya saja, mengindera alam raya bukanlah tujuan utama, namun sekadar sarana untuk mendapatkan immu pengetahuan dan mengakui tentang kekuasaan Allah dan ketuhanan Allah. Indera yang dimiliki manusia, dijadikan sebagai pintu masuk manusia untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Di ayat lain, Allah menceritakan mengenai sikap orang kafir yang mempunyai indera, namun indera tersebut tidak dijadikan sebagai sarana beriman dan bertakwa kepada Allah. Meski secara terang benderang mereka dapat melihat kekuasaan Allah baik yang ada dalam diri mereka maupun alam raya, namun tetap tidak dapat menggerakkan hati mereka untuk mengakui ketuhanan. Maka incera mereka dianggap mati. Mereka mempunyai mata, namun dianggap buta. Mereka mempunyai telinga, namun dianggap tuli. Perhatikan ayat berikut:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf: 179)
Manusia yang tidak mampu menggunakan indera untuk memperoleh pengetahuan kebenaran, dianggap sama dengan binatang. Bahkan oleh Allah, manusia tersebut dianggap lebih sesat dari binatang. Hal itu karena binatang tidak memiliki akal pikiran, sementara manusia mempunyai akal pikiran. Dengan idera yang dimiliki, semestinya dapat menjadikannya berfikir untuk menemukan kebenaran risalah Tuhan

.

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899