Sumber Ilmu Pengetahuan (Bagian XXXIII)

Oleh: Wahyudi Sarju Abdurrahim, Lc. M.M

اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ كلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

Syarah HPT:
Kata Kunci: Kata Kunci: لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (Untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama).
Terkait sumber pengetahuan, sesungguhnya sudah dibahas banyak oleh para filsuf sejak masa Yunani. Jika kita buka-buka kitab ilmu kalam, kita akan menemukan mengenai pendapat para ulama terkait sumber pengetahuan ini. Para filsuf muslim dan ulama kalam, banyak yang menukil serta memberikan komentar terhadap pandangan para filsuf Yunan, terutama pendapat kaum shopi yang meragukan mengenai kemungkinan manusia untuk dapat memperoleh pengetahuan. Bahkan mereka juga memberikan tambahan sumber pengetahuan dan menjadi salah satu ciri khas pengetahuan Islam, yaitu wahyu.
Bahasan mengenai sumber pengetahuan sangat penting. Ia menjadi basik epistemologi bagi para ilmuan. Sumber pengetahuan bukan sekadar bagaimana dan dari mana kita memperolah ilmu, namun terkait erat dengan pandangan hidup manusia terhadap alam fisika dan alam metafisik. Ia menyangkut sikap dan keyakinan manusia berada di muka bumi.
Para filsuf Yunan banyak mencantumkan mengenai sumber pengetahuan, di antaranya adalah panca indera, akal, penelitian empiris, intuitif atau pengalaman batin. Tentu saja, tidak ada sumber wahyu. Wahyu menjadi sumber ilmu bagi manusia yang ercaya dengan Tuhan dan kitab suci.
Tentu ini berbeda dengan umat Islam. Wahyu dalam Islam, menjadi sumber pengetahuan yang sangat fital. Banyak hal yang hanya dapat diketahui melalui wahyu dan tidak dapat diketahui melalui akal pikiran manusia. Hal-hal terkait dengan perkara ghaibiyat, dan tata cara manusia berinteraksi dan beribadah kepada Allah, sumber utamanya adalah wahyu.
Jika kita melihat sejarah perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam, mulanya didorong oleh perintah wahyu. Awal mulanya, bangsa Arab di Mekah-Madinah tidak dianggap sebagai bangsa yang mempunyai pengaruh besar dalam peradaban dunia. Bangsa Arab adalah bangsa pinggiran. Di sana ada dua peradaban besar, yaitu Romawi dan Persia yang menguasai belahan bumi. Bukan hanya militer, ekonomi dunia juga banyak dipengaruhi oleh dua kekuatan besar tersebut. Di dunia Arab, mereka menggunakan mata uang dirham Romawi dan Dinar Persia. Bangsa Arab belum mempunyai mata uang sendiri secara independen.
Setelah turun wahyu, semangat untuk mencari ilmu pengetahuan tumbuh pesat. Bahkan ayat pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw adalah ayat tentang ilmu pengetahuan, yaitu perintah membaca dengan nama Tuhan. Firman Allah:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ ()خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ ()اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ()الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ()عَلَّمَ الْإِنْسٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ()
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, () Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah () Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia () Yang mengajar (manusia) dengan pena. () Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5)

Membaca dengan nama Tuhan maksudnya adalah menggali ilmu pengetahuan dengan tidak pernah melalaikan peran Tuhan. Ilmu bukan bebas nilai. Hasil dari ilmu pengetahuan juga tidak bebas nilai. Bagi umat Islam, ilmu harus difungsikan untuk tujuan utama, yaitu menciptakan peradaban sesuai dengan nilai dan norma ketuhanan. Tugas inilah yang disebut dengan khalifah di muka bumi seperti firman Allah berikut ini:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً. قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ. قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan satu khalifah di muka bumi. Mereka (malaikat) berkata, apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu? Tuhan berfirman, sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).
Bagi seorang muslim, ilmu manusia merupakan setitik pengetahuan yang diberikan Tuhan kepadanya. Dibandingkan dengan keagungan alam raya, ilmu manusia sama sekali tidak ada arti. Ilmu Allah Maha luas. Alam raya tidak akan cukup untuk ditulis, meski manusia menjadikan lautan sebagai tinta, dan dedauan sebagai lembaran kertasnya. Meski didatangkan lagi tujuh kali lipat lautan sekalipun, sama sekali tidak akan mampu untuk mengupas luasnya pengetahuan. Ia akan selalu ada dan tidak akan pernah berahir. Benarlah firman Allah berikut ini:
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah (wahai Muhammad), “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Rabbku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (QS Al-Kahfi:109)
Ilmu bukan sekadar untuk ilmu. Ilmu digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu untuk membangun peradaban dunia yang makmur dan berkeadilan. Ilmu bukan untuk menjerumuskan umat manusia ke jurang kesengsaraan, baik di dunia maupun akhirat.
Inilah yang membedakan sikap intelektual muslim dengan non muslim. Di Barat, banyak permunculan paham filsafat sekuler yang memutuskan hubungan antara ilmu dengan Tuhan. Sebut saja misalnya Marxis. Menurutnya, segala bergerakan di dunia merupakan pengaruh materi. Bahkan kehidupan manusia, tidak lepas dari gerakan materi. Tidak ada peran Tuhan sama sekali di dunia ini. Tuhan dan juga agama sesungguhnya adalah bayangan yang ada dalam otak manusia saja. Tuhan bukan mendorong manusia untuk maju, justru sebaliknya ia menjadi candu bagi umat manusia. Oleh karena itu, Tuhan dan agama harus diperangi.
Gerakan inilah yang berkembang menjadi komunisme itu. Mereka lantas memerangi agama-agama karena dinggap sebagai musuh peradaban. Mereka membunuh para agamawan dan ulama. Kitab suci dihinakan. Guru ngaji dinistakan. Membunuh jika itu dianggap sebagai sarana untuk menggapai kesuksesan dunia, maka menjadi halal. Ini akibat pandangan mereka terkait dengan ilmu dan sumber ilmu. Pandangan mereka terhadap alam fisika dan alam metafisik.
Sama halnya dengan pandangan Niccolo Machiavelli yang menyatakan tentang pemisahan azas-azas moral dan kesulilaan dalam susunan ketatanegaraan. Artinya bahwa para politisi, hendaknya meninggalkan moral dan kesusilaan. Jika tidak, maka akan merugikan Negara. Dengan demikian, para politisi akan menghalalkan segala cara demie meraih kekuasaan.
Dalam Islam, moral keagamaan akan selalu lekat dengan prilaku manusia. Bukansaja ulama kalam, semua para filsuf juga tetap demikian,t idak pernah memisahkan antara prilaku manusia dengan Tuhan. Bahkan para filsuf muslim yang terpengaruh oleh pemikiran filsafat Yunani, seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, dan lain sebagainya, yang mengatakan bahwa alam qadim, pun tetap menggunakan dan mengakui wahyu sebagai sandaran dan sumber ilmu.
Jangankan persoalan besar, menuju ke kamar kecil pun, tetap tidak boleh melupakan Tuhan. Ada aturan dan norma yang diatur dan harus dijalankan. Jika tidak, akan berimplikasi kepada hubungan dia dengan Tuhan dan hubungan dia dengan manusia.
Belakangan, para pemikir muslim menyadari bahwa ada perbedaan pandangan antara ilmu dalam pandangan Islam dengan Barat. Islam tidak pernah menganggap bahwa materi sifatnya kekal. Islam tidak pernah menyatakan bahwa manusia merupakan peralihan dari hewan. Islam tidak pernah menganggap bahwa Tuhan telah mati. Islam tidak pernah menyatakan bahwa aktivitas manusia karena dorongan seksual. Hal-hal di atas adalah pemikiran Barat yang memang berbeda dengan kita.
Muncullah upaya untuk islamisasi ilmu pengetahuan, seperti yang dipelopori oleh Ismail Raji Al-Faruqi dengan mendirikan International Institute of Islamic Though (IIIT). Lembaga ini bergerak dalam bidang keilmuan dan upaya islamisasi ilmu. Banyak buku-buku keislaman klasik yang terkait dengan filsafat ilmu dan dimunculkan serta dikaji ulang. Kantor berpusat di IIIT Amerika Serikat dan mempunyaibanyak cabang di seluruh dunia, di antaranya di Jakarta.
Munucl juga The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malaysia. Geraknya tidak jauh beda, yaitu upaya untuk islamisasi ilmu pengetahuan. Sementara di tanah air, muncul pakar ilmu kalam baru dari Muhammadiyah, yaitu Kyai Agus Purwanto (Gus Pur) yang mendirikan Trensains, sebuah pesantren yang khusus bergerak pada bidang sains dengan pijakan wahyu.


Sumber Ilmu Pengetahuan

اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ كلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

Syarah HPT:
Kata Kunci: Kata Kunci: لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (Untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama).
Terkait sumber pengetahuan, sesungguhnya sudah dibahas banyak oleh para filsuf sejak masa Yunani. Jika kita buka-buka kitab ilmu kalam, kita akan menemukan mengenai pendapat para ulama terkait sumber pengetahuan ini. Para filsuf muslim dan ulama kalam, banyak yang menukil serta memberikan komentar terhadap pandangan para filsuf Yunan, terutama pendapat kaum shopi yang meragukan mengenai kemungkinan manusia untuk dapat memperoleh pengetahuan. Bahkan mereka juga memberikan tambahan sumber pengetahuan dan menjadi salah satu ciri khas pengetahuan Islam, yaitu wahyu.
Bahasan mengenai sumber pengetahuan sangat penting. Ia menjadi basik epistemologi bagi para ilmuan. Sumber pengetahuan bukan sekadar bagaimana dan dari mana kita memperolah ilmu, namun terkait erat dengan pandangan hidup manusia terhadap alam fisika dan alam metafisik. Ia menyangkut sikap dan keyakinan manusia berada di muka bumi.
Para filsuf Yunan banyak mencantumkan mengenai sumber pengetahuan, di antaranya adalah panca indera, akal, penelitian empiris, intuitif atau pengalaman batin. Tentu saja, tidak ada sumber wahyu. Wahyu menjadi sumber ilmu bagi manusia yang ercaya dengan Tuhan dan kitab suci.
Tentu ini berbeda dengan umat Islam. Wahyu dalam Islam, menjadi sumber pengetahuan yang sangat fital. Banyak hal yang hanya dapat diketahui melalui wahyu dan tidak dapat diketahui melalui akal pikiran manusia. Hal-hal terkait dengan perkara ghaibiyat, dan tata cara manusia berinteraksi dan beribadah kepada Allah, sumber utamanya adalah wahyu.
Jika kita melihat sejarah perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam, mulanya didorong oleh perintah wahyu. Awal mulanya, bangsa Arab di Mekah-Madinah tidak dianggap sebagai bangsa yang mempunyai pengaruh besar dalam peradaban dunia. Bangsa Arab adalah bangsa pinggiran. Di sana ada dua peradaban besar, yaitu Romawi dan Persia yang menguasai belahan bumi. Bukan hanya militer, ekonomi dunia juga banyak dipengaruhi oleh dua kekuatan besar tersebut. Di dunia Arab, mereka menggunakan mata uang dirham Romawi dan Dinar Persia. Bangsa Arab belum mempunyai mata uang sendiri secara independen.
Setelah turun wahyu, semangat untuk mencari ilmu pengetahuan tumbuh pesat. Bahkan ayat pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw adalah ayat tentang ilmu pengetahuan, yaitu perintah membaca dengan nama Tuhan. Firman Allah:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ ()خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ ()اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ()الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ()عَلَّمَ الْإِنْسٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ()
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, () Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah () Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia () Yang mengajar (manusia) dengan pena. () Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5)

Membaca dengan nama Tuhan maksudnya adalah menggali ilmu pengetahuan dengan tidak pernah melalaikan peran Tuhan. Ilmu bukan bebas nilai. Hasil dari ilmu pengetahuan juga tidak bebas nilai. Bagi umat Islam, ilmu harus difungsikan untuk tujuan utama, yaitu menciptakan peradaban sesuai dengan nilai dan norma ketuhanan. Tugas inilah yang disebut dengan khalifah di muka bumi seperti firman Allah berikut ini:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً. قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ. قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan satu khalifah di muka bumi. Mereka (malaikat) berkata, apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu? Tuhan berfirman, sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).
Bagi seorang muslim, ilmu manusia merupakan setitik pengetahuan yang diberikan Tuhan kepadanya. Dibandingkan dengan keagungan alam raya, ilmu manusia sama sekali tidak ada arti. Ilmu Allah Maha luas. Alam raya tidak akan cukup untuk ditulis, meski manusia menjadikan lautan sebagai tinta, dan dedauan sebagai lembaran kertasnya. Meski didatangkan lagi tujuh kali lipat lautan sekalipun, sama sekali tidak akan mampu untuk mengupas luasnya pengetahuan. Ia akan selalu ada dan tidak akan pernah berahir. Benarlah firman Allah berikut ini:
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah (wahai Muhammad), “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Rabbku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (QS Al-Kahfi:109)
Ilmu bukan sekadar untuk ilmu. Ilmu digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu untuk membangun peradaban dunia yang makmur dan berkeadilan. Ilmu bukan untuk menjerumuskan umat manusia ke jurang kesengsaraan, baik di dunia maupun akhirat.
Inilah yang membedakan sikap intelektual muslim dengan non muslim. Di Barat, banyak permunculan paham filsafat sekuler yang memutuskan hubungan antara ilmu dengan Tuhan. Sebut saja misalnya Marxis. Menurutnya, segala bergerakan di dunia merupakan pengaruh materi. Bahkan kehidupan manusia, tidak lepas dari gerakan materi. Tidak ada peran Tuhan sama sekali di dunia ini. Tuhan dan juga agama sesungguhnya adalah bayangan yang ada dalam otak manusia saja. Tuhan bukan mendorong manusia untuk maju, justru sebaliknya ia menjadi candu bagi umat manusia. Oleh karena itu, Tuhan dan agama harus diperangi.
Gerakan inilah yang berkembang menjadi komunisme itu. Mereka lantas memerangi agama-agama karena dinggap sebagai musuh peradaban. Mereka membunuh para agamawan dan ulama. Kitab suci dihinakan. Guru ngaji dinistakan. Membunuh jika itu dianggap sebagai sarana untuk menggapai kesuksesan dunia, maka menjadi halal. Ini akibat pandangan mereka terkait dengan ilmu dan sumber ilmu. Pandangan mereka terhadap alam fisika dan alam metafisik.
Sama halnya dengan pandangan Niccolo Machiavelli yang menyatakan tentang pemisahan azas-azas moral dan kesulilaan dalam susunan ketatanegaraan. Artinya bahwa para politisi, hendaknya meninggalkan moral dan kesusilaan. Jika tidak, maka akan merugikan Negara. Dengan demikian, para politisi akan menghalalkan segala cara demie meraih kekuasaan.
Dalam Islam, moral keagamaan akan selalu lekat dengan prilaku manusia. Bukansaja ulama kalam, semua para filsuf juga tetap demikian,t idak pernah memisahkan antara prilaku manusia dengan Tuhan. Bahkan para filsuf muslim yang terpengaruh oleh pemikiran filsafat Yunani, seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, dan lain sebagainya, yang mengatakan bahwa alam qadim, pun tetap menggunakan dan mengakui wahyu sebagai sandaran dan sumber ilmu.
Jangankan persoalan besar, menuju ke kamar kecil pun, tetap tidak boleh melupakan Tuhan. Ada aturan dan norma yang diatur dan harus dijalankan. Jika tidak, akan berimplikasi kepada hubungan dia dengan Tuhan dan hubungan dia dengan manusia.
Belakangan, para pemikir muslim menyadari bahwa ada perbedaan pandangan antara ilmu dalam pandangan Islam dengan Barat. Islam tidak pernah menganggap bahwa materi sifatnya kekal. Islam tidak pernah menyatakan bahwa manusia merupakan peralihan dari hewan. Islam tidak pernah menganggap bahwa Tuhan telah mati. Islam tidak pernah menyatakan bahwa aktivitas manusia karena dorongan seksual. Hal-hal di atas adalah pemikiran Barat yang memang berbeda dengan kita.
Muncullah upaya untuk islamisasi ilmu pengetahuan, seperti yang dipelopori oleh Ismail Raji Al-Faruqi dengan mendirikan International Institute of Islamic Though (IIIT). Lembaga ini bergerak dalam bidang keilmuan dan upaya islamisasi ilmu. Banyak buku-buku keislaman klasik yang terkait dengan filsafat ilmu dan dimunculkan serta dikaji ulang. Kantor berpusat di IIIT Amerika Serikat dan mempunyaibanyak cabang di seluruh dunia, di antaranya di Jakarta.
Munucl juga The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malaysia. Geraknya tidak jauh beda, yaitu upaya untuk islamisasi ilmu pengetahuan. Sementara di tanah air, muncul pakar ilmu kalam baru dari Muhammadiyah, yaitu Kyai Agus Purwanto (Gus Pur) yang mendirikan Trensains, sebuah pesantren yang khusus bergerak pada bidang sains dengan pijakan wahyu.