Sabar dan Taat jika Ditimpa Ujian

Oleh Abdul Gaffar Ruskhan

Assalamualaikum wr. wb.

Apa kabar saudaraku? Semoga kita dalam keasaan sehat walafiat dan terjauh dari berbagai ujian dan bencana. Walaupun ujian datang, kita hadapi dengan ketaatan dan kesabaran. Amin!

Allah SWT berfirman,

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-nya). (QS. Shad: 44)

Siapa yang tidak pernah membaca atau mendengar kisah Nabi Ayub? Ayub adalah nabi yang senantiasa taat kepada Allah SWT. Dia nabi yang diberikan kekayaan yang berlimpah berupa ternak, seperti sapi, kambing, kuda, keledai, dan unta. Namun, Ayyub tetap dan tidak pernah terbetik dalam pikirannya untuk melakukan apa saja dengan kekayaannya itu. Dia pun dikaruniai anak-anak dan beberapa istri istri yang saleh dan salehah.
Ketenangan Ayyub—bahkan, siapa pun yang sudah kaya dan bahagia—ternyata mendatangkan kepanikan setan. Berbagai cara dan tipu daya dilakukannya untuk melencengkan iman Ayyub. Kekayaannya pun digerogoti setan sehingga kekayaan Ayyub makin lama makin berkurang, bahkan habis. Namun, keimanan Ayyub tidak berubah karena dia yakin bahwa kekayaan itu milik Allah dan dia pun kembali seperti semula yang tidak punya apa-apa. Setan memasang jurus lain dengan mandatangkan penyakit kepada Ayyub agar imannya kepada menjadi luntur.

وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ
“Ingatlah ketika Ayyub menyeru kepada Tuhan-nya, ”Ya Tuhanku, aku dapat penyakit dan cobaan yang sebabkan oleh setan.” (QS Shad: 41).

Penyakit yang diderita Ayyub begitu hebat, parah, dan menjijikkan. Buktinya masyarakat pun menjauh darinya. Bahkan, para istri Ayyub pun satu per satu meninggalkannya, kecuali seorang istri yang setia, yakni Rahmah. Masyarakatnya tidak ingin Ayyub menularkan penyakitnya sehingga Ayyub pun mereka usir jauh dari keramaian. Jadilah Ayyub terusir dan meningglakan kampungnya bersama istrinya.

Suatu istrinya meninggalkan rumah tanpa memberi tahu suaminyan. Ayyub memanggilnya, tetapi tida sahutan. Di dalam pikiran Ayyub timbul kecurigaan bahwa istrinya sudah meninggalkannya. Kekesalah Ayyub memuncak sehingga Ayyub bersumpah untuk memukul istrinya itu sebanyak setarus kali. Ayub berdoa agar disembuhkan dari penyakit yang menimpanya. Itulah doa yang dikuti di awal tulisan ini yang dipanjatkan Ayyub kepada Allah SWT. Lengkapnya adalah

وَاذْكُرْ عَبْدَنَآ اَيُّوْبَۘ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الشَّيْطٰنُ بِنُصْبٍ وَّعَذَابٍۗ. اُرْكُضْ بِرِجْلِكَۚ هٰذَا مُغْتَسَلٌۢ بَارِدٌ وَّشَرَابٌ. وَوَهَبْنَا لَهٗٓ اَهْلَهٗ وَمِثْلَهُمْ مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنَّا وَذِكْرٰى لِاُولِى الْاَلْبَابِ. وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِّهٖ وَلَا تَحْنَثْ ۗاِنَّا وَجَدْنٰهُ صَابِرًا ۗنِعْمَ الْعَبْدُ ۗاِنَّهٗٓ اَوَّابٌ

Ingatlah akan hamba Kami, Ayyub, ketika dia menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya aku diganggu setan dengan penderitaan dan bencana.’ Allah berfirman, ‘Hentakkanlah kakimu! Inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum.’ Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami lipat gandakan jumlah mereka sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang berpikiran sehat. Ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah). (QS Shad:41—44)

Doa Nabi Ayyub diijabah oleh Allah SWT. Allah memerintahkan Nabi Ayyub untuk menghentakkan kakinya. Air pun keluar dari hentakan kakinya itu, Dia mandi dan meminun air itu. Dengan kekuasaan Allah SWT penyakit Ayyub hilang seketika dan wajahnya pun terlihat lebih muda.
Istrinya pulang dari bepergian. Dia bingung dan seolah-olah tidak percaya apa yang terjadi pada suaminya, Nabi Ayyub. Nabi Ayyub ingat sumpahnya untuk memukul istrinya sebayak 100 kali. Allah rupanya memerintahkan Ayyub untuk melaksanakan sumpahnya dengan potongan ayat surah Shad: 44, “Ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah.” Ayyub mengambil 100 lidi, lalu lidi itu diikat menjadi satu. Ayyub memukul istrinya satu kali pukulan sehingga sumpahnya telah ditunaikannya.

Ayyub dan istrinya kembali ke kehidupan normal. Allah SWT mengembalikan kekayaannya dan anak-anaknya yang meninggal pun diganti dengan anak-anak keturunannya yang saleh dan salehah. Salah satu anaknya adalah Basyir yang lebih dikenal Zulkifli sebagai salah satu nabi dan rasul dari keturunan Ayyub.

Ternyata dalam hidup ini tidak terkecuali manusia yang terkasih oleh Allah SWT juga mendapat ujian. Setaraf nabi dan rasul saja diberi ujian. Mungkin kita bertanya kepada diri kita, “Siapa diri kita ini? Apakah kita termasuk orang yang dicintai Allah SWT? Harapannya pasti ingin menjadi kekasih Allah SWT. Namun, sudah seberapa dekat kita dengan Allah yang kita jadikan kekasih itu? Sudahkah kita melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya? Jangan kita yang masih saja abai terhadap perintah Allah dan masih saja melakukan larangan-Nya. Nabi Ayyub yang sudah menjadi kekasih Allah saja masih diuji oleh Allah SWT.

Apakah ciut kita untuk menjadi kekasih Allah? Makin dekat dengan Allah ujiannya tampaknya makin berat. Belum siapkah kita menjadi orang dicintai Allah? Salahkah pilihan kita jika kita menjadi ciut dan belum siap menjadi orang yang dicintai Allah SWT. Bukan Allah SWT mengatakan bahwa siapa yang mendekat kepada-Ku, Aku dekat. Jika hamba meminta kepada-Ku, Aku pasti akan mengabulkannya. Namun, syaratnya beriman. (QS Al-Baqarah: 186)

Ujian bagi orang yang beriman suatu keharusan. Tanpa ujian seseorang akan mudah berkata bahwa dia sudah beriman. Beriman atau tidaknya, iman yang emas atau iman yang loyang akan terbukti dari ujian yang ditimpakan kepadanya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكٰذِبِيْنَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. Maka, sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al Ankabut [29]: 2-3)

Mengucapkan bahwa saya adalah orang beriman itu mudah. Yang sulit adalah mengetahui kadar keimanan itu. Untuk mengetahuinya, seseorang diberi ujian. Bukankah untuk menyaring orang yang terbaik di antara ratusan, bahkan ribuan pelamar untuk masuk menjadi pegawai di suatu kantor begitu ketat saringannya? Jika yang diperlukan hanya 50 orang dan yang melamar itu ada sekitar 1.000 orang, berapa banyak yang gagal dari seleksi itu? Orang yang tersaring sebanyak 50 orang itu adalah orang yang telah melalui bermacam tes sehingga dia layak menjadi pegawai di kantor itu. Begitu pula orang yang mengaku beriman sangat banyak, tetapi orang yang tersaring menjadi mukmin yang sebenarnya hanya sedikit. Kelompok yang sedikit itu yang layak disebut mukmin hakiki.

Ujian adalah barometer untuk mengetahui keimanan seseorang. Ujian yang kita rasakan di dalam hidup ini masih tergolong ringan. Jika pun kita sakit, penyakit yang diderita itu belum seberat yang diderita oleh Nabi Ayyub. Penyakit yang kita rasakan umumnya ada sebabnya, seperti hipertensi, diabetes, janyung, dan paru. Munculnya penyakit itu pun berproses dan telah ada tanda-tanda sebelumnya. Bagaimana dengan Nabi Ayyub yang tidak ada tanda-tanda dia akan sakit? Penyakit yang didatangkan oleh setan (QS Shad: 41) untuk menguji keimanannya kepada Allah SWT.

Ujian yang diberikan kepada yang tingkat iman sedang-sedang saja tidak akan mendapatkan ujian yang lebih berat. Setiap mukmin memiliki kadar iman yang berbeda. Makin kuat iman seseorang makin berat pula ujian yang diterimanya. Rasulullah pernah ditanya oleh sahabat tentang orang yang paling berat ujiannya.

Sebagaimana riwayat dari Mush’ab bin Sa’id–seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Rasulullah saw. menjawab, “Para nabi, kemudian yang semisalnya, dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kukuh), makin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi)

Banyak orang yang menderita penyakit mengalami ketakutan, kegelisahan yang berlebihan, bahkan mengeluh kenapa begini dan begitu. Memang penyakit tidak ada yang mengenakkan. Karena itu, penyakit disebut derita karena tidak mengenakkan itu. Penderitaan dirasakan pada saat mengalami sakit sehingga makan tidak lezat, minum tidak enak, badan terasa nyeri, kepala banyak pusingnya, dan sebagainya. Bagi orang yang beriman, peran takwa dan sabar menjadi penting. Dia tidak akan mengeluh karens penyakit itu harus disikapi dengan sabar. Makin sabar seseorang makin dirasakan penyakit itu biasa-baiasa saja. Sebaliknya, jika penyakit dirasakan berat dan menyusahkan, hal itu akan menambah beban psikologis. Itulah yang menimbulkan kegelisahaan dan ketakutan sehingga penderita bisa depresi. Akibatnya, beban psikologis akan menambah parah penyakit yang sifatnya fisik.

Ujian yang dialami oleh orang beriman merupakan wujud kecintaan Allah SWT kepada hambanya. Makin besar ujian yang diberikan, makin besar pula pahala yang akan didapatkan. Sebaliknya, makin kecil ujian yang dialami makin kecil pula pahala yang diperoleh. Rasulullah dalam sebuah hadisnya bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مع عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إذا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رضى فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allâh mencintai suatu kaum, Dia akan mengujinya. Siapa yang rida dengan ujian itu, ia akan mendapat keridaan-Nya. Siapa yang membencinya, ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya.” (HR Tirmizi, 4/601)

Bisa jadi penyakit itu tidak sembuh karena kita kurang rida terhadap penyakit yang dirasakan. Namun, jika penyakit itu kita terima dengan ikhlas dan sabar seraya kita berusaha mengobatinya, niscaya Allah akan mencintai kita sehingga penyakit itu diangkat-Nya.
Orang beriman harus menyikapi penyakit dengan meyakini ada hikmah yang terkandung di balik ujian/musubah, termasuk penyakit yang kita alami. Allah SWT memberikan penyakit untuk menghapus dosa-dosa penderita sakit.
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, kecuali Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”. (HR. Bukhari No. 5660 dan Muslim No. 2571).

Bahkan, dalam hadis yang lain ditambahkan oleh Rasulullah saw.

“Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundahgulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari no. 5641).

Apa pun ujian atau musibah yang menimpa orang beriman harus menambah keimanan, ketakwaan, dan ketaatan kita kepada Allah SWT. Ujian itu dihadapi dihadapi dengan sabar. Apa pun bentuk ujian, apakah ujian fisik seperti sakit dan kecelakaan ataupun nonfisik ketakutan dan kehilangan sesuatu memang dirasakan tidak nyaman dan tidak mengenakkan. Namun, orang beriman harus yakin bahwa Allah SWT memiliki rencana yang terbaik terhadap kita. Oleh karena itu, keimanan kita harus makin mantap, ketakwaan makin meningkat, dan kesabaran kita makin kuat. Kita pasrahkan hidup kita ini kepada Allah Yang Maha Mengatur dalm hidup manusia. Amin!

Fa’alallahi yatawakkalul mu’minun.

Wassalamualaikum wr. wb.

Tangerang, 14 Juni 2020

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899