Orientalis dan Distorsi Orisinalitas Hukum Islam:Deskripsi dan Analisa Pemikiran Joseph Schacht


Nur Aidha Rifa’i Nasution, Lc.

I. Mukadimah

Hukum dalam Oxford English Dictionary adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu Negara atau masyarakat tertentu mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai subjeknya. Maka keberadaan hukum di dalam kehidupan manusia yang notabene adalah makhluk social, sebuah hal yang niscaya. Dalam prakteknya, hukum yang diciptakan oleh manusia juga merupakan sebuah refleksi dari nilai-nilai yang berkembang pada masanya. Konstruksi sebuah hukum dimulai dari penentuan batasan legal dan illegal dalam sebuah masyarakat yang kemudian memformalisasikan batasan-batasan tersebut dalam sebuah regulasi. Tentunya pendapat terhadap suatu yang legal atau ilegal dalam sebuah masyarakat dapat berubah, terkadang kontradiktif dan berimplikasi nilai-nilai yang berbeda. Ketika fenomena ini terjadi, maka perubahan dalam sebuah hukum juga terjadi.
Nilai-nilai yang berkembang dalam sebuah masyarakat -meski terkadang merujuk pada nilai-nilai agama namun- tetap saja ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga seringkali terjadi dikotomi dengan apa yang disebut oleh masyarakat legal dan apa yang ada dalam ajaran agama mereka ilegal. Di Barat, hukum positif tidak akan menyatu dengan moralitas meski keduanya menyentuh bahasan yang sama. Dikotomi semacam ini tidak akan pernah kita temui dalam Islam. Etika dan moral dalam Islam menyatu dalam sebuah hukum positif. “The ideal code of behaviour which is the syari’a has in fact a much wider scope and purpose than a simple legal system in the western sense of them. Jurisprudence is also composite science of law and morality”. Atas sebab ini pula Robert Brunschig menyebut Hukum Islam dengan sebutan “ethico juridical.”
Karena Islam menuntut submisi total, maka Islam harus menyediakan hukum dan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia. Hukum Islam adalah perintah Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. dan mencakup segala aspek kehidupan yang tidak hanya berlandaskan pada sumber hukum primer yaitu al-Quran dan sunnah, tetapi juga kepada sumber hukum sekunder seperti ijma’ dan kiyas . Allah dan rasulNya lah sang legislator dari setiap hukum yang ada. Bagi umat Islam hukum Islam adalah perwujudan perintah Allah yang berisi perintah dan larangan. Oleh sebab itu pelaksanaan hukum Islam dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada Allah. Ia adalah manifestasi esoterik keimanan. Dan pada kenyataannya al-Quran dan sunah nabi meliputi semua aspek legal kehidupan baik dalam bentuk aturan umum maupun yang lebih terperinci.
Memasuki ranah yang lebih spesifik dan praksis, maka akan kita temui ‘fikih’ sebagai bagian dari hukum Islam. Para ulama mendefinisikan fikih sebagai ‘pengetahuan tentang hukum syara’ praktis beserta dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia . Definisi ini menunjukkan bahwa yang menjadi objek kajian fikih adalah perbuatan manusia mengenai halal haram, wajib atau mubah dan sebagainya, yang merupakan sebuah hukum positif dan mutlak dibutuhkan manusia . Jika syariah memiliki karakteristik yang permanen dan tidak akan pernah berubah, maka fikih bersifat relatif dan lebih fleksibel. Fikih dapat berubah seiring dengan beredarnya waktu. Fikih juga merupakan produk ijtihad ulama, namun demikian hal ini tidak berarti jika fikih hanya sebuah produk pemikiran semata. Ia tetap terkait erat dengan syariah yang kekal hingga akhir masa.
Fikih menempati posisi yang penting dalam peta pemikiran Islam. Adalah suatu hal mustahil untuk memahami Islam tanpa memahami hukum Islam terutama fikih secara komprehensif. Ia merupakan salah satu produk par excellence yang pernah dihasilkan oleh peradaban Islam . Karena begitu menonjolnya fikih maka jika peradaban Islam bisa dilabeli dengan salah satu produknya tentunya kita akan mengatakannya sebagai ‘Peradaban Fikih’ sebagaimana Yunani diidentikkan sebagai ‘Peradaban Filsafat’.
Dalam kajian hukum Islam dan ilmu fikih, orientalis telah menimbulkan polemik berkepanjangan di dunia pemikiran Islam. Orientalisme yang menurut kesimpulan Edward Said telah menjadi disiplin yang sistimatis dan dapat menebarkan kekuasaannya baik dalam bidang politik maupun pemikiran terhadap timur, telah menjadikan Timur objek yang dikaji dengan kesadaran dan pandangan hidup barat . Akibatnya timbul polemik yang berakar dari ketidaksinkronan antara hasil kajian yang dilakukan, dengan keimanan orang yang dijadikan objek atau fakta sejarah yang diyakini benar. Dalam tataran realitas, banyak orientalis yang memprojeksikan bahwa Islam adalah hasil kreasi nabi Muhammad Saw, dengan melabelinya “Mohammadanism.” Sementara syariah Islam disebut-sebut sebagai “Muhammadan Jurisprudence.” Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Pelbagai kalangan mengklaim bahwa itu merupakan sebuah konsekuensi logis dari metode yang mereka gunakan. Namun banyak pula kalangan intelektual muslim yang mensinyalir bahwa hal tersebut tidak jauh dari produk bias dan prasangka keagamaan yang bekerja dalam world view Barat sekular-liberal.
Adalah Joseph Schacht (selanjutnya ditulis Schacht) salah satu dari sekian banyak orientalis yang memiliki pandangan yang musykil tentang hukum Islam. Dia terhitung sebagai salah satu orientalis genre awal yang melontarkan keraguan terhadap orisinalitas hukum Islam dan juga meragukan orisinalitas hadits nabi sebagai salah satu sumber legislasi hukum Islam. Jika Ignaz Goldziher dan C. Snouck Hurgronje hanya sekedar melemparkan klaim yang berisikan keraguan akan orisinalitas hukum Islam dan sunah sebagai salah satu sumber legislasinya, Schacht telah melakukan lompatan yang sangat jauh dengan mengartikulasikan klaim tersebut dalam sebuah teori yang komprehensif yang tertuang dalam magnum opusnya, The Origin Of Muhammadan Jurisprudence
Kitab ini mendapat sambutan yang hangat dari para orientalis terkemuka, dan juga dinobatkan sebagai kitab suci kedua –setelah buku karangan Ignaz Goldziher- bagi para orientalis. H. A.R Gibb misalnya, dia menganggap bahwa The Origin of Muhammadan Jurisprudence akan menjadi pondasi bagi seluruh kajian masyarakat dan hukum Islam di masa yang akan datang atau paling tidak di kalangan peneliti Islam di Barat. Coulson juga urun suara, menurutnya Schacht telah merumuskan sebuah tesis yang tak terbantahkan. Buku Schacht juga mempengaruhi para orientalis lain terutama J. Robson, Fitzgerald , J. N. D Anderson dan C. E Brosworth, demikian pula para peneliti muslim dalam bidang hukum Islam dan seperti Fadzlur Rahman, A. A. A Fyzee dan lainnya.
Makalah sederhana ini mencoba ‘mendeskripsikan’ apa saja kesalahan klaim yang dilontarkan Schacht dalam magnum opusnya, metodologi serta fakta yang dijadikan sandaran atas klaimnya, sekaligus mencoba menghadirkan bantahan terhadap teori Schacht dalam perspektif berbagai tokoh pemikir muslim.

II. Orientalis dan Kajian Hukum Islam

Bryan S. Turner dalam karyanya Orientalism: Early Source mensiyalir dengan tepat bahwasanya ciri kajian orientalis selalu menukik kepada permasalahan keaslian (autenticity) dan juga autoritas (authority) Islam sebagai agama. Jika serangan terhadap autentisitas menukik pada bidang studi Islam secara meluas termasuk disiplin ilmu fikih. Maka serangan terhadap autoritas mengarah langsung pada pribadi Muhammad Saw..
Waell B. Hallaq juga mengakui bahwa permasalahan orisinalitas dan autentisitas segala yang berhubungan dengan Islam merupakan salah satu tema sentral yang sudah lama mendominasi diskursus Islam di Barat. Lebih lanjut Hallaq menambahkan,” And perhaps more than any other religion, the originality of islam, of its intellectual history, of its scripture and even of its founder, has long stood at the centre of Western scholarly discourse.” Mungkin tidak ada agama yang aspek orisinalitasnya dikaji sedemikian serius dan mendalam dalam kesarjanaan Barat selain daripada Islam. Hampir seluruh bangunan dan gugusan keislaman, mereka pertanyakan keorisinilitasannya. Mereka mempersoalkan orisinalitas al-Quran dan hadits. Mempertanyakan otentisitas produk intelektualnya, institusi-institusi politik, sosial ekonomi, dan budayanya. Dalam penilaian orientalis tak ada satupun aspek yang paripurna dari Islam dan produk asli Islam. Bagi para orientalis, yang terpenting bukanlah hukum itu sendiri tapi proses awal terbentuknya hukum tersebut. Mereka lebih tertarik pada pada aspek histrorisnya ketimbang dimensi normatif-teologis. Mereka lebih mengejar bagaimana awal mula terbentuknya suatu hukum Islam, kapan ia terbentuk, apa sumber-sumber (sources) yang mendasari terbentuknya hukum tersebut, apakah sumber tersebut reliable untuk dijadikan pondasi hukum dan begitu seterusnya.
Sebenarnya kajian orientalis tentang Islam hanya sebagai perpanjangan dari studi bible (biblical studies) yang berkembang di barat sekitar abad ke 18 dan ke 19. Bukan sebuah realita yang mustahil jika menilik para peneliti yang bergelut di bidang ini kebanyakan penganut Yahudi dan Kristen, terlebih ada yang merupakan tokoh missionaries gereja seperti W.M Watt, Kenneth Grag dan yang terlatih dalam studi bible seperti Julius Wellhausen. Hal ini mungkin dapat terlihat jelas dari metode yang mereka aplikasikan. Seperti kritik sastra (literary critism), kritik bentuk (form critism) ktitik sumber (source critism)dan juga hermeunetic. Keseluruhannya adalah metode studi bible.
Pun yang dilakukan Schacht dalam mengkaji hukum Islam. Pendekatan Schacht dalam melakukan penelitian terhadap hukum Islam lebih dititik beratkan pada aspek historis dan sosisologis. Perhatiannya terhadap hukum Islam lebih tertuju pada bagaimana Islam berkembang dan diterapkan di bumi Islam. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya yang terakhir dan dirampungkan sebelum ia wafat, An Introduction To Islamic Law. Di dalam bukunya Schacht mendefinisikan bahwa syariah Islam adalah sebuah hukum yang kultus dan mencakup segala pengaturan kewajiban beragama, dan juga totalitas perintah Allah Swt. dalam mengatur setiap aspek kehidupan manusia, diantaranya prinsip dasar hukum, ritual peribadatan dan penyembahan.
Dan karyanya tersebut terfokus pada hal-hal terakhir yang tidak lain bemetodekan pada historisitas dan sistematisasi terbentuknya hukum tersebut. Kendati hukum Islam merupakan sebuah hukum yang kultus, tapi bukan berati dia terbentuk dari mukjizat dan wahyu yang turun secara kontinu. Hukum Islam bahkan terbentuk dari sebuah metode penalaran, intepretasi, standar keagamaan dan etika moral yang dapat dipahami dari materi hukum tersebut sehingga membentuk sebuah framework dan gugusan sebuah hukum. “Although Islamic law is a sacred law, it is by no means essentially irrational. It was not created by irrational process of continous revelation but by rational method of intepretation and the religious standards and moral rules which were introduced into the legal subject matter provided the framework for it structural order.”
Bahkan dalam A Formation Of Islamic Law, yang merupakan kumpulan tulisan para orientalis dan memiliki konsentrasi dalam syariah Islamiah, Schacht turut menyumbang sebuah tulisan yang berjudul Foreign Element In Islamic Law. Dari judul yang dicantumkan Schacht, sudah sangat jelas bahwa ia ingin menyebutkan elemen-elemen asing yang telah mempengaruhi terbentuknya hukum Islam. Dan menurut Schacht ada sedikitnya empat elemen asing yang berhasil mempengaruhi hukum Islam: hukum Sasanid Persia, hukum kerajaan Romawi (termasuk hukum yang diberlakukan pada provinsi-provinsi di kerajaan Romawi), undang-undang gereja bagian timur dan hukum Yahudi.
Maka dalam realitanya, premis yang dihasilkan oleh hampir keseluruhan orientalis yang bergerak dalam bidang ini adalah tidak ada yang paripurna dalam hukum Islam. Tidak ada produk orisinil yang dapat dibanggakan di dalam Islam. Goldziher menguraikan, ilmu kalamnya terpengaruh pemikiran Yunani (hellenistic thought), hukumnya diadopsi dari kerajaan Romawi, organisasi kenegaraannya khususnya jaman pemerintahan Abbasiyah menjiplak ide-ide politiknya Persia, sementara tasawufnya diambil dari Neoplatonis dan pemikiran Hindu. Di kesempatan lain dia juga mengungkapkan bahwa doktrin dan lembaga yang dibawa nabi adalah karakter campuran yang terbentuk dari Judaisme dan juga Kristen. Islam adalah ramuan berbagai produk kebudayaan. Ungkapan ini mengidentifikasikan bahwa Islam adalah perkawinan berbagai unsur asing. Yahudi, Kristen, tradisi pra Islam, hukum Romawi, sistem politik Persia dan lain-lain.

III. Biografi Singkat Joseph Schacht

Joseph Schacht seorang orientalis Jerman yang memiliki spesialisasi di bidang fikih. Dilahirkan di bulan Maret tahun 1902, di sebuah kota bernama Rotebaur, Silicia Jerman. Semasa hidupnya dia mendalami ilmu filologi klasik, kitab-kitab Lahut dan juga bahasa-bahasa timur di dua universitas sekaligus, Broussel dan Wlitck. Schacht meraih gelar doktoralnya pada Universitas Brousel pada tahun 1923, setelah itu mengambil spesialisasi pada bidang yang sama untuk mendapatkan lisensi mengajar. 1925, Schacht terpilih untuk mengajar di Universitas Frayborg yang terletak di Prasgaur, daerah yang berada di barat laut Jerman. Pada 1929 dia telah berhasil menjadi seorang dosen yang mempunyai pengaruh.
1932, Schacht pindah ke Universitas Kingsborg. Dua tahun kemudian mendapat kehormatan untuk mengajar Fikih Bahasa Arab dan juga Bahasa Suryani pada jurusan Bahasa Arab, Fakultas Satra Universitas Mesir –sekarang berubah nama menjadi Universitas Kairo- hingga tahun 1939.
Ketika perang dunia kedua meletus pada tahun 1939, Scahcht memilih untuk pindah ke London dan bekerja sebagai penyiar di stasiun berita BBC.
Selama Schacht bermukim di Mesir dia merupakan salah seorang yang amat menentang kebijakan hukum Nazi di Jerman. Ketika bermukim di Inggris, dia menaruh hati pada seorang wanita berkebangsaan Inggris, hingga akhirnya menikah serta mengganti kewarganegaraannya menjadi warga Negara Inggris pada tahun 1948. Saat gejolak perang dunia kedua mulai reda pada tahun 1945, Schacht bersikukuh untuk tidak kembali ke tanah kelahirannya di Jerman. Namun seberapapun besarnya kebencian Schacht pada kekuasaan Nazi di negaranya, Schacht tetap tak bisa membendung keinginannya untuk kembali ke Jerman. Maka ketika perang dunia ke dua usai, Schacht berkunjung ke Jerman sebagaimana dilakukan juga oleh warga Negara Jerman lainnya yang telah berganti kewarganegaraan. Sekembalinya dia ke Inggris –dan dengan teguh memegang kewarganegaraan Inggris hingga akhir hayatnya- , Schacht melanjutkan studinya dan berhasil meraih gelar magister di Universitas Oxford pada 1948, empat tahun berikutnya -pada universitas yang sama- Schacht berhasil meraih gelar doktoralnya.

Kendatipun Schacht memiliki karier pendidikan yang cemerlang dan memiliki pengaruh yang besar pada dua universitas di negaranya, namun perubahan status kewarganegaraan Schacht menjadi permasalahn yang fundamental, Inggris sama sekali tidak pernah memperhitungkan potensi dan kemampuan Schacht. Dalam sejarahnya Schacht tidak sekalipun diangkat menjadi seorang dosen di universitas di Inggris, dia hanya sesekali ditugasi mengajar beberapa pelajaran di Oxford. Pengkhianatannya pada Negara kelahirannya ternyata harus dibayar dengan mahal.
Akhirnya pada tahun 1954, Schacht meninggalkan Inggris dan menginjakkan kakinya di Belanda. Dengan serta merta, Schacht diangkat menjadi dosen di universitas Leiden dan berlanjut hingga 1959. Musim gugur 1959, Schacht kembali melanjutkan petualangan hidupnya dan memilih New York sebagai empat tujuannya. Di sana dia terpilih sebagai dosen di universitas Colombia hingga akhir hayatnya pada awal agustus 1969.
Selama hidupnya Schacht banyak menghasilkan beberapa karya dalam beberapa bidang, diantaranya; kajian dan penelitian pada manuskrip-manuskrip Arab kuno, mentahqîq beberapa manuskrip kuno dalam bidang fikih Islam, kajian pada ilmu kalam, mengarang beberapa buku dan mengadakan kajian dalam bidang fikih Islam, selain itu melakukan kajian dan publikasi beberapa genealogi disiplin ilmu Islam dan juga kajian pada sejarah ilmu filsafat dalam Islam. Namun pada hakikatnya disipilin ilmu yang benar-benar ditekuni oleh Schacht adalah sejarah fikih Islam. Dalam bidang ini, Schacht memiliki sebuah magnum opus setebal 350 halaman berjudul “The Origin Of Muhammadan Jurisprudence” yang diterbitkan oleh Oxford Press pada tahun 1950. Dalam bukunya, Schacht memberi porsi khusus untuk madzhab Imam Syafi’i yang banyak dia terjemahkan dari kitabnya “al-Risalah”.
Setelahnya, terbit buku kedua dalam ukuran yang lebih ringkas. Buku ini dia beri judul “Manuskrip Fikih Islam”. Diterjemahkan dalam bahasa perancis “D’une Histoire Du Droit Musulman” dan diterbitkan di Paris pada 1953. Schacht juga mengarang sebuah pegantar ilmu fikih Islam dalam bahasa Inggris dengan judul “Introduction To Islamic Law”. Buku setebal 304 halaman ini terbitkan di Oxford pada tahun 1960. Namun secara garis besar, buku tersebut hanya perpanjangan dari buku The Origin Of Muhammadan Jurisprudence. Hampir tidak ditemui sesuatu yang baru dalam buku tersebut.

IV. Schacht Berbicara Mengenai Hukum dalam Islam dan Otoritas Nabi Saw.

Joseph Schacht berpendapat bahwa hukum Islam berada di luar wilayah agama (sphere of religion). Dia berkata,“ Pada umumnya Muhammad hanya memiliki sedikit alasan untuk mengubah hukum adat yang telah ada. Tujuannya selaku nabi bukanlah untuk membuat sistem hukum yang baru; tapi sekadar mengajarkan manusia bagaimana harus bertindak, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari agar dapat dengan selamat menghadapi perhitungan pada hari pembalasan dan masuk surga.”
Berbicara mengenai otoritas nabi Saw., dia berkata”, Otoritasnya bukan pada hukum tapi untuk orang beriman agama dan untuk orang munafik, politik. Lebih jauh dia berkata, ”Sebagian besar dari abad pertama, hukum Islam dalam artian tekhnis belum ada. Seperti yang telah terjadi di masa nabi, hukum yang demikian ini berada di luar wilayah agama dan selama tidak ada penolakan agama atau moral terhadap transaksi tertentu atau cara berperilaku, aspek-aspek hukum diabaikan oleh muslim.”
Bukan hanya Schacht yang berpandangan bahwa nabi Muhammad saw, tidak memiliki peran sebagai legislator. Tapi beberapa orientalis dan muridnya di timur tengah juga menerima tesis ini. Anderson misalnya menulis,” Terbukti bahwasanya Muhammad tidak berusah menyelesaikan sistem hukum yang komperehensif, suatu tugas yang kelihatannya sangat tidak cocok untuknya. Malahan dia memuaskan dirinya dengan melakukan sedikit amandemen khusus terhadap hukum adat yang telah ada.”
Gagasan yang sama dapat ditemui dalam tulisan C. Snouck Hurgronje. Dia menulis, ”Muhammad mengetahui betapa kurang memenuhi syaratnya dia untuk mengerjakan tugas legislatif kecuali kalau benar-benar perlu. Tyan memiliki pandangan yang sama. Dia berkata,” Jika seseorang melihat sepintas karya Muhammad, maka akan dengan mudah meyakini bahwa dia tidak bermaksud untuk mengadakan system hukum baru atau memperkenalkan sistem legislasi baru”
Pandangan ini yang memiliki pengaruh pada karya Fadzlur Rahman. Dia mengatakan,” Di sini gambaran keseluruhan biografi Muhammad –jika kita menoleh ke balik khalayak hukum pertengahan yang turut memberi warna- tentu tidak ada kecenderungan untuk mengesankan nabi sebagai ahli hukum yang secara rapi mengatur kehidupan manusia hingga hal-hal yang sangat terperinci dari administrasi hingga urusan bersuci. Terbukti pada kenyataan terkesan kuat bahwa nabi terutama adalah reformer moral umat manusia dan bahwa terlepas dari keputusan yang sekali-sekali bersifat kasus-kasus khusus beliau jarang menggunakan legislasi umum sebagai sarana untuk menyelesaikan perkara keislaman umum.”
Dia meneruskan,” Satu hal dapat disimpulkan secara apriori bahwa nabi yang hingga wafatnya urut dalam perjuangan moral baik politik memerangi penduduk Mekah dan Arab dan dalam mengorganisasikan community state hampir tidak memiliki waktu untuk merumuskan tentang tetek bengek kehidupan.”
A’zami berangggapan bahwa pendapat Fadzlurrahman merupakan yang terlengkap dari implikasi pandangan ini. Pernyataan tersebut menolak adanya aktivitas hukum yang sistematis dari nabi Saw., yang konsekwensinya mengarah pada penolakan terhadap eksistensi sunah nabi.

V. Schacht dan Teori Kekosongan Hukum Islam Hingga Akhir Abad 100 Hijriyah.

Dalam bukunya Introduction to Islamic Law, Schacht berkata,” Khalifah-khalifah pertama tidak menunjuk qâdhi.” Dia kemudian menegaskan bahwa Bani Umayyah mengambil langkah penting dalam menunjuk hakim dan qâdhi. Hal ini mengarahkannya untuk mengambil kesimpulan bahwa sebagian besar abad pertama hijriah, Hukum Islam dalam artian teknis belum ada . Pendapat yang sama dinyatakan dalam The Origin of Muhammadan Juridisprudence. Dalam buku itu dia berkata bahwa:

“Bukti adanya hadits-hadits hukum membawa kita mundur ke sekitar abad 100 hijriah saja. Pada saat itu pemikiran hukum Islam berawal dari praktek popular Bani Umayyah. Yang masih direfleksikan dalam sejumlah hadits. Dia mempertahankan lagi,”Aman untuk berasumsi bahwa hukum Islam hampir-hampir tidak ada pada masa Sya’bi,” yang wafat pada tahun 110 hijriah”.

Menerima pandangan Schacht sama saja dengan menganggap adanya kekosongan hukum selama seratus tahun. Suatu hal yang Coulson saja yang mempercayai tesis Schacht sebagai yang ‘tak terbantah pada garis inti pokoknya’ merasa perlu untuk menolak. Dia menulis:

“Al-Quran sendiri memuat masalah-masalah yang pasti dan segera mendapat perhatian umat muslim. Nabi dalam posisinya memegang otoritas politik dan hukum tertinggi di Madinah pasti terpaksa untuk menghadapi masalah-masalah tersebut. Oleh karena itu ketika tesis Schacht dikembangkan secara sistematis ke tingkat kepercayaan bahwa hadits-hadits hukum membawa kita mundur ke sekitar tahun 100 H (719M) saja; dan ketika setiap autentisitas setiap praktek yang dinyatakan dari nabi ditolak maka dapat diasumsikan atau agak diciptakan adanya kekosongan, dalam gambaran pengembangan hukum pada masa awal umat muslim. Dari segi praktis dan dengan mempertimbangkan hadirnya lingkungan historis, gagasan kekosongan yang demikian ini sulit diterima.”

Bukan hanya analisis yang wajar dan rasional yang membuat kita meragukan Schacht, tapi bukti sejarah juga telah menunjukkan kelemahan posisinya. Pada abad pertama Hijriyah para hakim ditunjuk, kitab-kitab disusun dan literatur hukum bermunculan-semuanya menunjukkan bukti bahwa hukum Islam sudah ada sejak masa Nabi Saw.

VII. Sunah Nabi dan Kedudukannya dalam Madzhab Fikih Klasik.

Schacht menyebut madzhab-madzhab fikih klasik dengan sebutan mazhab Madinah, madzhab Suriah dan madzhab Irak. Dalam hal ini Schacht tampak bersifat menggeneralisir keberadan madzhab tersebut. Padahal madzhab fikih yang paling terkenal dalam dua abad pertama adalah madzhab Madinah dan Kufah, dan di dua kota tersebut ada beberapa ulama yang berbeda pendapat dalam bidang hukum. Dalam The Origin of Muhammadan Jurisprudence, Schacht mendasarkan pandangannya hanya pada beberapa ulama dari daerah ini. Malik bin Anas dari Madinah dan Abu Yusuf dan Syaibani dari Kufah dan terutama tulisan dari Syafi’i selama fase Mesir yang terakhir. Tampak pula ketidak konsistenan Schacht, di bagian buku yang lain dia berkata,” Keliru untuk menggeneralisirkan keseragaman ajaran meski dalam lingkaran madzhab Kufah dan memperluasnya ke seluruh Irak.” Sementara di pihak lain dia nampak menggunakan madzhab Malik untuk mendeskripsikan semua ulama di Madinah”.
Terkait dengan sunah sebagai salah satu sumber legislasi hukum Islam, Schacht beranggapan bahwa konsep awal sunnah adalah tradisi yang hidup dalam madzhab fikih-fikih klasik, yang tidak lain memiliki sebuah makna eksplisit kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum (‘amal, al-amr al-mujtama’ ‘alaih). Dan konsep ini tidak ada hubungannya dengan nabi . Dan hal ini dia ungkapkan dalam bukunya Introduction to Islamic Law:

“Sunnah dalam konteks Islam pada awalnya lebih memiliki konotasi politis daripada hukum. Sunnah merujuk pada kebijaksanaan dan administrasi dari dua khalifah yang pertama, Abu Bakar dan Umar harus dipandang sebagai preseden-preseden yang mengikat, muncul barang kali pada saat pengganti Umar harus ditunjuk (23H/644M) dan ketidak puasan kepada khalifah ketiga. Utsman yang mengakibatkan pembunuhannya pada (35H/655M) menjadi tuduhan bahwa dia pada gilirannya menyimpang dari kebijakan pendahulunya dan secara implisit dari al-Quran. Dalam kaitan ini tampak konsep “sunah Nabi” belum teridentifikasi dengan seperangkat aturan positif yang manapun melainkan memberikan adanya kaitan doktrinal antara sunnah Abu Bakar dan Umar dan al-Quran. Bukti paling awal tentunya yang autentik untuk penggunaan istilah sunnah nabi adalah surat yang pernah dikirimkan oleh pemimpin Khawarij ‘Abdullah ibn ‘Ibad kepada khalifah Bani Umayyah ‘Abd Malik sekitar (76H/695M). Istilah yang sama dengan konotasi teologis yang ditambah lagi dengan contoh para nenek moyang yang ada dalam risalat yang sezaman yang dikirim oleh Hasan Bashri kepada khalifah yang sama. Hal ini diperkenalkan ke dalam teori hukum Islam barangkali menjelang akhir abad pertama oleh para ulama Irak”.

Pernyataan ini berimplikasi pada penggunaan sunah sebagai sumber legislasi dalam madzhab-madzhab fikih klasik. Schacht memulainya dari apa yang dia sebut mazhab Madinah. Dia menyimpulkan bahwa bagi mazhab Madinah sunah adalah praktek atau tradisi yang hidup dari mazhab. Untuk menopang pandangannya tersebut Schacht merujuk pada diskusi antara Syafi’i dan rabi’ dalam ikhtilaf Malik. Disitu ditegaskan bahwa ahli Madinah membuat sunah dalam dua kondisi:
a. sumber-sumber di kalangan sahabat memegang pendapat yang menyetujui ajaran yang dimaksud.
b. Orang-orang tidak berselisih dalam hal itu.

Dalam hal ini tidak ada rujukan pada nabi Saw. sendiri sebagai sumber untuk membuat sunnah, point yang menurut Schacht cukup signifikan.

Selanjutnya madzhab Suriah, ketika mendiskusikan konsepnya tentang madzhab Suriah Schacht berkata,“Auza’i mengetahui konsep sunah nabi. Tapi tidak mengidentifikasinya dengan hadits resmi. Dia menganggap hadits informal tanpa isnâd. Mengenai cerita kehidupan nabi cukup menjadi “sunah yang valid” dan pepatah hukum yang anonim cukup untuk menunjukkan eksistensi sunah yang mundur sampai pada nabi.”
Dan terakhir dalam apa yang dia sebut sebagai madzhab Irak, Schacht berkata,” Ahli Irak dalam pandangannya mengenai sunah tidak merasa perlu untuk bersandar pada hadits dari nabi yag beredar dalam ahli Madinah.” Dia menggunakan dua kutipan untuk mendukung pandangannya. Dan yang perlu diperhatikan, tak satupun dari kutipan tersebut yang merupakan tulisan-tulisan ahli Irak. Keduanya adalah ringkasan yang dibuat oleh Syafi’i sebagai pihak oposisi. Kesimpulan dari semua kutipan tersebut adalah,” Madzhab Irak menggunakan sunnah sebagai argumen bahkan ketika mereka tidak dapat menunjukkan hadits yang relevan”.

VII. Respon Cendekiawan Muslim Terhadap Schacht

Nabi Muhammad Saw. memulai ajarannya dalam lingkup masyarakat politeis dengan sebuah frase metafisik yang terus hidup,” La ilâha illallâh, tiada Tuhan selain Allah.” Frase ini menuntut ketundukan manusia terhadap kehendak Allah dan bukan kehendak makhluk lain. Sebagaimana firman Allah,“ Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (Al-An’am: 162)
Jika prinsip ketundukan (submission) dapat diterima, maka implikasi logis selanjutnya adalah kekuasaan legislatif itu hanya milik Allah. Allah juga memerintahkan rasulNya untuk mematuhi legislasi tersebut seperti yang tertera dalam al-Quran, “ Kemudian kami jadikan kamu di atas syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jâtsiyah: 18) Allah juga memberikan kekuasaan tertentu kepada nabiNya dalam hal ini,” Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka.” (Al-A’raf: 157)
Selanjutnya secara eksplisit Al-Quran telah menjelaskan tentang tugas dan peran nabi. Pertama: sebagai penjelas Al-Quran sebagaimana firman Allah,” Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl:44) tanggung jawab untuk menjelaskan Al-Quran baik dalam bentuk demontrasi praktis maupun verbal menjadi tugas Rasul Saw.. Kedua: sebagai seorang legislator. Kekuasaan legislatif nabi terangkum dalam surat Al-A’raf: 157. Ketiga: sebagai sosok yang harus dipatuhi sebagaimana firman Allah,” Dan kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa: 64). Keempat: Model bagi perilaku muslim. Al-Quran merujuk pola hidup nabi yang menyatakan, “Sesungguhnya telah ada dalam diri rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Hal ini berarti bahwa setiap muslim harus menjadikan rasulullah sebagai panutan dalam hidup mereka.
Sementara sifat-sifat hukum Islam yang dibawa oleh rasulullah adalah sebagai berikut; Pertama: hukum di dalam Islam bersifat universal, baik yang mencakup aturan umum maupun yang bersifat terperinci. Kedua: Hukum tersebut mengikat seluruh masyarakat. Sebagaimana yang tertera dalam surat Al-Jatsiyah ayat 18. Ketiga: Orang yang ingkar terhadap hukum yang ditetapkan Allah dianggap tidak beriman. Allah berfirman,”Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir”. (Al-Maidah: 44). Dan terakhir: Hukum tidak dapat dirubah, tak seorang pun orang yang memiliki otoritas untuk mengubah hukum. Allah Swt berfirman,” Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: datangkanlah al-Quran yang lain dari itu dan gantilah dia.”Katakanlah,” Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak sendiri, aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar.” (Yunus: 15)
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum adalah bagian yang integral dari Islam. Tidak ada aktivitas yang secara sengaja tidak dicakup dari hukum yang diwahyukan. Dan hukum itu berarti mengikat semua orang muslim. Ayat-ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa konsep hukum Islam telah ada semenjak nabi Saw. dengan wahyu yang tertera dalam al-Quran dan bukan produk dari periode sesudahnya. Selain itu Allah menjadikan seluruh hidup nabi, perintah-perintah beliau memiliki kekuatan hukum. Otoritas nabi tidak bersandar pada penerimaan masyarakat atau para ahli hukum dan para sarjana, tapi pada kehendak Allah semata. Kealahan metodologis yang fundamental yang dilakukan oleh Schacht adalah pengabaian terhadap bukti-bukti yang jelas-jelas terkandung di dalam al-Quran .
Orientalis yang merujuk kepada al-Quran telah mencapai kesimpulan yang berbeda dari Schacht. Fitzgerald berkata,” Bahwa Tuhan sebagai satu-satunya sumber hukum dan menolak otoritas manusia untuk membuat undang-undang.” Coulson juga mengamini hal tersebut,” Prinsip bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemberi hukum dan perintahnya merupakan kontrol tertinggi terhadap semua aspek kehidupan sudah jelas mapan.” S.D Goiten juga beranggapan bahwa sekitar tahun ke lima hijriyah masuk dalam pikiran nabi,” Bahwa meskipun masalah-masalah hukum yang ketat tidak relevan dengan agama tetapi merupakan bagian dan bidang wahyu Tuhan dan dimasukkan dalam kitab Tuhan, yang merupakan sumber semua agama.” Dia lebih jauh menjelaskan bahwa gagasan tentang Syariah bukanlah hasil pengembangan pasca al-Quran tapi dirumuskan oleh Muhammad sendiri.” Untuk semua bukti yang telah terangkum tadi nampaknya logika kita akan sulit menerima bahwa hukum Islam berada di luar wilayah agama .
Selanjutnya teori kekosongan hukum Islam hingga akhir abad 100 hijriyah, juga merupakan hal yang sangat mudah dibantah dengan adanya berbagai macam bukti. Di antara bukti tersebut adalah aktivitas-aktivitas yudisial nabi, yang diawali dengan implementasi regulasi-regulasi baru yang tercatat di dalam al-Quran dan dalam beberapa hal juga bertentangan dengan pola hidup dan adat istiadat sebelumnya . Beberapa perintah al-Quran yang menjelaskan shalat, zakat, haji dan riba dan transaksi komersal lainnya membutuhkan penjelasan yang hati-hati dari nabi Saw, baik secara verbal maupun secara praktek penjelasan ini menjadi kekuatan hukum dan masuk ke dalam sunnah nabi. Jadi sunnah ini muncul secara simultan dengan wahyu al-Quran dan merupakan bagian dari proses pembentukan yurisprudensi Islam.
Seandainya saja nabi tidak menyusun rencana untuk mengadili sesuatu sesuai dengan norma yang baru, niscaya beliau akan melanggar hukum yang beliau perkenalkan sendiri. Karenanya, bisa dilihat dalam sejarah jika rasulullah memiliki agenda mengirimkan hakim ke berbagai kota dan propinsi dan mempercayakan peradilan bagi kasus yang berkembang melalui para hakim tersebut. Di antara hakim tersebut adalah, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ari, Ali bin Abi Thalib, Amr bin ‘Ash, Amr bin Hazm, Imran bin Husain, Hasan Albashri dan seterusnya. Hakim-hakim yang ditunjuk itu diharuskan untuk mendasarkan keputusan mereka pada al-Quran dan sunnah.
Selain itu aktivitas yang dapat membuktikan bahwa aktivitas hukum sudah aja sejak masa nabi adalah banyaknya karya hukum yng beredar pada abad pertama. Di antara karya hukum tersebut adalah; karya-karya Zaid bin Tsabit (45H), Jabir bin Zaid al-Azdi (93H), Ibrahim Nakha’i (96 H), Abu Qilabah (104 H) dan Sya’bi (103 H). Meski aktivitas penulisan hukum ini belum memilki daftar yang komprehensif tapi sudah dapat dijadikan bantahan terhadap teori Schacht bahwa hukum Islam baru ada pada awal abad ke dua hijriah.
Selanjutnya hal yang harus dikritisi dari Schacht adalah konsep sunah dan penggunaannya dalam mazhab fikih klasik. Kata sunah dalam leksikografi Arab adalah cara, jalan, aturan-aturan, atau cara berperilaku dalam hidup . Kata-kata ini telah digunakan dalam puisi-puisi pada masa pra islam. Maka siapa saja bisa memprakarsai sunah, baik atau buruk jika hal itu memang diikuti oleh orang lain. Karena hidup nabi adalah model bagi umat muslim maka sunah nabi digunakan pada masa hidup nabi dan bahkan digunakan oleh beliau sendiri. Terkadang norma yang diambil secara analogis dari praktek atau perkataan nabi juga disebut sebagai sunah.
Yang perlu ditekankan adalah, jika dalam sebuah negara konstitusional modern, konstitusi menopang otoritas legislatif dan menetapkan tingkatan legislasinya maka dalam Islam otoritas legislatif telah ditetapkan oleh Allah dan tercantum di dalam Al-quran. Di sana telah dijabarkan bahwa kepatuhan kepada Nabi Saw. adalah perintah Tuhan dan karenanya otoritas nabi berasal dari tuhan. Selain itu, secara eksplisit memang al-Quran tidak pernah mengatakan bahwa sumber hukum adalah sunah tetapi secara khusus memerintahkan supaya patuh kepada Rasulullah Saw. jadi meskipun seseorang setuju dengan Schacht bahwa Syafi’i lah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengistilahkan sunah secara ekslusif terhadap sunah nabi maka hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengurangi sunah nabi secara konseptual. Sumber hukum tidak terletak pada penggunan kata tersebut tapi pada konsep yang terkandung di dalamnya, yang memperoleh otoritas dari al-Quran. Sedang pembuatan sunnah oleh ahli Madinah adalah pendapat oposisi dari ahli Madinah, dan konsep dalam mendukung pernyataan Rabi’ dalam pembuatan sunah oleh ahli Madinah Schacht menggunakan kutipan dalam kasus syuf’ah yang justru meruntuhkan argumentasinya. Karena ada aturan nabi yang secara eksplisit yang dicatat oleh ahli Madinah dan jelas- jelas menyebutkan nabi di dalamnya.

VIII. Penutup

Pemahaman Schacht yang parsial dalam kajian hukum Islam tentunya tidak dapat menjadikan pemahamannya terhadap hukum Islam menjadi lebih baik. Kajian orientalis yang hanya berdasarkan aspek historis serta mengabaikan aspek teologis dan aqidah telah menghasilkan distorsi terhadap Islam itu sendiri. Karena seperti yang diakui oleh Schaht,” it is imposible to understand Islam without understanding Islamic law.” Dan Syariah Islam bukanlah bahasan parsial yang mencakup hukum transenden tapi juga berekspektasi pada sebuah submisi dalam penerimaannya.
Dari sejumlah kajian dan tulisan yang dihasilkan oleh Schacht, nampak dengan jelas bias keagamaan yang kental dalam diri Schacht. Dia seolah menolak sesuatu yang telah jelas-jelas telah tersurat. Bagaimana bisa dia menolak hukum Islam yang mengatur tentang jual beli, kriminal, perbudakan, pernikahan, warisan, ibadah dan lainnya yang jelas-jelas tertera di dalam al-Quran yang merupakan mukjizat nabi Saw.. Selain itu dia menggunakan materi sumber-sumber yang sewenang-wenang, untuk mendukung klaim yang diusungnya. Keengganan Schacht untuk merujuk kembali klaimnya ke dalam al-Quran, merupakan salah satu bukti yang nyata.
Selanjutnya adalah generalisasi Schacht yang berlebihan. Hal ini terlihat ketika Schacht mengasumsikan mazhab Malik bin Anas adalah representasi mazhab yang berkembang di Madinah. Dan dia menggeneralisasikan doktrin-doktrin mazhab Hanafi di Kufah dalam merepresentasikan mazhab yang berkembang di Irak. Di sini terlihat inkonsistensi Schacht, dan dia nampak ‘termakan’ oleh pengakuannya sendiri, yang berbunyi,” Menggeneralisasikan keseragaman doktrin, meskipun hanya dalam lingkup mazhab Kufah merupakan kekeliruan.”
Dalam kasus Schacht, nampaknya apa yang telah disimpulkan oleh Edward Said dalam Orientalisme tidak salah. Orientalisme sebenarnya adalah sebuah academic tradition yang berangkat dari pemahaman tentang timur, yang ditunggangi oleh motif keagamaan dan kekuasaan. Maka implikasinya jelas, muslim dan Arab tak akan pernah obyektif, dan selamanya yang obyektif adalah orientalis. Wallâhu a‘lam bi al-shawâb.

Corner of my room, in the beginning of winter 2008
al-Haqîr ilaLlâh…

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899