Mengikuti dan Menaati Rasullah saw

Oleh Abdul Gaffar Ruskhan

‎السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Apa kabar saudaraku? Semoga Allah senantiasa menganugerahi kita kesehatan yang prima, meneguhkan keimanan kita, menjadikan kita sebagai umat Nabi Muhammad saw. yang taat dan setia kepadanya. Amin!

Allah SWT berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ. قُلْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ فإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِين

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” ( Ali Imran: 31–32)
Seseorang baru dikatakan muslim apabila dia telah mengikrarkan dua kalimat syahadah: Asyhadu anlaa ilaha illah waasyhadu anna muhammadan rasulullah. Dua kalimat itu memiliki konsekuensi bahwa ia mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasululullah. Pengakuan itu mewajibkan muslim untuk menaati Rasulullah saw.

Ayat tersebut memerintahkan kita sebagai orang beriman untuk mengikuti Nabi Muhammad saw. sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah SWT. Hal itu menunjukkan bahwa kecintaan kepada Allah SWT mengandung konsekuensi membenarkan apa yang dibawa oleh Rasululah dan menaati perintahnya. Jika hal itu kita lakukan, Allah SWT akan mengasihi kita dan menghapus segala dosa kita. Selanjutnya, Allah SWT menegaskan kembali dengan perintah-Nya kepada kita untuk menaati Allah SWT dan Rasulullah saw. Jika ada di antara manusia yang berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah SWT begitu marah kepadanya karena Allah SWT yang menyukai orang-orang menentang Allh SWT dan Rasul-Nya.

Siapa yang yang menaati Rasullullah pada hakikatnya menaati Allah SWT. Hal itu dijelaskan pada ayat yang lain,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

“Siapa yang menaati Rasul sesungguhnya telah menaati Allah.” (An-Nisaa: 80)

Ketaatan kepada Rasulullah akan berkaitan dengan keaatan terhadap risalah kerasulannya. Risalah kerasulannya menghadirkan agama yang hak yang didukung oleh wahyu Allah SWT berupa Al-Qur’an yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia. Ketaatan tidak akan bermakna jika tidak mengikuti segala yang diperintahkan oleh Rasulullah dan menghentikan apa yang dilarangnya. Sebetulnya, apa yang diperintahkan oleh Rasululah saw. merupakan perintah dari Allah SWT. Sebaliknya, apa yang dilarang oleh Rasulullah saw. hakikatnya merupakan larangan Allah SWT. Itulah makna ayat bahwa siapa yang menaati Rasulullah sungguh menaati Allah SWT. Pada ayat lain Allah SWT berfirman,

وَ مَاۤ اٰتٰىکُمُ الرَّسُوۡلُ فَخُذُوۡہُ ٭ وَ مَا نَہٰىکُمۡ عَنۡہُ فَانۡتَہُوۡا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr: 7)

Perintah Rasulullah yang wajib dilaksanakan oleh muslim banyak sekali. Begitu pula yang dilarangnya juga banyak. Masing-masing berkaitan dengan hukum yang terkait dengan perintah dan larangan yang tidak dapat dipisahkan dengan perintah Allah SWT di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, setiap muslim harus setia untuk mengikuti perintah dan menionggalkan larangan Rasulullah saw. Hal itu juga berarti bahwa muslim tidak boleh menjadikan pendapat atau pandangan kiyai, mazhab, kelompok, jemaah, (aturan) politik, adat, budaya, warisan nenek moyang, sebagai panutan dan diterima begitu saja tanpa melihat dalil kesesuaiannya dengan Al-Qur;an dan sunah Rasulullah saw. Seorang muslim tidak bisa dikatakan muslim yang sempurna jika dia belum melaksanakan ubudiah (penghambaan diri) hanya untuk Allah saja dan menjadikan Rasulullah sebagai orang yang diikuti. Siapa yang menisbatkan diri kepada salah satu mazhab, kelompok. atau jamaah tidak akan swempurna ucapannya syahadatnya: Asyhadu anna Muhammad Rasulullah.

Taklid terhadap suatu pendapat atau mazhab merupakan sikap yang justru bertentangan dengan ketaatan kepada Rasulullah. Bahkan, para imam fikih, yakni Imam Abu Hanifat, Imam Malik, Imam Syafii, dan Ibnu Hambal menegaskan tidak perlunya mengikuti pendapar mereka jika pendapat itu bertentangan dengan pendapat Rasulullaah saw.

Imam Abu Hanifah berkata, ”Haram bagi seseorang mengemukakan pendapat kami sampai dia mengetahui dari mana kami mengambilnya.” Imam Malik sambil memberikan isyarat ke arah makam Rasulullah saw. berkata, ”Semua orang, perkataannya bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali perkataan orang yang ada di dalam kuburan ini,” yaitu Rasulullah saw. Sementara itu, Imam Syafi’i berkata, ”Jika ada hadis sahih, itulah mazhabku.” Bahkan, pada suatu hari, datang kepadanya seseorang dan berkata, “Wahai Imam, Rasulullah saw. bersabda begini dan begini (sambil menyebutkan hadis) dalam masalah ini. Lalu, apa pendapatmu, wahai Imam?” Maka, Imam Syafi’i marah besar dan berkata, ”Apakah engkau melihat saya keluar dari gereja? Apakah engkau melihatku keluar dari tempat peribadatan orang Yahudi? Engkau menyampaikan sabda Rasulullah saw. Maka, aku tidak berkata apa pun, kecuali seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw.”

Salah satu muridnya, Yunus bin Abil A’la ash-Shadafi dalam satu majelis pernah ditanya tentang satu masalah. Maka, dia menjawabnya dengan hadis Rasulullah saw. Lalu, ada yang bertanya, ”Apa pendapat Imam Syafi’i dalam masalah tersebut?” Beliau menjawab, ”Mazhab Imam Syafi’i ialah hadis Rasulullah saw. karena saya pernah mendengar beliau berkata, ”Jika ada hadis sahih, itulah mazhabku.”

Begitu pula Imam Ahmad. Beliau adalah orang yang selalu mengikuti asar dan dalil serta tidak pernah berdalil, kecuali dengan dalil firman Allah SWT dan sabda Rasulullah saw. Hal itu merupakan kewajiban bagi seorang alim, mufti, dan orang yang meminta fatwa. Allah SWT memerintahkan orang-orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada orang yang berilmu. Firman Allah SWT,
فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Maka, tanyakanlah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (QS An-Nahl: 43)

Ayat itu harus berlanjut dengan berikutnya, yakni بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ

“Dengan keterangan-keterangan dan kitab-kitab.” (QS An-Nahl : 44)

Artinya, jika Anda tidak mengetahui, bertanyalah kepada orang yang mengetahui dengan disertai dalil, hujah, dan bukti. Itulah makna firman Allah SWT tersebut.

Perdapat ulama dan mazhab yang diambil secara membabi buta dengan menyalahkan pendapat yang lain merupakan sikap yang tidak diinginkan oleh para imam mazhab karena hal itu bertentangan dengan semangat ketaatan terhadap Rasulullah saw. Namun, jika ada pembenaran dari Rasulullah tentang perbedaan pendapat merupakan rahmat dalam konteks tidak akan mengarah pada perpecahan dan merusak tatanan persatuan umat, hal itu dimungkinkan. Namun, tetap menghargai perbedaaan itu dalam kerangka kebersamaan dan persatuan umat. Oleh karena, jika pendapat yang berbeda dalam konteks ijtihad dapat dipandang sebagai rahmat. Rasulullah saw. bersabda,

اختلاف أمتي رحمة

“Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.” (HR Baihaqi)

Sementara itu, sikap perbedaan pendapat yang mengarah kepada perpecahan umat harus dihindari karena bertentangan dengan firman Allah SWT,

أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ

“Tegakkanlah agama dan jangan kalian berpecah belah tentangnya.” (QS Asy-Syura: 13)

Rasululah saw. sudah mengingatkan kepada sahabat bahwa suatu saat nanti akan ada orang yang mengingkari sunah. Kekhawatiran itu disebabkan akan ada yang mengatakan bahwa yang diterima adalah Kitabullah, sedangan sunah Rasulullah tidak diperlukan.

“Aku akan mendapati salah satu dari kalian bersandar di atas kursinya sambil berkata, “Di hadapan kita ada Kitab Allah. Jika kita mendapatkan sesuatu yang halal di dalamnya, kita akan halalkan dan jika kami menemukan sesuatu yang haram, kami haramkan.’ Ketauhilah bahwa aku telah diberi sesuatu yang sama dengan Al-Qur’an.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Hadis itu mengandung pengertian bahwa akan ada umat Nabi Muhamad saw. yang hanya akan menerima Al-Qur;an yang berbicara tentang halan dan haram. Sementara itu, sunah Rasulullah diabaikan , bahkan ditolak sama sekali. Hal itu akan terjadi menurut Rasulullah. Bahkan, saat ini sudah ada yang mengingkari sunah Rasulullah saw. dan hanya menerima Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan dalil untuk menetapkan hukum.

Para sahabat Rasulullah sangat memperhatikan sunah Rasul. Mereka merasa ada yang luput dari amalnya kalau ada sunah Rasulullah saw. yang belum dilaksanakannya. Itibak (mengikuti contoh Rasululah) menjadi hal yang menjadikan amalnya sempurna bagi mereka. Bahkan, suatu amal yang tidak ada contohnya dari Nabi saw. menjadi tidak bermakna dan ditolak. Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. merasa akan takut tersesat jika tidak mengikuti amal yang dicontohkan Rasulullah saw. Dia berkata, “Aku tidak akan meninggalkan sesuatu pun dari amal yang diamalkan oleh Rasulullah saw., kecuali aku amalkan karena aku khawatir bila aku meninggalkan sesuatu dari sunahnya aku akan tersesat.” (HR Bukhari No. 3093)

Allah SWT berfirman,
فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣

“Maka. hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63)

Dalam suatu hadis Rasulullah saw. bersabda,

“Kehinaan dan kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyalahi sunahku.”
(HR Ahmad, II/50 dan 92)

Ada tiga kelompok orang yang menyalahi atau menentang Rasulullah itu.

Pertama, ada yang tidak meyakini kewajiban untuk menaati perintah Nabi saw. Hal itu, misalnya, segala penentangan yang dilakukan oleh orang-orang yang ingkar dan ahli kitab. Mereka akan berada dalam kehinaan dan kerendahan karena kekufuran mereka kepada Rasul.

Kedua, ada yang meyakini kewajiban untuk taat kepada Rasulullah saw., tetapi menentang Rasul dengan melakukan kemaksiatan. Orang seperti ini mendapatkan bagian dari kehinaan dan kerendahan. Jadi, orang-orang jenis kedua ini menentang Rasul karena dorongan syahwat.

Ketiga, ada yang menentang perintah Rasul karena dorongan syubhat. Mereka adalah para pengekor hawa nafsu (ahlul ahwa’) dan ahli bidah. Mereka akan mendapat kehinaan, baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, di akhirat akan dimasukkan ke dalam neraka. Allah SWT berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ

“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.” (QS Al-A’raf: 152)

Menaati Rasulullah dalam beramal disebut dengan itibak (ittiba’). Itibak itu penting agar ibadah yang kita lakukan dan amal saleh yang kita kerjakan itu bernilai di sisi Allah SWT. Ada beberapa manfaat yang dapat kita peroleh jika kita itibak Nabi saw. dalam beribadah dan beramal.

Pertama, dengan itibak kita akan mendapatkan balasan surga. Nabi saw. bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

“Siapa taat kepdaku yang niscaya ia akan masuk surga dan siapa yang bermaksiat kepadaku enggan (untuk masuk surga). [HR Bukhari No. 6851 dari Abu Hurairah)

Kedua, dengan itibak kita akan memperoleh keberuntungan di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman,

فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-A’raf:157)

Ketiga, dengan itibak kita akan memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS An-Nahl: 97)

Ayat itu mengandung pengertian bahwa kebaikan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dijanjikan oleh Allah kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat kelak. Syaratnya mereka harus beramal mengikuti Al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya dalam keadaan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. (Baca: Tafsir Ibnu Kasir, II/538)

Akhirnya, kita sebagai umat Nabi Muhammad dituntut untuk selalu taat kepadanya karena menaatinya berarti kita menaati Allah SWT. Ketaatan itu merupakan kecintaan kita kepada Rasulullah saw. dan Allah SWT. Kiat berharap menjadi hamba yang setia mengikuti sunahnya. Amin!

Wallahul-muwafiq ila aqwamit-tariaq.

‎والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Tangerang, 30 Juni 2020