MAQASHID BUKAN DALIL INDEPENDEN

Prof. Dr. Hamidy Subhi Thaha, MA.
Dosen Fakultas Syari’ah wal Qanun – Universitas Al Azhar
Kepala Jurusan Ushul Fikih – Universitas Al Azhar

Apa yang dimaksud dengan maqashid syari’ah serta kaitanya dengan nash-nash syari’ah yang lain?

Yang dimaksud dengan maqashid syari’ah adalah hikmah, esensi dan tujuan yang dimaksud oleh syara’. Dan sebenarnya apabila kita teliti secara dalam maka akan tampak bahwa slogan yang diusung oleh syari’at tak lain untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia (li tahqiq al-mashlahah li al-nâs), dan senantiasa menghindari kerusakan (dafu al-mafasadah). Kemaslahatan (al-mashalih) di atas mencakup lima pokok maslahat, yaitu; perlindungan terhadap agama (hifdzu al-dîn), jiwa (hifdzu al-nafs), akal (hifdzul aql), keturunan (hifdzu al-nasab), dan yang kelima adalah perlindungan terhadal harta (hifdzul mâl). Dalam mewujudkan dan memelihara kelima pokok diatas dapat dicapai melalui tiga tingkatan. Pertama, sesuatu yang sangat mendesak untuk dijaga (al-dharûriyyah), yaitu suatu kebutuhan tidak akan terealisasi tanpa maslahat tersebut. Kedua, kebutuhan yang dapat terealisasi tanpa maslahat tersebut, hanya saja membawa kepada kesempitan dan kepicikan (al-hajiyyât). Ketiga, kebutuhan tidak menimbukan kesulitan dan kesusahan tanpanya, tetapi melakukannya masih sejalan dengan akhlaqul karîmah yang disebut dengan al-tahsînât.
Kaitan antara maqashid syari’ah dengan nash-nash syari’at yang lain dari satu sisi adalah bahwa maqashid syari’ahi tersebut diambil dan diketahui dengan cara meneliti secara mendalam nash-nash syari’at dan dari sisi yang lain adalah bahwa ia membantu kita untuk memahami nash-nash syariah yang benar.
Sejauh mana maqashid syari’ah itu disyari’atkan?

Adalah sebuah kesepakatan bahwa syari’ah memiliki maqashid. Jikalau hukum-hukum syari’ah mempunyai maqashid yang tidak ditujukan kepada Allah swt., maka pen-tasyr’i-annya akan sia-sia (`abats), dan ini mustahil bagi Allah swt.. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” Allah swt. juga berfirman,”Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhan mu dan penawar bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Juga firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul apabila rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”

Bagaimana kita berinteraksi dengan maqashid syari’ah?

Sesungguhnya dengan mengetahui maqashid syari’ah kita akan memperoleh pengetahuan baru yang terdiri dari macam-macam bentuk maslahat dalam takaran global. Maka apabila ada suatu kejadian yang belum terjadi pada zaman diberlakukannya syari’at (zaman Rasulullah saw.), dan tidak ada kejadian yang serupa yang telah ditetapkan hukumnya, maka kita harus memasukannya ke dalam salah satu dari kelima maslahat tersebut diatas; yaitu perlindungan terhadap agama (hifdzu al-dîn), jiwa (hifdzu al-nafs), akal (hifdzul aql), keturunan (hifdzu al-nasab), dan yang kelima adalah perlindungan terhadal harta (hifdzul mâl).
Kemudian menetapkan hukumannya sesuai dengan hukum yang terkandung dalam maslahat tersebut. Dengan demikian kita percaya bahwa hukum tadi adalah hukum Allah swt., ini dari satu sisi. Dan dari sisi yang lain, mengetahui maqashid syari’ah bisa memberikan kita suatu hukum bahwa segala tingkah laku yang tidak mengandung unsur maqashid yang di syari’atkan merupakan adalah batal, dan seorang muslim tidak boleh melakukan itu.

Apakah ada perbedaan antara maqashid dan mashlahah?

Maqashid syari’ah adalah mashlahah, sedangkan mashlahah sendiri beragam macam bentuknya dan tingkat pengaruhnya dalam pembenahan umat. Maqashid pun beragam coraknya ada yang kulli (umum) juga ada yang juz’i (khusus) yang mana kemaslahatannya tidak bisa diterapkan ke segenap umat manusia. Selain kulli dan juz’i ada juga yang bersifat qath’i (pasti), dzanni (sangkaan), dan wahmy (terkaan). Suatu perkara yang dianggap seakan-akan mengandung kebaikan namun ternyata bila diteliti dengan seksama mengakibatkan banyak mudharat. Oleh karena itu, bukan keharusan menganggap seluruh maslahah sebuah syariat. Akan tetapi baru bisa dikatakan demikian bila terbukti memang kemaslahatan sudah disyariatkan.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa dalil-dalil maqashid syari’ah independen (mustaqi`lLah), bagaimana Anda menanggapi pendapat ini?

Maqashid syari’ah bukan dalil independen, hukum syari’ah bersumber dari dalil-dalil yang sudah baku (al-Qur`an dan hadis), akan tetapi melalui konsep ‘kasih sayang’ dan kemudahan sewajarnya yang tidak mengakibatkan jauh dari konsep maslahah yang utuh. Ini dari satu sisi. Dari sisi yang lain, kedudukan maslahah mursalah–sesuatu yang tidak diakuai keberadaannya dan tidak pula diakui ketiadaannya dalam syariat–sebagai sumber hukum masih terjadi silang pendapat antara para ulama. Ada yang menganggapnya suatu dalil namun ada juga yang menganggapnya bukan dalil, namun ada yang menganggap sebagai dengan syariat yang tertentu.
Apa sasaran dari maqashid syari’ah?

Maqashid syariah berpotensi untuk memberikan manfaat secara global atau mencegah bahaya secara global pula. Dimana kedua hal itu diyakini dengan tepat atau mendekati keyakinan.

Bagaimana pendapat Anda antara Islam dan liberal?

Ada batasan tertentu bagi mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai syari’ah. Syari’ah telah menetapkan kepada pengikutnya hak-hak beserta batasannya agar sedapat mungkin ditegakkan sesuai dengan kodratnya. Maka barangsiapa yang melanggar batasan kebebasan itu maka baginya ganjaran yang sudah ditetapkan.
Ketahuilah, niscaya tak ada yang dimaksud dengan kebebasan mutlak. Hanya saja barangsiapa yang sudah beriman secara tidak langsung teguh pada Islam. Serta mematuhi larangan-larangan yang ada.

Melihat fenomena sekarang ini, pengusung liberalisme senantiasa mengedapankan konsep maslahat dari nash (al-Qur`an dan hadis), pendapat Anda?

Adalah kesepakatan para ulama (ijma’u`l ‘ulama), bahwasanya nash tetap di kedepankan bila maslahah bertentangan dengan nash. Semua kalangan sepakat dan menerima kesepakatan kecuali ‘ath-thurfi dari madzhab Hanbali’ yang memandang bahwa maslahah tetap diutamakan yang dengan demikian berarti nash dikhususkan dan dijelaskan. Bukan dipalingkan dari maknanya apalagi menyelewengkannya.
Berpegang teguh pada pendapat ini, tak lain sebab mereka mempunyai landasan tersendiri: “Perhatian terhadap maslahah tak mengundang perbedaan namun disepakati sebagai tindakan yang terpuji, selain karena memang seperti inilah yang di inginkan syari’at. Sementara syari’at tak seluruhnya telah disepakati. Ada yang memicu pertentangan diantara sesama padahal hal itu tercela.”
Jelas, landasan ini sama sekali tidak benar dan sebuah kesalahan fatal. Dikarenakan mereka belum bisa menjabarkan landasan itu dalam membedakan antara nash (teks), syari’ah yang lurus dan masalah yang sebenarnya, yang terkadang hal itu bukan maslahat namun dianggap sebagai sebuah maslahat. Dan juga pendapat yang demikian itu sungguh tidak jelas. Karena berpegang padanya berarti sama halnya meninggalkan ke-umum-an nash-nash yang dimaksud, sementara pengkhususan tak seperti itu. Pada dasarnya nash syariat sama sekali tak mengundang persengketaan sebagaimana apa yang mereka kemukakan sebelumnya. Hanya saja perbedaan terkadang muncul dari cara pandang atau pemahaman kita pada teks tersebut dan ini tidak bisa diterima, selain karena mendahulukan sesuatu yang manusia pada lazimnya, sebagaimana mereka terkadang berbeda dalam memahami nash mereka pun tak jarang berbeda dalam mengartikan maslahat. Maka lahirlah yang namanya ikhtilaf (perbedaan).

Dalam syari’at kita mendapatkan pendapat-pendapat miring disebabkan pengertian mereka terhadap maqashid, maka bagaimanakah sesungguhnya pengertian maqashid yang sebenarnya?

Tak pelak lagi untuk mengetahuinya, mari kita memahami maqashid dalam arti yang sebenarnya serta ketetapan-ketetapannya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Apa konsekuensi ulama seiring mencuatnya pemahaman ini (liberal) di dunia Islam?

Lemahnya nasehat-nasehat agama, tidak memahami Islam secara kafah, serta tunduk pada hawa nafsu yang sesat lagi menyesatkan. Adapun bagaimana cara kita berinteraksi dengan mereka, kita senantiasa dituntut untuk terus mengkonter pemikiran-pemikiran syubhat dan sesat yang terus mereka gulirkan. Serta tak sungkan untuk kembali memahamkannya akan berbagai perkara, hukum-hukum syari’at, dan pemahaman-pemahaman yang jernih dibawah naungan Islam.

Ada sebagian fatwa yang mengkafirkan (keluar dari millah) para penganut paham sekuler, liberal, dan determinasi (muqaranatu al-adyan).

Hanya saja menghukumi orang tertentu bahwa ia telah keluar dari Islam merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan. Sebab hanya Allah semata-lah yang Maha Mengetahui kandungan isi hati seseorang. Apalagi jika misalnya tersangka belum kita saksikan secara langsung bentuk perbuatannya. Belum lagi kalau dia telah mempersaksikan keislamannya. Dengan kata lain harus cerdas dalam membedakan hukum terhadap perbuatan dan hukum terhadap siapa yang pelakunya. Sebab siapa yang tahu modul perbuatannya tersebut di luar pengetahuannya; entah haram, makruh, atau terpaksa (mudhtar). Walau memang perbuatan atau tindakan ada kalanya mengeluarkan pelakunya dari millah (agama). Hanya saja, tetap tidak bisa dinafikan bahwa untuk menyatakan seseorang telah kafir bukanlah perkara mudah namun membutuhkan kejernihan-kedalaman paham serta pengalaman yang mana sedikit yang tahu.

Ada yang berpendapat bahwa Islam sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman sekarang ini, pendapat Anda?

Opini yang jelas kebatilannya, hanya menunjukan ketidaktahuan pada Islam dengan berbagi dalilnya, istinbatu`l ahkam, qiyas dan sendi-sendi lainnya. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Allah swt. tidak membiarkan seseorang hidup tanpa syari’at juga tak membiarkan memperkeruh syari’at yang sudah ada.” Sudah jelas, tatkala Allah swt. mengutus Muhammad saw. sebagai nabi akhir zaman tak lain untuk menyampaikan kekuasaan-Nya terhadap manusia bahwa bumi ini dan segala apa yang diatasnya diwariskan pada mereka.

NARASUMBER
Nama : Prof. Dr. Hamidiy Subha Thaha, MA.
Karir
• Dosen Syari’ah wal Qanun
• Kepala Jurusan Ushul Fikih – Universitas Al-Azhar
• Anggota persatuan pengacara Mesir
• Mantan ketua bagian Syari’ah jurusan Fikih dan Ushuluddin – Universitas Kuwait
• Mantan ketua bagian Syari’ah – Fakultas Dirasah Islamiyah dan Bahasa Arab Dimiyat Mesir
• Sering menjadi pembimbing beberapa peserta program Magister dan Doktoral baik di Universitas Al-Azhar maupun Universitas Kuwait
• Dan lain-lain.

Karya
Ada 17 hasil penelitian yang telah diterbitkan di berbagai majalah ilmiah.
Ada 12 buku yang telah diterbitkan di Mesir, sebagian di terbitkan serta dijadikan bahan pengajaran bagi peserta program pasca sarjana di Universitas Kuwait. Serta beberapa hasil penilitiannya yang telah di presentasikan dalam berbagai seminar.

++++++

Telah dibuka Pendaftaran Pondok Pesantren Modern Almuflihun Putra.

Formulir pendaftaran sebagai berikut:
https://bit.ly/3d9LaR0

Kontak: 0813-9278-8570

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899