‘Athif al-‘Iraqi: Telaah Filsafat Ibnu Rusyd untuk Pencerahan dan Rasionalitas

 

Dr. Ulya Fikriyati, Lc, MA

Tidak akan ada pencerahan tanpa akal rasio, karena ia menunjukkan, membuktikan dan menghukumi—kebenaran—sebagaimana kompas yang digunakan manusia untuk

menunjukkan arah

(‘Athif al-‘Iraqi, Al-‘Aql wa al-Tanwîr fî al-Fikr al-‘Araby al-Mu‘âshir; Qadhâyâ wa Madzâhib wa Syakhshiyyât)

  1. Prolog

Filsafat Ibnu Rusyd bisa dikatakan sebagai produk pamungkas era keemasan filosof muslim. Hingga akhirnya dijadikan simbol para rasionalis Islam. Secara umum filsafat Ibnu Rusyd memang berkisar seputar logika dan rasio. Karena itu, ia lebih diminati di Barat daripada di Arab. Hal ini dapat dibuktikan dengan bagaimana para intelektual dan filosof Barat memperlakukan Ibnu Rusyd: membuat patung-patung duplikat dan mengadakan perkumpulan-perkumpulan untuk menyaring sari pati filsafatnya.

Hal ini berefek pada perkembangan Barat yang sangat signifikan beberapa dekade terakhir—setidaknya menurut ‘Athif al-‘Iraqi. Sebuah perkembangan mencengangkan bagi dunia Timur-Arab-Islam. Hingga berbuntut pada pengadopsian beberapa konsep ilmu sosial, filsafat, sains dsb asal berbau Barat. Gejala ini sebenarnya lazim terjadi pada peradaban dan kebudayaan inferior ketika berhadapan dengan budaya superior dan dominan. Saat peradaban Islam menjadi superior di Spanyol, orang-orang Eropa pun sangat gemar mengadopsi dan mengimitasi tata cara orang-orang Arab-Islam. Salah satu bukti konkret adalah bentuk-bentuk bangunan yang ada saat itu. Sampai-sampai ada ungkapan, “Kalau saja orang-orang Nasrani (yang ada di Spanyol) saat itu mengetahui bagaimana bentuk bangunan-bangunan Kairo, niscaya pasti akan mereka tiru juga.”[1] Budaya ini dikenal dengan mozarabic culture: budaya kearab-araban.

Fenomena ini, secara tidak langsung telah mengkodifikasikan para intelektual muslim menjadi beberapa kelompok.** Bahkan, tidak cukup sampai disana, karena setiap kelompok akan berusaha merepresentasikan dirinya sebagai sutradara tunggal peradaban. Untuk menghadapinya, ‘Athif al-‘Iraqi berusaha menyelisik lebih dalam sebab perkembangan fantastis Barat yang berakhir pada kesimpulan bahwa Barat tidak pernah segan membuka dirinya dari hasil pengetahuan bangsa lain—terutama filsafat Ibnu Rusyd—saat itu.

Secara garis besar, tulisan ini dimaksudkan untuk mengupas solusi yang ditawarkan ‘Athif Iraqi untuk titik tolak pencerahan Arab-Islam. Selanjutnya, untuk memudahkan pembahasan, penulis membaginya menjadi lima segmen utama sebagai berikut:

  1. Prolog
  2. ‘Athif al-‘Iraqi dan Ibnu Rusyd; Selayang Pandang. Bagian ini membahas tentang beberapa hal sehubungan dengan biografi singkat ‘Athif al-‘Iraqi dan Ibnu Rusyd. Termasuk beberapa karangan dan peristiwa-peristiwa penting seputar mereka.
  3. Mengapa Harus Filsafat Ibnu Rusyd…?. Sudah menjadi keharusan, untuk mengetahui sebuah aliran filsafat kita selalu dituntut untuk melihat apa yang menjadi pemicunya. Segmen ini berisi tentang dimana, bagaimana serta background apa yang melahirkan filsafat Ibnu Rusyd. Dengan kata lain, faktor-faktor apa saja yang menjadikan ‘Athif al-‘Iraqi menjatuhkan pilihan atas Filsafat Ibnu Rusyd sebagai lentera gagasan pencerahan dan rasionalitasnya dalam proyek mendulang masa depan Arab-Islam.
  4. Filsafat Ibnu Rusyd; Revolusi Kritik untuk Pencerahan Arab-Islam. Membahas tentang contoh kritik Ibnu Rusyd atas aliran ilmu kalam dan filsafat sebelumnya. Kemudian, mengalir pada korelasinya dengan pencerahan akal Arab-Islam.
  5. Epilog. Berisi beberapa kesimpulan dan catatan-catatan kecil dari penulis.

Diharapkan dari tulisan singkat ini akan muncul karya-karya lanjutan yang lebih spesifik dan komprehensif dalam kajian filsafat pencerahan Arab-Islam. Akhirnya, dengan segala kesederhanaan, keterbatasan dan kerendahan hati, penulis berharap tulisan ini tetap bisa memberi manfaat bagi para pembaca. Khususnya dalam rangka gerilya kita untuk menemukan sebuah format pandangan ideal, seimbang, Islami dan sesuai dengan nilai-nilai budaya serta religi kita.

  1. ‘Athif al-‘Iraqi dan Ibnu Rusyd; Selayang Pandang

‘Athif al-‘Iraqi dikenal sebagai pengikut Ibnu Rusyd, bahkan bisa dikatakan sebagai pembela dan pembawa panji filsafat Ibnu Rusyd di abad 21. Baginya, kemunduran Arab-Islam adalah konsekuensi dari penegasian filsafat Ibnu Rusyd dan pengadopsian ilmu kalam al-Ghazali secara totalitas, sebagaimana ia katakan:

“Kita harus mengambil pelajaran dari sejarah. Dengan kata lain, mengkomparasikan antara kemajuan Eropa dan pemikiran Ibnu Rusyd di satu sisi serta kemunduran Timur-Arab dan pemikiran al-Ghazali di sisi lain. Benarkah kita telah belajar dari hal ini…? Namun kenyataan telah membuktikan bahwa kita tidak mengambil manfaat apa-apa dari sejarah tersebut. Pemikiran Arab saat ini—dari ujung timur sampai barat—telah dikuasai oleh aliran-aliran irasional. Sebuah aliran yang menyelundup dari hal-hal yang bertentangan dengan akal. Maka, kita—saat ini—sangat perlu untuk mengingat kembali ajaran seorang filosof rasionalis: Ibnu Rusyd”[2]

‘Athif pun mendeklarasikan sebuah slogan ekstrim tentang filsafat Ibnu Rusyd: “Tidak Ada Pencerahan Tanpa Filsafat Ibnu Rusyd”[3]. Namun, mengapa harus Ibnu Rusyd yang dijadikan sebagai titik tolak ‘Athif al-‘Iraqi untuk mengusung ide dan gagasannya? Dan bukan pemikir atau filosof-filosof muslim lainnya?[4] Sejatinya, titik poin yang diadopsi oleh ‘Athif Iraqi dari Ibnu Rusyd adalah semangat rasionalitas untuk mencapai sebuah pencerahan.  Sebagaimana ungkapannya: “Tidak akan ada pencerahan tanpa akal rasio, karena ia menunjukkan, membuktikan dan menghukumi—kebenaran—sebagaimana kompas yang digunakan manusia untuk menunjukkan arah dalam perjalanan di tengah padang pasir. Akal rasio adalah sinar, cahaya dan keyakinan, maka tidak akan mungkin kita bisa mencapai sebuah pencerahan tanpa menggunakannya[5]”.

Sampai saat ini, ‘Athif al-‘Iraqi masih menjabat sebagai dosen pada mata kuliah Filsafat Arab Fakultas Adab Universitas Kairo Mesir. Beliau berdomisili di kawasan Rab‘ah el-Adawiyah Nashr City Cairo. Buah penanya sangat banyak tersebar dan diterbitkan oleh berbagai penerbit terkenal, di antaranya adalah: Al-‘Aql wa al-Tanwîr…, Al-Manhaj al-Naqdy fî Falsafah Ibni Rusyd, Al-Failasûf Ibn Rusyd wa Mustaqbal al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, Tajdîd fî al-Madzâhib al-Falsafiyyah wa al-Kalâmiyyah, dll.

Beralih pada Ibnu Rusyd, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Lahir di Cordova-Andalusia tahun 1126 M dan wafat pada 10 Desember 1198 dalam usia 72 tahun[6]. Ibnu Rusyd dikenal sebagai duplikat kakeknya yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Rusyd—keduanya memiliki sebutan yang sama. Bisa jadi hal ini dikarenakan oleh kesamaan-kesamaan keduanya dalam hal ilmu, kemahiran dan kemampuan bakat.

Meski sebagai seorang muslim, Ibnu Rusyd menempati singgasana penting dalam hati masyarakat Yahudi saat itu. Penyebabnya adalah ia sempat diasingkan di Elissanah, sebuah negeri kecil berpenduduk mayoritas Yahudi. Bagi sebagian besar filosof Yahudi, Ibnu Rusyd sangatlah bearti. Hingga buku-bukunya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan bahasa Latin. Dengan demikian, mereka mempunyai peran penting dalam sejarah penjagaan beberapa buku Ibnu Rusyd sebelum sampai ke tangan kita.[7]

Ibnu Rusyd mempelajari Fiqh dari beberapa ulama besar masa itu. Sedang untuk ilmu kedokteran ia berguru pada Abu Ja‘far Harun. Adapun untuk Filsafat ada beberapa sejarahwan yang mengatakan ia mempelajarinya dari Ibnu Bajah.[8] Namun pendapat ini kurang bisa diterima, lantaran Ibnu Bajah meninggal tatkala Ibnu Rusyd masih berusia dua belas tahun. Padahal dalam usia dua belas tahun, kecil sekali kemungkinan bagi seseorang untuk mempelajari ilmu-ilmu Filsafat.

Sebagai seorang ahli Fiqh, filosof dan Hakim, Ibnu Rusyd memiliki banyak sekali buah karya. Diantaranya adalah[9]: Tahâfut al-Tahâfut, Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah  fî ‘Aqâ‘idi‘l Millah, Fashlu‘l Maqâl fîmâ bain al-Hikmah wa al-Syarî‘ah min al-Ittishâl, Al-Dharûry fî al-Manthiq, Syarh Kitâb al-Qiyâs li Aristhu dalam disiplin ilmu Filsafat dan Logika. Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Al-Tahshîl, Al-Muqaddimât, Mukhtashar Kitâb al-Mustashfy li al-Imâm al-Ghazâly dalam Fiqh dan Theologi. Selain disiplin-disiplin ilmu tersebut, Ibnu Rusyd juga menuangkan tintanya dalam disiplin ilmu Astronomi, ilmu Alam, Kedokteran, Politik dan Psikologi. Selain itu, Ibnu Rusyd juga dikenal sebagai Al-Syârih al-Akbar atas karya-karya monumental Aristoteles dan Plato. Gelar ini diraihnya, karena ia tidak hanya menerjemahkan karya-karya tersebut, namun lebih dari itu: menjelaskan, melengkapi bahkan mengkritisinya. Dari beberapa disiplin ilmu yang dikuasainya saat itu, bisa diterka bahwa Ibnu Rusyd mampu mengusung ide-ide cemerlang dan gagasan-gagasan brilian melampaui masanya.

  1. Mengapa Harus Filsafat Ibnu Rusyd…?

Dari sekian tokoh-tokoh pemikir dan filosof muslim, ‘Athif al-‘Iraqi menjatuhkan pilihan akhirnya pada sosok Ibnu Rusyd. Tentu saja hal ini bukan tanpa pertimbangan. Setidaknya ada tiga poin utama dalam seleksi ini, yaitu:

  1. Pengaruh Ibnu Rusyd dalam perkembangan filsafat Yunani dan filsafat Islam[10] sekaligus. Paling tidak, Ibnu Rusyd telah dianugerahi beberapa ‘kebetulan sempurna’ oleh Tuhan. Hidup di Cordova—kota paling terkenal pada masa kejayaan Islam sebagai pusat semua ilmu pengetahuan, memiliki tingkat kegeniusan dan keuletan luar biasa serta kedekatannya dengan penguasa saat itu. Ketiga unsur tersebut telah berhasil memposisikan Ibnu Rusyd sebagai sosok yang mewarnai perkembangan dua filsafat: Barat-Yunani dan Timur-Arab-Islam. Dalam filsafat Timur-Arab-Islam, Ibnu Rusyd dikenal sebagai pengusung rasionalitas sejati. Baginya, tidak seharusnya agama menjadi penjara bagi akal. Sebaliknya ia akan selalu berjalan searah dengan akal. Sedang dalam ranah Filsafat Yunani, nama Ibnu Rusyd dikenal sebagai tokoh penerjemah, penjelas, pelengkap, komentator bahkan kritikus atas karya-karya Plato dan Aristoteles. Di antara sebab terpenting yang menarik Ibnu Rusyd untuk menilik buku-buku Aristoteles dan menjelaskannya adalah permintaan Abu Ya‘qub Yusuf—khalifah saat itu—melalui Ibnu Thufail. Penyebabnya adalah kesamaran maksud dari karya-karya tersebut, sehingga sulit dipahami dan dipelajari oleh masyarakat. Sekali lagi penguasa dan lingkungan masyarakat menjadi salah satu faktor utama.
  2. Penggunaan metode takwil dan klasifikasi strata manusia serta jenis-jenis buku.[11] Menurut Ibnu Rusyd, masalah takwil lebih merupakan aksioma dasar bagi para ahlu nazhar daripada bagi para fuqahâ’. Karena bagaimana pun juga, tingkatan ahlu nazhar lebih tinggi dari fuqahâ’. Sebab fuqahâ’ hanya menggunakan qiyâs dhanny sedang ahlu nazhar menggunakan qiyâs yaqîny. Keyakinan akan adanya satu hakekat kebenaran dengan seribu jalan, juga merupakan faktor pendukung untuk menjadikan takwil sebagai sebuah metodologi dan piranti dalam memahami teks-teks religi. Dalam sebuah bukunya, Ibnu Rusyd mengatakan: “Kami telah memutuskan bahwa semua apa yang didapati sebagai hasil metode demontratif—al-burhân—dan berseberangan dengan dhahir teks, menunjukkan bahwa teks tersebut harus ditakwilkan sesuai dengan aturan pentakwilan Arab. Hal ini tidak diragukan lagi oleh semua muslim sebagaimana ia juga tidak ditolak oleh seorang mukmin pun…”.[12] Meski Al-Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah juga menggunakan metode takwil, namun ada satu hal yang membedakan mereka dengan Ibnu Rusyd: Ibnu Rusyd tidak megkafirkan orang-orang yang berbeda dengannya dalam mentakwilkan al-furû‘***. Titik inilah yang membuat Ibnu Rusyd mengklaim bahwa al-Ghazaly tidak sepenuhnya menguasai metode takwil, meski ia juga menggunakannya. Untuk klasifikasi strata manusia, Ibnu Rusyd menawarkan tiga tingkatan. Tingkatan ini didasarkan pada perbedaan jalan manusia dalam meyakini suatu kebenaran. Pertama, meyakini kebenaran karena bukti-bukti konkret; kedua, menerima kebenaran lantaran debat yang memuaskan; ketiga, mereka yang meyakini kebenaran dengan hanya mengikuti nasehat orang lain. Tingkatan ketiga ini, tidak memerlukan debat ataupun premis-premis untuk meyakini sesuatu. Bahkan bisa jadi keduanya hanya akan membuat mereka ragu, atau menolak kebenaran tersebut. Strata ke dua, berada lebih tinggi dari strata sebelumnya. Tingkat intelektual mereka lebih tinggi, sehingga segala hal tidak mereka terima begitu saja. Walau bagi mereka, pembuktian sebuah kebenaran tidak harus melalui premis mayor dan premis minor. Dengan kata lain, cukup dengan kelihaian memoles sebuah kebenaran. Sedang tingkatan pertama, adalah mereka yang hanya mau menerima serta meyakini kebenaran berdasarkan suatu aksioma yang dibangun di atas premis-premis kebenaran. Demikian pula dengan klasifikasi buku-buku bacaan manusia. Sebab, diakui atau tidak, manusia selalu memilih bahan bacaan sesuai dengan kadar kemampuan dan kehendak akalnya.
  3. Tekad Ibnu Rusyd untuk menyinkronkan antara filsafat dan syariat[13]. Jika syariat adalah sebuah kebenaran dan selalu memerintahkan menusia untuk mengobservasi alam dan apa yang di dalamnya untuk mencapai kebenaran tersebut. Sedangkan filsafat adalah disiplin ilmu yang juga bertujuan untuk mencapai sebuah kebenaran hakiki. Maka ada titik temu antara syari‘at dan filsafat. Sebab, kebenaran tidak akan pernah berlawanan dengan kebenaran. Sebaliknya, sebuah kebenaran akan sejalan dengan kebenaran bahkan menjadi bukti penguat atas kebenaran tersebut[14]. Hal ini mengantarkan Ibnu Rusyd pada kesimpulan: jika hasil pembuktian sama dengan dhahir teks, maka konteks yang dikandungnya tidak memerlukan takwil. Namun jika hasil pembuktian berbeda dengan dhahir teks, maka akal rasio manusia mengharuskan untuk mentakwilkan teks agar terjalin keselarasan antara keduanya. Karena sebuah teks, memang seringkali tidak melukiskan sesuatu secara utuh: ada bagian-bagian tertentu yang samar, tidak dijelaskan dan atau tidak dibahas secara mendetail namun bisa dipahami dari konteks yang melingkupinya.

Ketiga poin di atas bisa dikatakan sebagai nilai plus filsafat Ibnu Rusyd dibanding tawaran pemikir-pemikir lain pada masanya. Bahkan bisa dikatakan metodologi dan piranti-pirantinya masih saja digunakan sampai saat ini. Oleh karena itu, sebagai penganut rasionalitas, tidak mengherankan ‘Athif al-‘Iraqi menjadikan filsafat Ibnu Rusyd sebagai batu loncatan untuk pencerahan Arab-Islam.

  1. Filsafat Ibnu Rusyd; Revolusi Kritik untuk Pencerahan Arab-Islam

Filsafat Ibnu Rusyd dikenal sebagai kritik atas filsafat-filsafat sebelumnya. Walau sebenarnya, terminologi kritik bukan tidak pernah terlintas sebelum masa Ibnu Rusyd. Kritik sudah dikenal oleh para ulama ilmu kalam—al-Asy’ari, al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah—dan filosof-filosof muslim—Ibnu Sina, Ibnu Thufail dan Ibnu Bajah—sebelum Ibnu Rusyd. Namun, sekali lagi Ibnu Rusyd memiliki keunggulan dalam hal obyektifitas kritik. Buah persinggungannya dengan ribuan literatur Yunani, di samping keadaan sosio-kultural Cordova saat itu. Lembaran sejarah mencatat bahwa dalam hal keilmuan, Cordova memiliki saingan kuat yaitu Sevilla. Kaum terpelajar di kedua kota tersebut selalu berebut untuk bisa menjadikan kotanya terbaik. Maka setiap kepala pun berlomba-lomba untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu untuk kemudian menghasilkan inovasi-inovasi baru.

Di antara sekian banyak kritik Ibnu Rusyd atas al-Ghazali, bisa disederhanakan menjadi tiga point utama, yaitu dalam:[15]

  1. Problema alam. Apakah ia qadîm atau muhdats, meruntut setelahnya definisi qidam dan hudûts.
    1. Masalah ilmu Tuhan. Apakah melingkupi al-juziyyât atau cukup pada al-kulliyyât.
    1. Hari akhir. Apakah ia mâddy atau rûhy.

Asumsi para filosof bahwa alam qadîm, merupakan petikan dari teori Neo-Platonisme, dan di kalangan filosof muslim lebih dikenal dengan nazhariyyah al-faidh. Yaitu sebuah teori yang mengatakan bahwa alam berasal dari wujud awal sebagai sebuah aksioma dan bukan pilihan. Karena segala yang berwujud akan melahirkan wujud lain setelah mencapai kesempurnaan. Dengan kata lain, semua wujud yang sempurna akan selalu melahirkan wujud baru[16] dengan tingkatan lebih rendah. Dalam pengertian tersebut, diambil konklusi akhir bahwa alam qadîm. Kesimpulan akhir inilah yang mengantarkan Ghazali pada pentakfiran para filosof muslim. Sebab, baginya tidak ada satu wujud pun di mayapada yang qadîm kecualiAllah. Pendapat Ghazali ini berpedoman pada beberapa pernyataan, yaitu: bahwa sesuatu yang hâdits, tidak akan pernah lahir dari yang qadîm. Kalau saja kita hipotesakan bahwa pusat wujud bersifat qadîm, maka alam tidak akan muncul darinya. Karena tidak akan ada yang menentukan apakah ia akan ada, kapan atau bagaimana. Maka yang tersisa adalah opsi bahwa alam ada setelah wujud qadîm baik dengan diksi penentunya selalu merenovasi diri atau sebaliknya. Jika penentunya tidak bisa merenovasi dirinya, maka alam akan tetap pada keadaannya semula—mungkin ada dan mungkin tiada. Sedangkan, jika sebaliknya, maka perbincangan akan beralih pada sang penentu. Seperti mengapa ia menentukan penciptaan alam tersebut sekarang dan tidak pada waktu sebelumnya. Tapi hal ini akan terus berantai sampai ada penentu awal yang tidak ditentukan keberadaannya oleh hal atau wujud lain.

Argumen al-Ghazali ini dikritisi oleh Ibnu Rusyd dengan dalih bahwa kata mumkin memiliki kecenderungan majemuk. Baik lebih cenderung untuk ada, lebih cenderung untuk tiada atau bahkan netral, dalam arti tidak ada kecenderungan ada atau pun tiada. Dengan demikian, kebutuhan masing-masing level pada sosok penentu tidak akan sama. Belum lagi imkân yang berasal dari subyek—imkân al-fi‘l—atau dari obyek—imkân al-qabûl. Imkân al-qabûl tidak akan setara dengan imkân al-fi‘l dalam hal kebutuhannya akan penentu. Menelaah imkân al-qabûl, akan sampai pada kesimpulan bahwa ia tidak akan pernah bisa menentukan apa yang seharusnya terjadi pada dirinya. Dengan kata lain ia memerlukan dzat lain di luar dirinya yang berkuasa untuk menentukan apa yang akan terjadi atasnya. Sedangkan imkân al-fi‘l, berbalik 180 derajat, ia tidak membutuhkan dzat lain di luar dirinya untuk menentukan apa yang harus dan akan terjadi padanya. Sebagai contoh, seorang insinyur tidak membutuhkan dzat di luar dirinya untuk merubah diri, dari bukan insinyur menjadi seorang insinyur. Sebab, faktor dasar dalam perubahan tersebut adalah dirinya sendiri bukan dzat lain dan luar. Ada pun perubahan itu sendiri yang seringkali ditengarai membutuhkan perubah—dzat yang merubahnya—sebenarnya sangat heterogen. Dari perubahan yang terjadi pada esensi, kualitas, kuantitas, letak dsb. Sebagaimana terma qadîm, ada yang memiliki pengertian absolut, namun ada juga yang mempunyai pengertian relatif—qadîm dibandingkan dengan wujud di luar serta selain dirinya.[17] Oleh karena itu, pada hakekatnya alam semesta tidak bersifat muhdatsan haqîqiyyan dan ia juga bukan qadîman haqîqiyyan[18].

Dari kritik yang dilontarkan Ibnu Rusyd, kita bisa menilai ada nilai-nilai logika Aristotelian yang sangat kental di sana. Di antaranya adalah statemen qidamu‘l ‘âlam dan aksioma rantai sebab penyebab[19]. Seperti halnya entelechy untuk makhluk hidup, nous untuk bintang-bintang dan prima causa untuk alam semesta. Semuanya bekerja pada eter untuk kemudian pada benda-benda dan membentuk rantai sebab penyebab[20] tersebut.

Korelasi pemaparan di atas dengan pencerahan akal Arab-Islam menurut—‘Athif al-‘Iraqi—terletak di atas dua pijakan. Pertama, konsistensi dalam menggunakan akal rasio dan metodenya[21]. Dicontohkan dengan ‘kenakalan’ Ibnu Rusyd untuk menundukkan teks al-Qur‘an di bawah hasil observasi akal terhadap premis-premis kebenaran. Karena baginya, manusia menjadi makhluk paling mulia karena dibekali akal oleh Tuhan. Manusia bisa menentukan benar dan salah karena akal, dan bisa mengontrol tipuan-tipuan indrawi juga karena akal. Maka akal adalah segalanya dan tidak terbatas. Kedua, open minded terhadap ilmu-ilmu serta semua pelantaranya[22]. Tawaran kedua ini disandarkan pada fenomena bangsa Arab yang—saat ini—terkesan menutup diri dan selalu membuat antitesa terhadap ‘pengetahuan luar’.

  • Epilog

Dari sekian banyak karya ‘Athif al-‘Iraqi yang diterbitkan hingga saat ini—selain topik sejarah semisal Madzâhib Falâsifah al-Masyriq—mayoritas selalu membincang Ibnu Rusyd dan filsafatnya. Oleh sebab itu, sangat sulit ditemukan—untuk tidak mengatakan semuanya—karya-karyanya yang seratus persen murni dan bebas dari pembahasan tentang Ibnu Rusyd dan bersifat independen. Bahkan secara kasar bisa dikatakan bahwa ‘Athif al-‘Iraqi adalah pengikut fanatik Ibnu Rusyd.

Sebagai sebuah buah pena, pemikiran-pemikiran yang ditawarkan oleh Ibnu Rusyd memang tidak sepenuhnya harus dijauhi. Karena ada banyak kelebihan yang memang tidak bisa dipungkiri di sana. Bentuk kritik Ibnu Rusyd terhadap al-Ghazali—sebagai contoh—merupakan terobosan yang jauh melompati masanya. Bahkan bisa dikatakan sebagai media pergesekan antara logika Aristotelian dan mekanistik Newtonian. Selain itu, Ibnu Rusyd juga pengusung sempurna metode takwil atas teks-teks Islam hingga dinobatkan sebagai tokoh menumental bagi kebanyakan rasionalis muslim.

Dari tawaran takwil Ibnu Rusyd yang begitu dibanggakan oleh ‘Athif al-‘Iraqi atas semua ayat-ayat al-Qur‘an yang tidak masuk akal, kiranya juga perlu kita pertimbangkan kembali. Sstidaknya sejarah telah mencatat bahwa dalam perjalanannya, ilmu pengetahuan—yang melandasi keyakinan manusia akan kebenaran—memiliki tiga sumber: indra, akal rasio dan intuisi. Pada tataran awal, ilmu pengetahuan hanya mengakui kebenaran empirik indrawi. Semua hal yang tidak bisa dideteksi oleh indra tidak akan diakui nilai kebenarannya. Namun dalam masa selanjutnya, manusia berpikir bahwa indra seringkali menipu dan salah. Jika pada hari yang sangat cerah seseorang akan melihat pantai yang tenang berwarna biru, maka tidak demikian dengan hari yang berangin dan badai. Karena warna biru bisa jadi berasal dari pantulan sinar matahari yang terbiaskan melalui spektrum alam pada jasad plankton-plankton di permukaan air laut. Sedangkan warna abu-abu ketika hari badai adalah hasil pantulan debu yang dibawa angin atau pun riak gelombang yang berputar terlalu cepat sehingga membawa pasir tepi pantai.

Sejak abad pertengahan, akal berhasil—menggantikan indra—merebut perhatian para ilmuan, filosof bahkan intelektual dunia sampai saat ini. Meski akal memiliki banyak sekali kelebihan dibanding indra, namun kelebihan paling istimewa dari akal terletak pada kecakapan atau kemampuannya untuk menangkap kuiditas atau esensi dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya[23]. Tapi dengan segala kelebihannya, akal pun tetap mewarisi kekurangan, diantaranya adalah ia selalu bersifat meruang apa pun yang menjadi obyeknya. Cenderung memahami sesuatu secara general atau homogen sehingga tidak mampu mengerti keunikan sebuah ‘momen’ atau ‘ruang’ sebagaimana yang dialami secara langsung oleh seseorang.[24] Selain itu, karena akal menggunakan bahasa dan simbol sebagai pirantinya, maka ia hanya akan bisa berputar di sekitar obyek tersebut tanpa mampu menyentuhnya secara langsung. Sebagai contoh, ketika memikirkan wujud benda kita tidak akan pernah bisa menyentuh benda tersebut secara langsung. Karena medan target akal adalah hal-hal yang berupa hakekat bukan jasad.

Dalam perjalanan selanjutnya, Islam datang**** dengan menjadikan intuisi sebagai sumber lain untuk mencapai ilmu pengetahuan. Disadari atau tidak, intuisi memang berbeda medan targetnya dengan akal, karena ia digunakan untuk menembus alam ketidaksadaran dan kemustahilan atau semua permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh akal. Akal mungkin akan kebingungan ketika ada ungkapan “Two hearts, two hearts that beat as one”[25], tapi tidak demikian dengan intuisi. Hal ini tentu saja bisa kita tarik ke dalam ranah religi. Ketika menemukan satu hal yang asing di akal, kita tidak harus serta merta menalarkannya. Karena kita masih punya satu alat yaitu bekal intuisi yang bersandarkan atas berita-berita langit untuk menimbangnya. Karena sesempurna-sempurnanya timbangan emas, ia tidak akan pernah bisa digunakan untuk menimbang gunung. Sebab, beriman pada eksistensi Tuhan dan kitab suci-Nya bukanlah sesuatu yang harus dibuktikan secara logis dengan sebuah teori, melainkan sebuah postulat etis yang harus dibuktikan melalui praktek sehari-hari.

Perjalanan ini sebenarnya natural terjadi, karena segala hal akan mengalami proses untuk menuju sebuah kematangan. Begitu pun akal manusia, awal mula ia hanya bisa menerima hal-hal yang nyata secara fisik, kemudian merangkak naik ke arah metafisik. Namun, yang terjadi seringkali manusia—yang mengakui dirinya sebagai golongan rasionalis—malah menegasikan hasil akhir dari proses yang sebenarnya sangat rasional ini.

Ide dasar untuk selalu mengkritisi apa yang sampai kepada kita, memang harus kita usung. Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa gagasan yang membawa dan menuntun kita untuk terus mengkritisi semua hasil olah pikir juga harus turut dikritisi. Karena bagaimana pun juga, tidak ada pengetahuan, sains, apalagi pemikiran yang bebas nilai, bahkan ia akan selalu value laden. Dengan demikian akan selalu diperlukan naturalisasi ilmu, pempribumian pemikiran, adaptasi pengetahuan juga asimilasi gagasan. Sebab, untuk mendapatkan semua input yang paling mendekati titik netral untuk budaya kita, akan memerlukan waktu yang sangat panjang. Toh apa salahnya jika kita memanfaatkan sisi kebaikan siapa saja untuk membangun pertahanan yang lebih kuat, tentu saja dengan menjauhkan semua bentuk fanatistik buta. Karena kefanatikan pada sesuatu atau seseorang—selain pada kebenaran itu sendiri tentunya—akan menggiring kita ke lembah yang tidak jauh menyeramkan dari ketidaktahuan dan skeptisisme. Paling tidak, kita pasti meyakini bahwa kebenaran yang dilahirkan manusia akan selalu dibenturkan dengan teori relativitas relevansi waktu, namun tidak demikian dengan kebenaran hakiki. Sebab ia akan selalu konsis sebagaimana dzat yang memunculkannya.

—++—-+——–

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan pesantren Almuflihun yang diasuh oleh ust. Wahyudi Sarju Abdurrahmim, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899

DAFTAR PUSTAKA:

Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahâfut al-Falâsifah, direvisi dan dikomentari oleh Ahmad Syamsuddin, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. I, 2000.

Al-Iraqi, ‘Athif, Al-Failasûf Ibnu Rusyd wa Mustaqbal al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, Maktabah Usrah, Cairo, Mesir, 2004.

—————–, Al-Manhaj al-Naqdy fî Falsafah Ibn Rusyd, Dar al-Ma‘arif, Kairo, Mesir, cet. II, 1983.

—————–, Al-‘Aql wa al-Tanwîr fî al-Fikr al-‘Araby al-Mu‘âshir; Qadhâyâ wa Madzâhib wa Syakhshiyyât, Dar al-Quba, Kairo, Mesir, 1998.

Bayyumy, Muhammad, ‘Abdul Mu‘thy, Ibnu Rusyd wa Falsafatuh, Diktat kuliah Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar putra, Kairo, Mesir, cet. II, 1997.

Hammoudah, Abdul Aziz, Al-Marâyâ al-Muqa‘arah; Nahwa Nadhariyyah Naqdiyyah ‘Arabiyyah, ‘Alam al-Ma‘rifah, ed. 272, Kuwait, 2001.

Ibnu Rusyd, Abul Walid, Fashlu‘l Maqâl fîmâ bain al-Hikmah wa al-Syarî‘ah min al-Ittishâl, ditahqiq oleh Muhammad Imarah, Dar al-Ma‘arif, Kairo, Mesir, cet. II, 1969.

————————–, Tahâfut al-Tahâfut, ditulis dan dikomentari oleh Ahmad Syamsuddin, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. I, 2001.

Imarah, Muhammad, Al-Mâddiyyah wa al-Mitsâliyyah fî Falsafah Ibn Rusyd, Dar al-Ma‘arif, Kairo, Mesir, cet. II, 1983.

———————, Syakhshiyyât lahâ Târîkh, Dar al-Salam, Kairo, Mesir, cet. I, 2004-2005.

Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung, Indonesia, cet. I, 2003.

Lopon, Gustavo, Hadhârah al-‘Arab, diarabkan oleh Adil Zuaitar, Maktabah Usrah, Kairo, 2000.

Murad, Sa‘id, Buhûts wa Dirâsât Falsafiyyah, Maktabah Angelo al-Mashriyyah, Kairo, Mesir, 1990.


* Di Dunia Barat, nama Ibnu Rusyd lebih dikenal dengan Averroes.

[1]Gustavo Lopon, Hadhârah al-‘Arab, diarabkan oleh Adil Zuaitar (Judul asli tidak tertulis), Maktabah Usrah, Kairo, 2000, hal. 541

** Setidaknya ada tiga kelompok: kelompok yang menerima secara mutlak, kelompok yang menolak secara utuh serta kelompok yang menerima dan menolak secara selektif. Lebih lanjut lihat: Abdul Aziz Hammoudah, Al-Marâyâ al-Muqa‘arah; Nahwa Nadhariyyah Naqdiyyah ‘Arabiyyah, ‘Alam al-Ma‘rifah, ed. 272, Kuwait, 2001, hal. 31

[2]‘Athif al-‘Iraqi, Al-Failasûf Ibnu Rusyd wa Mustaqbal al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, Maktabah Usrah, Cairo, Mesir, 2004, hal. 24

[3]Ibid., hal. 30

[4]Poin ini akan dibahas pada bagian ke-III dari tulisan ini.

[5]‘Atihf al-Iraqy, Al-‘Aql wa al-Tanwîr fî al-Fikr al-‘Araby al-Mu‘âshir; Qadhâyâ wa Madzâhib wa Syakhshiyyât, Dar al-Quba, Kairo, Mesir, 1998, hal. 37

[6]Ibnu Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, ditulis dan dikomentari oleh Ahmad Syamsuddin, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. I, 2001, hal. 3

[7]Ibid., hal. 4

[8]Ibid., hal. 6

[9]‘Abdul Mu‘thy Muhammad Bayyumy, Ibnu Rusyd wa Falsafatuh, Diktat kuliah Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar putra, Kairo, Mesir, 1997, cet. II, hal. 28 et seqq

[10]  Muhammad Imarah, Al-Mâddiyyah wa al-Mitsâliyyah fî Falsafah Ibn Rusyd, Dar al-Ma‘arif, Kairo, Mesir, 1983, cet. II, hal. 15

[11]Muhammad Imarah, op. cit., hal. 15

[12]Ibnu Rusyd, Fashlu‘l Maqâl fîmâ bain al-Hikmah wa al-Syarî‘ah min al-Ittishâl, ditahqiq oleh Muhammad Imarah, Dar al-Ma‘arif, Kairo, Mesir, 1969, cet. II, hal. 9

*** Sebagai contoh adalah bagaimana mentakwilkan kondisi hari akhir. Apakah semua makhluk dibangkitkan dan diberi balasan dalam bentuk jasadi atau ruhi. Karena yang menjadi ushûl dalam masalah ini adalah mengimani hari akhir itu sendiri. Sedangkan tentang bagaimana terjadinya serta semua proses yang berkaitan dengannya selama tidak dijelaskan oleh al-Qur‘an adalah masalah furû‘. Konsekuensinya adalah tidak ada seorang pun yang berhak untuk mengkafirkan orang lain selama ia berbeda pendapat dalam hal furû‘. Dengan demikian klaim kebenaran tidak dihegemoni oleh sebagian manusia saja.

[13]Muhammad Imarah, op. cit., hal. 15

[14]Ibnu Rusyd, op. cit., hal. 32

[15]Ibid., hal. 8

[16]Abu Hamid al-Ghazaly, Tahâfut al-Falâsifah, direvisi dan dikomentari oleh Ahmad Syamsuddin, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. I, 2000, hal. 23

[17]Lihat lebih lanjut Ibnu Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, op. cit., hal. 22

[18]Muhammad Imarah, Syakhshiyyât lahâ Târîkh, Dar al-Salam, Kairo, Mesir, cet. I, 2004-2005, hal. 116

[19]‘Athif al-‘Iraqi, Al-Manhaj al-Naqdy fî Falsafah Ibn Rusyd, Dar al-Ma‘arif, Kairo, Mesir, cet. II, 1983, hal. 64

[20]Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung, Indonesia, cet. I, 2003, dalam pengantar Armahedi Mahzar: Menuju Islamisasi Paradigma Sains Posmodern, hal. xviii

[21]‘Atihf Al-Iraqi, Al-‘Aql wa al-Tanwîr…, op. cit., hal. 71

[22]Ibid., hal. 71

[23]Mulyadhi Kartanegara, op. cit., hal. 25

[24]Ibid., hal. 27

**** Meski semua agama langit yang diturunkan pada para Nabi telah mengajarkan adanya sumber lain berupa intuisi selain indra dan akal, namun yang diakui dunia ilmiah saat ini sebagai agama yang paling berpengaruh dalam menguatkan sumber intuisi adalah Islam.

[25]Lirik lagu “Endless Love” yang dinyanyikan oleh Diana Ross dan Lionel Richie ini merupakan bukti bahwa seringkali manusia memiliki sisi lain dari dirinya yang hanya bisa dipahami dan diterima oleh intuisi dan bukan akal.