Apakah Akal Penentu Baik-Buruk Suatu Perbuatan? (Bagian XXXXVIII)

فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ كلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

Syarah HPT:
Kata Kunci: Kata Kunci: لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (Untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama).
Sebelumnya telah kami singgung mengenai maslahat dalam syariat Islam yang mencakup maslahat dunia dan akhirat. Dalam bahasan ini, kita akan melanjutkan kepada pembahasan lain, terkait hubungan antara maslahat dengan akal. Kita akan meliaht sejauh mana akal manusia dapat mengetahui mengenai maslahat. Apakah akal bisa independen dalam mendeteksi maslahat ataukah tidak? Baik buruk, apakah bisa ditentukan oleh akal atau tidak. Dalam ilmu ushul fikih dan ilmu kalam, persoalan ini sering terkait dengan baik buruk menurut akal “attahsin wa attaqbih al aqliyaini”.
Di sini kita akan mencoba mengkajinya seperlunya saja dan tidak sampai pada detail-detail bahasan dalam ilmu kalam. Sengaja kita bahas terkait akal untuk mendeteksi maslahat ini, karena saya melihat bahwa bahasan kedepan akan selalu terkait dengan kajian akal.
Terkait dengan independensi akal untuk mengetahui suatu maslahat, Ibnu Taimiyah dalam kitab majmunya menyebutkan tiga pandangan, yaitu:

  1. Muktazilah, qadariyah, sebagian dari Syafiiyah dan banyak dari kalangan hanafiyah. Mereka berpendapat bahwa semua yang dianggap oleh akal baik maka ia baik. Sebaliknya semua yang dianggap buruk oleh akal maka ia buruk. Ketentuan mengenai baik-buruk tersebut berlaku baik sebelum hukum syariat diturunkan atau sesudah hokum syariat diturunkan. Intinya bahwa baik buruk adalah sifat independen dan ia dapat dideteksi dengan akal. Hukum syariat datang untuk menyingkap dan menguatkan mengenai baik buruk tadi.
  2. Jahmiyah Jabariyah dan asy-Ariyah: suatu perkata, apakah ia terkait dengan perintah atau larangan tidak mempunyai hokum secara independen. Ia juga tidak bisa dikatakan baik dan buruk. Baik buruk, bukan perkara independen (dzatiyyah) yang ada pada suatu perkara tertentu, atau perbuatan tertentu. Sesuatu dikatakan baik, jika Allah mengatakan baik dan sesuatu dikatakan buruk jika Allah mengatakan buruk. Bahkan sebagian dari mereka sampai memisalkan bahwa jika saja Allah memerintahkan hambanya untuk kufur atau berlaku maksiat, itu menjadi hak Allah dan baik bagi Allah. Bila Allah melarang hambanya untuk berlaku baik, melarang berbuat jujur, melarang bersikap adil dan sifat baik lainnya, jika memang itu larangan Allah maka perkara itu menjadi buruk. Jadi Allah punya wewenang mutlak utuk memerintahakn atau melarang sesuatu perkara.
  3. Pendapat pertengahan, yang tidak seradikal muktazilah yang melihat kebaikan dan keburukan mempunyai sifat independen dan dapat diketahui oleh akal secara mandiri, dan tidak seradikal pendapat kedua yang menganggap bahwa semua perkara tidak bisa diketahui oleh akal secara independen hingga memungkinkan Allah untuk memerintahkan pada perbuatan maksiat. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini adalah para sahabat, tabiin, para imam dan fuqaha yang ternama, para ahli fikih dan hadis. mereka ini membagi suatu perkara menjadi tiga:
  4. Suatu perbuatan yang mengandung maslahat atau mafsadah dan tidak disebutkan oleh syariat. Perkara ini bisa dihukumi baik dan buruk oleh akal. Contoh sikap adil yang jelas mempunyai sisi maslahat dan zhalim yang mafsadah. Akal dan syariat sama-sama dapat mengetahui mengenai baik buruk perbuatan tersebut. Ketika belum turun hokum syariat pun, akal manusia dapat mengidentifikasi mengenai baiknya sikap adil dan buruknya sikap zhalim. Karena syariat belum turun, maka tidak ada ketetapan hokum terhadap perbuatan dan pelaku perbuatan tadi. Oleh karena itu, mereka yang melakukan perbuatan buruk, kelak diakhirat tdak akan mendapatkan hukuman. Mereka ini belum mendapatkan beban syariat.
    Mengapa pelaku maksiat di masa ini tidak diberikan hukuman? Karena mereka adalah ahlul fitrah. Mereka belum menerima hukum syariat. Hukum syariat tidak berlaku surut. Jadi, hokum tidak akan menarik mereka yang belum mendapatkan ketentuan hokum tadi. Hukum syariat hanya berlaku setelah hokum ini turun dan diketahui oleh mukallaf.
    Tentu ini berbeda dengan pendapat Muktazilah yang mengatakan bahwa baik buruk dapat diketahui oleh akal secara independen. Menurut Muktazilah, independensi akal atas baik buruk ini berlaku baik ketika syariat sudah turunmaupun ketika syariat belum turun. Dengan demikian, bagi pelaku kejahatan, meski syariat belum turun, kelak di akhirat mereka akan dikenai dihukum. Pelaku baik akan mendapatkan surge dan pelaku kejahatan akan mendapatkan neraka. Hal ini, karena dengan akal yang diberikan kepada mereka, akal dapat mendeteksi baik dan buruk. Sejatinya mereka mengikuti apa yang ditentukan oleh akal tersebut.
    Hanya pendapat sepseti ini bertentangan dengan firman Allah berikut ini:
    وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
    Artinya: “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul“
  5. Semua perintah Allah, dengan perintah tadi sesuatu menjadi baik. Demikian juga larangan Allah, dengan larangan tadi sesuatu menjadi buruk. Jadi, yang menjadi ketentuan baik atau buruk adalah perintah dan larangan Allah. Perintah dan larangan ini yang akan menjadi timbangan dan penentu atas suatu perbuatan hamba.
  6. Ada suatu perbuatan sama sekali tidak ada maslahatnya namun ia diperintahkan Allah untuk dilaksanakan. Perintah yang tidak ada maslahat tadi, mengandung hikmah tersembunyi. Contoh: perintah Allah kepada nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Jika kita lihat bahwa perintah penyembelihan ini sama sekali tidak ada manfaatnya. Hanya saja, ia diperintahkan allah untuk dilaksanakan. Namun ia mengandung hikmah tersembunyi jelas yaitu bahwa Allah ingin menguji keimanan nabi Ibrahim.
    Menurut Ibnu Taimiyah, bahwa Muktazilah perpendapat baik buruk dapat diketahui dengan akal. Baik buruk mempunyai sifat independen. Asyariyah menganggap bahwa suatu perbuatan tidak mempunyai sifat baik atau buruk. Baik atau buruk baru dapat diketahui setelah hokum syariat diturunkan. Ia menjadi baik jika Allah mengatakan baik dan sebaliknya ia menjadi buruk jika Allah menganggap perkara tadi buruk. Menurut Ibnu Taimiyah, baik muktazilah maupun Asyariyah mempunyai kelemahan. Yang benar menurutnya adalah pendapat jumhur ulama yang membagi masalah ini menjadi tiga seperti yang telah diterangkan di atas.
    Saya sendiri melihat bahwa apa yang disampaikan Ibnu Taimiyah mengenasi sikap Asyariyah tadi tidak sepenuhnya benar. Asyariyah memang mengatakan bahwa baik buruk hanya dapat diketahui dengan syariat. Baik buruk, menurut asyariyah juga bukan sifat yang independen. Ia sekadar “makhluk” yang mempunyai derajat sama di hadapan Tuhan. Namun tidak benar jika Asyariyah sampai mengatakan bahwa jika Allah memerintahkan maksiat, maka perbuatan itu menjadi baik. Barangkali ada sebagian Asyariyah yang berpendapat demikian. Meski sekadar mengandai-andai, namun tuduhan yang sifatnya gebyah uyah ini tidak dapat diterima. Apalagi yang dituduh bukan hanya Asyariyah, namun juga Syafiiyah. Jelas pendapat ibnu taimiyah ini banyak kelemahan. Ini bisa dilihat dari pendapatnya imam Syathibi dari kalangan asyariyah, atau bahkan imam Asyari sendiri sebagai pendiri madzhab Asyari. Imam asyari baik dalam kitab maqalatul Islamiyyin maupun dalam kitabnya al-ibanah tidak pernah menyatakan demikian.
    Terkait perbuatan sebelum hukum syariah diturunkan, dalam kitab miftahussa’adah, Ibnul Qayyim sebagai murid dari Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebelum turunnya hokum syariat, baik dan buruk sesungguhnya dapat teridentifikasi melalui perbuatan itu sendiri. Artinya bahwa akal dapat mengetahui dan mengidentifikasi perbuatan baik adalah baik dan buruk.
    Hanya saja, pelaku perbuatan tadi tidak terkena ketentuan hukum syariat. Mereka baru terkena beban syariat setelah turun hukum syariat dan ketentuan hukum ini sampai kepada mereka. Titik ini yang menurut Ibnul Qayyim terlupakan oleh paham Muktazilah. Di sini, ibnul Qayyim sama dengan pendapat Asyariyah.
    Mengapa suatu perbuatan tidak dikatakan baik dan buruk secara independen? Menurut pandangan Asyariyah bahwa suatu perbuatan tidak menjadi baik dan buruk secara independen, karena ia tidak memiliki sifat baik dan buruk. Karena ia sendiri tidak mempunyai sifat baik dan buruk, maka ia tidak dapat diidentifikasi baik buruknya. Jadi, baik buruk mutlak menjadi kehendak Allah melalui hukum syariat. Kita dapat mengetahui baik buruk tadi dari ketentuan Allah dalam kitab suci-Nya.
    Pendapat Asyari ini juga diamini oleh Imam Syathibi dalam kitab al-Muwafaqatnya. Ia mengatakan, “Benar memang apa yang dikatakan oleh ahli kalam bahwa akal tidak bisa menganggap suatu amalan baik atau buruk”. Beliau menambahkan bahwa suatu maslahat dianggap maslahat dan suatu mafsadah dianggap mafsadah, dengan ketentuan syariat. Perkara ini, menurutnya bukan urusan akal manusia. Jika hukum syariat sudah memerintahkan untuk melaksanakan suatu perbuatan, maka perbuatan tadi mengandung maslahat. Demikian juga sebaliknya, jika hukum syariat telah melarang suatu perbuatan, maka perbautan tadi mengandung mafsadah. Suatu perkara, bagi Allah nilainya sama saja. Baik buruk, kedua-duanya adalah makhluk Allah. Jadi, penentu dari maslahat atau mafsadah adalah hukum syariat dan bukan akal. Imam syathibi melanjutkan, “Suatu perintah dan larangan, sebagai sebuah perbuatan secara akal sama. Oleh karenanya akal tidak bisa dijadikan sebagai sandaran bahwa suatu perbuatan itu baik atau buruk”. Di sini jelas sekali pandangan Imam Syathibi yang sepaham dengan paham Asyariyah tersebut.